Sejumlah pemuda di Kabupaten Kudus mengadakan sayembara berhadiah bagi siapa pun yang bisa melenyapkan Covid-19. Ini merupakan pesan satire untuk tetap menerapkan protokol kesehatan dan menegaskan bahwa Covid-19 nyata.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Baliho berukuran sekitar 4 meter x 2 meter berdiri kokoh di Jalan Raya Babalan-Prawoto, Desa Wates, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Tertulis ”Sayembara barang siapa yang bisa menyembuhkan dan menghilangkan Covid-19 akan dapat hadiah 10 sepeda motor”. Sebuah pesan satire dari sekelompok warga untuk menggugah protokol kesehatan.
Salah satu syarat dalam sayembara yang berlangsung 31 Mei hingga 12 Juni 2021 itu ialah dalam tiga bulan harus ada pernyataan hasil dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan bebas dari Covid-19. Rupanya, sayembara itu dikeluarkan Karang Taruna Tunas Jaya, Wates. Adapun 10 sepeda motor yang akan diberikan merupakan sepeda motor bekas milik para anggota.
Tentu saja, kelompok Karang Taruna Tunas Jaya sadar, obat Covid-19 belum ada dan masih diteliti. ”Memang kami penasaran (obat Covid-19). Namun, hal utama dari sayembara ini ialah pesan kepada masyarakat bahwa Covid-19 itu ada. Kalau tiga bulan belum hilang, berarti memang masih ada. Kami hanya ingin menggugah kesadaran warga untuk sadar protokol kesehatan,” kata Suliyono (24), Ketua Karang Taruna Tunas Jaya.
Suliyono menyebutkan, apa yang dilakukannya bersama teman-teman bukan untuk mencari sensasi atau viral. Mereka benar-benar prihatin, di saat lonjakan kasus Covid-19 terjadi di Kudus, masih banyak warga yang tidak percaya keberadaan penyakit akibat virus korona baru tersebut. Padahal, sudah banyak orang meninggal. Mereka menjadi saksi karena merupakan sukarelawan pemakaman Covid-19.
Kepala Desa Wates Abdulllah Asoffi mengatakan, sejak Lebaran, ada sekitar 30 warganya terpapar Covid-19 sehingga menjadi desa zona merah. Untuk itu, ia sepakat pendekatan secara persuasif menjadi yang paling baik agar warga paham.
Lonjakan kasus Covid-19 di Kudus memang membuat warga kian berhati-hati. Muhammad Latief (40), warga Desa Wates, mengaku semakin waspada dengan kenaikan kasus Covid-19 di Kudus. ”Ini lebih parah dari tahun lalu. Sekarang, kalau ada yang mampir atau lewat sini, setelahnya saya semprot-semprot disinfektan. Mau tidak mau harus lebih waspada,” ucapnya.
Namun, tak semua warga menjadikan lonjakan kasus Covid-19 di Kudus sebagai tanda bahaya. Sebagian warga masih belum percaya sepenuhnya akan Covid-19.
Warga Desa Jatiwetan, Kecamatan Jati, Kudus, Slamet (39), berharap Covid-19 segera berakhir, tetapi di sisi lain ia merasa informasi terkait Covid-19 terlalu diperbesar. ”Sudah bosan juga. Banyak cerita kalau meninggal di RS jadinya Covid-19. Memang belakangan ini heboh, tetapi saya biasa saja. Masker kalau pergi-pergi saja,” ujarnya ringan.
Kasus Covid-19 di Kudus memang melonjak dalam lebih dari dua pekan terakhir, dari 488 kasus aktif (dirawat/isolasi mandiri) pada 23 Mei 2021 menjadi 1.637 kasus aktif pada 7 Juni. Ratusan tenaga kesehatan terpapar, begitu juga sejumlah pejabat dinas kesehatan. Tempat tidur isolasi di RS terus ditambah. Namun, kebutuhan SDM kesehatan mendesak.
Menelusuri sejumlah sudut ”Kota Kretek”, suasana sebenarnya tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Jateng. Di jalan-jalan utama atau protokol, warga disiplin mengenakan masker, termasuk saat berkendara. Namun, saat memasuki daerah permukiman yang jauh dari keramaian, kerap ditemukan warga tak mengenakan masker.
Kendati demikian, kewaspadaan cukup meningkat. Terlebih, lonjakan di Kudus telah menjadi perhatian nasional. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Menteri Kesehatan, hingga Kepala Polri dan Panglima TNI sudah meninjau langsung sekaligus memberi dukungan agar Covid-19 di kabupaten tersebut lebih terkendali.
Bupati Kudus HM Hartopo mengatakan, sejumlah faktor pemicu lonjakan kasus Covid-19 di Kudus ialah sejumlah masyarakat mulai terlena dengan kondisi yang mulai melandai hingga sebelum Lebaran. Kondisi melandai setelah dilakukan vaksinasi dan penurunan kasus secara signifikan. Bahkan, RS-RS di Kudus sempat tidak ada pasien Covid-19. Tercatat hanya ada 60 kasus aktif dan seluruhnya isolasi mandiri.
”Itu yang kadang-kadang membuat masyarakat merasa tidak ada Covid-19. Banyak yang mengabaikan protokol kesehatan dan Jogo Tonggo (menjaga tetangga) juga banyak yang kendur. Sebenarnya, sempat untuk membantu mengingatkan dan melaporkan. PPKM mikro dan mikro zonasi diefektifkan. Pak camat, kades memonitor terus, tetapi kurang. Kini, kami perkuat lagi,” tutur Hartopo.
Selain itu, sejumlah kebijakan yang diambil adalah penutupan destinasi wisata sementara. Adapun restoran dan tempat makan diarahkan untuk melayani pesan antar dan bawa pulang. Pemkab Kudus juga mengimbau warga untuk tetap di rumah saja selama tidak ada keperluan penting atau mendesak. Hal itu bukan untuk mematikan perekonomian, melainkan agar pengendalian kasus Covid-19 lebih optimal.
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang Budiyono menilai, lonjakan kasus Covid-19 di Kudus maupun daerah lainnya di Jateng kembali menunjukkan vaksinasi tidak menjamin tidak tertular Covid-19. Kedisiplinan dalam protokol kesehatan harus menjadi perhatian serta disadari masyarakat.
Adapun di Kudus, yang banyak warga Muslim, perlu ada contoh dari para ulama dan kiai untuk meyakinkan masyarakat, seperti halnya pernah dilakukan pada 2020. ”Community leader atau religious leader memegang peran. Mereka harus meyakinkan kelompok sebayanya karena akan lebih diterima ketimbang orang dari luar. Begitu juga bupati, sebagai kepala daerah yang saya kira perlu turun langsung,” kata Budiyono.