Mengembalikan Candi Borobudur sebagai Simpul Musik Dunia
Puluhan relief berupa alat musik yang saat ini ditemukan tersebar di sejumlah negara terdapat di Candi Borobudur. Temuan itu memunculkan dugaan, di masa lampau, tempat itu menjadi titik pertemuan beragam musik di dunia.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, memiliki peran dalam perkembangan musik dunia. Terdapat puluhan relief berupa alat musik yang kini tersebar di sejumlah negara. Temuan itu memunculkan kemungkinan bahwa candi Buddha tersebut menjadi tempat bertemu musik dari berbagai belahan dunia di masa lalu.
Kemungkinan-kemungkinan lain yang bakal muncul akan dieksplorasi lebih lanjut dalam konferensi internasional bertajuk Music Over Nations: Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik, yang digelar Sound of Borobudur. Adapun Sound of Borobudur merupakan gerakan kolektif yang terdiri dari musisi dan akademisi yang ingin menghadirkan kembali alat-alat musik yang tergambar pada relief Candi Borobudur. Bentuk kehadiran alat musik bisa berupa fisik hingga orkestra.
Konferensi internasional tersebut digelar bersama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Menurut rencana, konferensi itu dihelat di Kabupaten Magelang pada 24 Juni 2021.
Purwacaraka, Pemimpin Yayasan Padma Sada Svargantara, menuturkan, sedikitnya ada 200 alat musik yang tergambar dalam 44 relief panel di Candi Borobudur. Uniknya, tidak semua alat musik itu bisa ditemukan di Jawa Tengah. Alat-alat musik itu justru menyebar di 34 provinsi di Indonesia. Bahkan, ditemukan pula alat musik serupa di 40 negara lain.
”Penemuan. Namun, ini hanya ilmu pengetahuan pasif. Bayangkan, selama 13 abad candi tersebut ada di sana, tidak ada yang berusaha mengeksplorasi lebih lanjut. Gagasan untuk membumikan hal ini harus ditindaklanjuti semua pihak,” tutur Purwa dalam webinar yang diadakan Senin (7/6/2021).
Adapun alat musik yang terdapat dalam relief terdiri dari alat musik petik, pukul, tabuh, dan tiup. Salah satu alat musik yang ditemukan di Indonesia dan ada padanannya di negara lain ialah garantung. Alat musik ini punya kemiripan dengan sejumlah alat musik dari negara lain, yakni ranat ek (Thailand), marimba (Kongo), dan balafon (Gabon).
Purwa mengungkapkan, persebaran alat-alat musik tersebut memunculkan kemungkinan bahwa pada masa lampau, terjadi interaksi antarbudaya di sekitar Candi Borobudur. Interaksi yang terjalin bisa jadi dilakukan antarsuku bangsa. Tidak hanya dari satu negara, tetapi dari sejumlah negara. Sebab, sebaran alat musik mencapai negara-negara lain yang jaraknya sangat jauh dari candi tersebut.
”Tidak terelakkan jika kita berpikir, Candi Borobudur menjadi tempat berkumpulnya bangsa-bangsa di Nusantara, bahkan di dunia. Bisa juga sebaliknya, orang-orang dari Borobudur menyebar dan membawa musik atau budaya itu,” ujar Purwa.
Sejak awal, Purwa meyakini, musik adalah bahasa universal. Sekat perbedaan antarumat manusia dapat ditembus dengan beragam ekspresi musikal, dari musik yang ritmis hingga bernada. Untuk itu, menurut dia, universalitas musik juga hadir dan menjembatani perbedaan umat manusia pada masa tersebut.
Candi Borobudur menjadi tempat berkumpulnya bangsa-bangsa di Nusantara, bahkan di dunia. Bisa juga sebaliknya, orang-orang dari Borobudur menyebar dan membawa musik atau budaya itu.
Dewan Pakar Sound of Borobudur, Melani Budianta, menyampaikan, pihaknya mengumpulkan sejumlah pakar untuk membahas persoalan tersebut, mulai dari pakar etnomusikologi, sejarah, arkeologi, hingga antropologi.
Lebih lanjut, kata Melani, salah satu temuannya adalah pada sekitar abad ke-8, saat Candi Borobudur dibangun, musik tidak hanya digunakan untuk keperluan spiritual. Sejumlah relief menunjukkan bahwa musik juga difungsikan untuk hiburan, sarana ekonomi, penyembuhan, hingga sarana persahabatan lintas bangsa.
”Temuannya menunjukkan ada dimensi lintas bangsa yang sangat kuat dari koleksi alat musik dan panel (relief). Bagaimana selanjutnya pengetahuan ini disambut dengan dialog dari pakar di seluruh dunia,” ucap Melani.
Melani berharap, konferensi yang kelak digelar bisa membantu Candi Borobudur ”berbunyi” kembali. Tidak sekadar menjadi relief batu yang berdiam diri. Lebih-lebih, isi pengetahuan yang sarat akan toleransi dari setiap relief itu memberikan ajaran luhur yang tetap relevan hingga masa kini.
Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Rizki Handayani Mustafa menyampaikan, Candi Borobudur merupakan warisan budaya yang harus terus dijaga. Lewat musik, dapat dipetik ajaran universal tentang kemanusiaan. Hal tersebut sekaligus modal kuat yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan diplomasi budaya.