Jadi Penghasil Padi, Kalteng Masih Bergantung pada Beras Daerah Lain
Pemerintah mengklaim puluhan ribu ton beras dihasilkan di kawasan ”food estate” Kalimantan Tengah. Walakin, warga masih membeli beras dari Kalsel.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Kalimantan Tengah menjadi penghasil padi, tetapi mereka masih menggantungkan kiriman beras dari daerah lain. Sedikitnya industri beras di Kalteng dan ketidakefektifan rantai perdagangan menjadi penyebabnya.
Kebutuhan beras di Kalimantan Tengah sebagian masih dipasok dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ironisnya, sebagian besar beras tersebut ditanam dan digiling di Kalimantan Tengah.
Hal tersebut terungkap dalam webinar yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Palangka Raya (UPR) dengan tema ”Peran Food Estate dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Serta Prospek Kerja Bagi SDM Lulusan UPR”, Senin (7/6/2021).
Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan itu, Ketua Jurusan Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian UPR yang juga Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Food Estate Kalteng Eka Nor Taufik serta Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Provinsi Kalteng Sunarti.
Suarti menjelaskan, pada 2020 dari total 30.000 hektar lahan food estate di Kalteng, sudah 29.185 hektar lahan ditanami. Dari luas lahan itu, 20.316 hektar sudah panen dengan hasil 63.408 ton padi. Tahun 2021, pemerintah menargetkan lahan perluasan tambahan (ekstensifikasi) dengan luas mencapai 22.500 hektar yang saat ini masih dikerjakan.
Dari hasil panen 63.408 ton padi itu, menurut Sunarti, petani mayoritas masih menjual hasil panen berupa padi ke Banjarmasin melalui pengumpul, bahkan rentenir. Mereka menjual padi ke rentenir karena mereka mendapatkan modal produksi dari rentenir. Padi pun diolah menjadi beras di Kalsel dan dijual kembali ke Kalteng.
Sunarti mengungkapkan, Kalteng bisa memproduksi beras. Kualitas beras dari Kalteng tergolong bagus dan tanpa pengawet. Bulog yang memproduksi beras Kalteng juga memiliki label sendiri yang dijual di pasar besar, tetapi menurut dia, peminatnya memang kurang.
Eka Nor Taufik mengungkapkan, sejak November 2020 telah terbentuk tiga perusahaan atau korporasi petani di kawasan food estate yang bertujuan untuk mengelola hasil panen para petani. Korporasi ini dibentuk dan dikelola langsung oleh petani yang tentunya masih didampingi.
”Pembentukan kelembagaan petani ini bertujuan untuk mewujudkan kelembagaan ekonomi petani yang bersifat korporat atau badan usaha di kawasan pertanian,” kata Eka.
Menurut Eka, adanya korporasi petani akan membuat petani lebih berdaulat dalam mengelola keseluruhan rantai produksi usaha tani, termasuk pengolahan lahan dan pemasaran hasil usaha. Meskipun demikian, korporasi ini masih perlu banyak pendampingan dalam menjalankan fungsinya.
”Mereka berasal dari gabungan kelompok tani yang ada di tengah masyarakat, jadi ini dari, oleh, dan untuk petani,” kata Eka.
Kekurangan SDM
Eka menjelaskan, dalam korporasi petani dan pengelolaan kawasan food estate pihaknya masih kekurangan sumber daya manusia (SDM) manajerial dan petani. Setidaknya, untuk mengelola lahan dengan total 164.598 hektar, total target kawasan food estate padi di Kalteng membutuhkan 691 orang di posisi manajerial dan lebih kurang 80.000 petani dengan anggapan satu orang menggarap lahan seluas 2 hektar.
”Ini peluang yang harus direbut oleh perguruan tinggi di Kalteng, khususnya untuk UPR agar bisa menyediakan petani milenial dan petani yang memiliki jiwa kewirausahaan,” ungkapnya.
Saat ini, lanjut Eka, beberapa alumnus UPR sudah mulai bekerja di kawasan food estate sebagai pendamping petani. Mereka membantu petani melakukan pemasaran hingga pendataan.
”Harapannya ke depan petani tidak lagi menjual hasil panennya keluar atau ke pihak lain, semuanya bisa diserap oleh korporasi petani dan diolah oleh mereka sendiri. Korporasi petani bisa memberikan efisiensi harga yang cocok,” kata Eka.