Jatim Perlu Pertimbangkan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Jawa Timur perlu mempertimbangkan kebijakan lebih tegas untuk mengatasi lonjakan kasus yang sedang terjadi di Bangkalan dan Madiun Raya. Misalnya dengan pembatasan sosial berskala besar.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Situasi pandemi Covid-19 di sebagian wilayah Jawa Timur memburuk. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Jawa Timur disarankan mempertimbangkan penerapan pembatasan sosial berskala besar untuk percepatan penanganan.
Menurut laman resmi http://infocovid19.jatimprov.go.id/, Selasa (8/6/2021), kasus bertambah 389 kasus menjadi 157.016 kasus. Jumlah pasien bertambah 98 orang menjadi 2.000 orang. Kematian bertambah 37 jiwa menjadi 11.620 jiwa. Kesembuhan bertambah 254 orang menjadi 143.396 orang. Tingkat kematian (fatalitas) 7,4 persen, sedangkan kesembuhan 91,3 persen.
Lonjakan terjadi di Bangkalan, Pulau Madura, di mana dalam tiga hari terakhir bertambah 145 kasus, 10 orang di antaranya meninggal. Jumlah pasien total ada 190 orang. Angka itu saat ini tertinggi di antara 38 kabupaten/kota di Jatim.
Situasi yang hampir mirip masih terjadi di megapolitan Madiun Raya. Di Kabupaten Madiun kasus bertambah 65 orang, 3 orang meninggal, dan 156 orang dirawat. Di Kota Madiun penambahan 27 orang, 5 orang meninggal, dan 88 orang dirawat. Di Ponorogo penambahan 51 orang, 12 orang meninggal, dan 94 orang dirawat. Di Magetan penambahan 50 orang, 3 orang meninggal, dan 101 orang dirawat.
”Untuk Bangkalan, yang perlu diwaspadai jika merembet ke kabupaten lain di Pulau Madura ialah Sampang, Pamekasan, dan Sumenep sehingga perlu dipertimbangkan langkah lebih tegas misalnya pembatasan sosial berskala besar,” kata anggota Dewan Pakar Satgas Covid-19 Jatim, Agung Dwi Wahyu Widodo dari Universitas Airlangga, Surabaya.
Dalam rapat koordinasi satgas, lanjut Agung, telah disampaikan adanya kemungkinan lonjakan kasus di Bangkalan terkait dengan serangan mutasi baru B117 Alpha. Indikasinya, sebagian korban yang meninggal adalah tenaga kesehatan yang telah dipastikan menerima vaksinasi.
Rumah Sakit Universitas Airlangga sedang mengisolasi dan menangani seorang pasien asal Bangkalan, yang ditemukan adanya varian B117 Alpha itu. ”Kami menduga bahwa lonjakan di Bangkalan itu ada yang reinfeksi atau penyintas terpapar kembali bisa dari tenaga kesehatan atau masyarakat,” ujar Agung.
Kemungkinan lonjakan kasus di Bangkalan terkait dengan serangan mutasi baru B117 Alpha. Indikasinya, sebagian korban bahkan yang meninggal adalah tenaga kesehatan yang telah dipastikan menerima vaksinasi.
Varian baru menyebar dan berdaya tular lebih tinggi daripada virus korona jenis baru (SARS-CoV-2). Jika tidak dikendalikan, rumah sakit akan cepat penuh, kebutuhan ruang ICU tinggi, dan di sisi lain memicu kematian lebih cepat pasien berpenyakit bawaan.
Untuk Madiun Raya, meski belum terkonfirmasi adanya varian baru di sana, mungkin sekadar masalah waktu. Tingginya peningkatan kasus di Madiun Raya, lanjut Agung, bisa dilihat dari kedatangan buruh migran asal mancanegara dan pemudik yang sempat datang dan tidak terdeteksi di masa larangan mudik Lebaran.
Di Jatim sejauh ini ditemukan tiga kasus varian baru. Satu kasus pada warga Mojokerto. Satu kasus pada warga Jember, buruh migran. Satu kasus pada warga dan buruh migran asal Sampang. Dua buruh migran itu sempat dirawat di RS Lapangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan 2 Surabaya dan telah dinyatakan sembuh.
”Tidak bijaksana jika mengingkari potensi serangan varian baru sehingga diperlukan antisipasi dengan kebijakan lebih tegas,” ujar epidemiolog Unair, Windhu Purnomo.
Pandemi Covid-19 di Jatim menyerang sejak 17 Maret 2020 yang diawali dengan diketahuinya enam kasus di Surabaya dan dua kasus di Malang. Tahun lalu pandemi memburuk sehingga diterapkan pembatasan sosial berskala besar untuk wilayah Surabaya Raya (Surabaya, Sidoarjo, Gresik) dan Malang Raya (Kota dan Kabupaten Malang serta Batu).
Kebijakan pembatasan sosial berskala besar menimbulkan perdebatan karena melumpuhkan kegiatan sosial warga terutama ekonomi. Di sisi lain, pembatasan sosial berskala besar lebih tegas dibandingkan dengan kebijakan saat ini, yakni pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat dari skala kabupaten/kota menjadi mikro atau skala kampung tangguh yang setara RT, RW, desa/kelurahan.
Dalam pembatasan sosial berskala besar, kebijakan lebih tegas terpaksa diambil dengan melibatkan militer. Menurut Agung dan Windhu, negara-negara lain menerapkan kebijakan lebih tegas lagi, yakni karantina wilayah sampai penguncian (lockdown). Untuk diingat, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatur pembatasan sosial berskala besar dan karantina wilayah sebagai mekanisme penanganan wabah yang dalam kasus Covid-19 menjadi pandemi global.
Pembatasan sosial berskala besar bisa diterapkan di kabupaten/kota yang sedang memburuk. Agung menyarankan, jika diberlakukan, terpaksa ditegakkan ketertiban dan kepatuhan protokol kesehatan. Di Bangkalan, misalnya, masyarakat perlu didorong untuk mengikuti tes usap PCR massal dan pelacakan kontak dekat untuk memperlihatkan situasi kasus yang sebenarnya.
Sayangnya, di Madura, pengetesan dan pelacakan paling minim se-Jatim sehingga situasi sebelum ledakan di Bangkalan menggambarkan kesemuan yang sekarang terbukti.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura Surokim Abdussalam mengatakan, penanganan pandemi di Madura selama ini kurang memperhatikan karakter budaya masyarakat. Warga Madura lekat dengan pepatah ”sengkok norok buntek” dan ”bhuppa, bhabbu, guru, rato” atau saya ikut-ikutan bapak, ibu, ulama, pemimpin.
Warga Madura amat religius. Salah satu prinsip hidup mereka ialah ”abantal syahadat, asapo iman, apayung Allah” atau bersandar syahat, berselimut keimanan, dan berlindung kepada Allah untuk keselamatan dunia dan akhirat.
”Saya yakin, orang Madura akan patuh dengan orangtua serta ulama yang meminta disiplin protokol kesehatan. Bahkan, kaum milenial Madura masih terikat, apa pun mereka masih meminta pandangan orangtua. Jika orangtua memberi contoh disiplin protokol kesehatan, anak-anaknya tentu akan mengikuti, begitu juga warga patuh terhadap ulama,” kata Surokim.
Penerapan kebijakan yang tegas sejauh diperlukan, lanjut Surokim, amat memungkinkan, tetapi aparatur jangan mengabaikan faktor budaya. Penerapan kebijakan di Madura tentu berbeda jika juga hendak diterapkan di kawasan lain, misalnya Madiun Raya yang berkarakter kebudayaan mataraman.