Sirene Tsunami Mulai Menua dan Sebagian Tidak Lagi Berfungsi
Sirine menjadi salah satu perangkat peringatan dini bencana tsunami. Namun, alat ini mulai menua dan banyak yang rusak.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Sirine penanda peringatan dini bencana tsunami yang dipasang sejak 10 tahun lalu kian berumur dan sebagian mulai tidak berfungsi. Perangkat ini penting sebagai salah satu cara mitigasi tsunami, selain sarana dan prasarana lain, seperti jalur evakuasi yang perlu terus dibenahi
Demikian dikatakan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati pada pembukaan Sekolah Lapang Gempa Bumi, ”Membangun Budaya Tanggap Gempa Bumi dan Tsunami”, di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermajing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa (8/6/2021).
”Sirine dibangun BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) 10 tahun lalu dan dihibahkan ke pemda (pemerintah daerah). Kami (BMKG) juga menyumbangkan ke pemda. Ternyata peralatan itu kini sudah tidak diproduksi dan usianya 10 tahun lebih sehingga mulai rusak, tak berbunyi,” katanya.
Hadir dalam kegiatan ini, antara lain, anggota Komisi V DPR Sri Rahayu, Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto, dan jajaran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Malang dan Jatim, kantor BMKG di Jawa Timur, relawan, dan elemen lain.
Sekolah Lapang Gempa merupakan program tahunan BMKG didukung Komisi V DPR dan pemda di daerah rawan bencana. Karena pengumpulan data gempa trennya naik, tidak hanya di Jatim, tetapi juga daerah lain di selatan Jawa, Selat Sunda, Pantai Barat Bengkulu, menurut Dwikorita, maka BMKG lebih menggalakkan kegiatan ini agar masyarakat lebih waspada.
Hibah sirine dari BNPB di seluruh Indonesia mencapai ratusan unit. Dari BMKG saja ada 30 unit dan saat dicek yang mati 11 unit dan kini tengah diperbaiki.
Menurut Dwikorita, pesan dampak gempa akan sia-sia jika peranti sirine tidak berfungsi. ”Sirine ini perlu diperbaiki. Tak harus sirine seperti semula yang terlalu mahal. Kami mengembangkan sirine buatan dalam negeri. Nanti pemda pastinya, dengan produk dalam negeri, lebih mampu siapkan dan pelihara,” katanya.
Masalah lain yang perlu disiapkan oleh pemda yang ada di pesisir, menurut Dwikorita, berkaitan jalur evakuasi. Dia mencontohkan, di salah satu daerah di luar Malang, ada jalur evakuasi yang tertutup oleh sungai sehingga perlu jembatan agar bisa dilalui masyarakat dengan lancar.
Kami mengembangkan sirine buatan dalam negeri. Nanti pemda pastinya, dengan produk dalam negeri, lebih mampu siapkan dan pelihara.
Koordinator Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono membenarkan bahwa sarana dan prasarana mitigasi di sejumlah pantai rawan tsunami di Indonesia masih minim, termasuk soal rambu-rambu dan jalur evakuasi di permukiman yang belum tersedia dengan baik.
Padahal, sarana dan prasarana itu penting untuk evakuasi mandiri. ”Evakuasi mandiri karena memang kesadaran masyarakat jika terjadi gempa kuat itu harus ada fasilitas jalur evakuasi yang membuat jalur tempuh dalam waktu singkat,” katanya.
BMKG, menurut Daryono, membuat peta inundasi dan ketinggian tsunami (modeling) berangkat dari pertanyaan BPBD, relawan, dan masyarakat tentang ketinggian pantai, potensi rendaman, titik kumpul, hingga jalur evakuasi yang aman. Tanpa peta modeling, pertanyaan itu semua tak akan bisa terjawab.
Didik Gatot Subroto menilai sekolah lapang menjadi salah satu cara mitigasi yang dilakukan secara rutin oleh BPBD. Dalam kegiatan ini, pembuatan jalur-jalur mitigasi juga dilakukan berikut edukasi kepada masyarakat. ”Harapannya, saat ada gempa, masyarakat bisa melakukan evakuasi secara mandiri,” katanya.
Dana tunggu hunian
Pada kesempatan ini, Didik menyampaikan bahwa dana tunggu hunian bagi korban terdampak gempa M 6,1 yang berpusat di perairan selatan Malang, 10 April lalu, mulai cair. Dari dari pusat sudah mulai turun ke daerah.
”Kami selalu berkomunkasi dengan BNPB dan Kemensos melalui BPBD, salah satu di antaranya hari ini sudah ada transfer dari BNPB terkait dana tunggu hunian. Jadi, sudah mulai ada proses transfer kepada pemerintah daerah,” katanya.
Saat ini, BPBD sedang melakukan verifikasi sekaligus memberikan informasi ke masyarakat. Setelah itu baru dilakukan uji publik terkait warga yang akan menerima dana tunggu hunian. Jangan sampai mereka yang tidak berhak menerima masuk dalam data. Nilai tunggu hunian tetap Rp 500.000 per bulan untuk setiap keluarga.
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Malang mengajukan data 1.716 yang akan menerima dana tunggu hunian. Namun, jumlah ini naik lantaran ada kerusakan tambahan sebagai dampak gempa Blitar M 5,9 pada 21 Mei lalu. Data sementara kerusakan rumah akibat gempa Blitar 616 unit (21 unit di antaranya rusak berat dan 444 rusak ringan).
Adapun dana pemulihan bangunan masih dalam proses. Sebelumnya, korban yang rumahnya rusak berat akan mendapat dana stimulan untuk pemulihan senilai Rp 50 juga, rusak sedang Rp 25 juta, dan rusak ringan Rp 10 juta. Dana pemulihan ini diharapkan turun setelah dana tunggu hunian selesai dibagikan.
Menurut rencana, dana tunggu hunian akan cair berturu-turut selama tiga bulan. Dana ini sebenarnya digunakan untuk menyewa rumah bagi korban, tetapi bisa juga dipergunakan sebagai dana untuk membangun hunian sementara.