Masa depan sebagian anak disabilitas rentan berujung tidak sederhana. Putus sekolah hingga sulit menyiapkan bekal membayang di depan mata di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/CORNELIUS HELMY
·5 menit baca
Anak-anak berkebutuhan khusus rentan tersisihkan saat pandemi Covid-19. Akses mendapatkan pendidikan layak semakin sulit didapatkan. Saat sikap abai masih terus dipelihara, masa depan bagi mereka bisa terus kelabu.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Anak disabilitas menggambar bersama relawan di Desa Cipinang, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Sabtu (29/5/2021). Save Education Indonesia bekerja sama dengan Bumi Disabilitas mengadakan kegiatan bersama dengan 70-an relawan berkegiatan bersama dengan anak-anak difabel di Kecamatan Cimaung.
Tahun ini menjadi yang terberat bagi Zacky (11), siswa sekolah dasar di Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Susah payah mengikuti pembelajaran daring, dia masih kesulitan menyerap ilmu yang disampaikan di sekolahnya.
Pengidap skoliosis dan gangguan penglihatan ini malah semakin kewalahan menatap latar telepon pintar. Mata Zacky lekas lelah. Secuil konsentrasi kini sulit ia dapatkan lagi.
”Dari awal tahun ini dia sudah jarang sekali ikut sekolah daring. Apalagi setelah operasi mata, dia semakin sulit melihat,” tutur Nurhabibah (38), ibu dari Zacky.
Kondisi ini membuat Nurhabibiah tidak berharap banyak. Dia pasrah jika tahun ini Zacky tidak naik kelas.
”Kalau pandemi Covid-19 masih seperti ini, saya tidak yakin Zacky bisa terus belajar. Terus terang, saya khawatir masa depannya. Kalau saya meninggal, apakah nanti bekal Zacky untuk mandiri sudah cukup atau belum,” ujarnya.
Keluh kesah itu diutarakan Nurhabibah dalam satu pertemuan yang diadakan Save the Children Indonesia dan Komunitas Bumi Disabilitas di Desa Cipinang, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Sabtu (29/5/2021).
Acara ini diikuti 50 anak difabel bersama orangtuanya. Ikut juga dalam kegiatan ini, 75 relawan dari kedua belah pihak. Tidak lupa, protokol kesehatan diterapkan dalam acara ini.
Sejumlah anak berkegiatan bersama relawan Desa Campakamulya, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (29/5/2021). Kegiatan bersama ini bertujuan untuk mendekatkan para relawan dengan anak-anak difabel dari sejumlah daerah di Kecamatan Cimaung.
CEO Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung mengatakan, kekhawatiran orangtua difabel di Kabupaten Bandung sejalan penelitian pihaknya di 46 negara pada Juli 2020. Faktanya, 85 persen orangtua khawatir anaknya tidak bisa kembali ke sekolah akibat pandemi.
Menurut Selina, keresahan itu bukan tanpa alasan. Kesetaraan akses hingga minimnya pemahaman sekolah menjadi pemicu utama. Selain itu, terbatasnya pengetahuan dan keterampilan tenaga pendidik menjadi hal yang harus dibenahi.
”Jika anak disabilitas tidak mendapatkan hak pendidikan, tidak hanya putus sekolah, hal itu dapat berdampak pada kondisi kesehatan mental dan fisik ke depan,” katanya.
Padahal, jumlah anak disabilitas di Indonesia tidak sedikit. Mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2018, ada 1.150.173 jiwa penyandang disabilitas sedang dan 309.784 jiwa (berat) berusia 2-6 tahun.
Ke depan, bakal ada beasiswa pendidikan hingga kesempatan kerja bagi disabilitas.
Selain itu, ada 1.327.688 orang penyandang disabilitas sedang dan 433.297 jiwa (berat) usia 7-18 tahun. Dari jumlah itu, lebih kurang 140.000 anak di antaranya tidak sekolah.
Bupati Bandung Dadang Supriatna yang ikut serta dalam rangkaian kegiatan itu berjanji memberi perhatian terkait beragam masalah yang dialami anak difabel untuk belajar saat pandemi. Harapannya, muncul perbaikan kualitas pendidikan anak disabilitas kelak.
”Ke depan, bakal ada beasiswa pendidikan hingga kesempatan kerja bagi disabilitas,” kata Dadang.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Salah satu anak difabel (kiri) berkomunikasi dengan relawan melalui bahasa isyarat saat berkegiatan di Desa Campakamulya, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (29/5/2021). Save Education Indonesia bekerja sama dengan Bumi Disabilitas mengadakan kegiatan bersama anak-anak difabel di Kecamatan Cimaung.
Penggagas Bumi Disabilitas Yuni Widiawati menuturkan, peran pemerintah sangat dibutuhkan agar anak disabilitas dan orangtuanya bisa menghadapi pandemi. Tanpa perhatian, pandemi potensial semakin menjauhkan anak-anak penyandang difabel dari pendidikan.
”Selain pendidikan, perawatan bagi anak difabel juga rentan sulit didapatkan. Di awal pandemi, ada sejumlah anak-anak yang kami damping berhenti fisioterapi. Pemicunya, selain layanan terbatas, perekonomian sebagian keluarga disabilitas lesu,” ujarnya.
Yuni mengatakan, meski tidak mudah, Bumi Disabilitas belum akan menyerah. Beragam pendampingan bersama para relawan akan terus dilakukan. Dia berharap, langkah itu didukung banyak pihak agar perhatian pada anak disabilitas dan keluarganya tetap terjaga.
”Ketika anak disabilitas tidak bisa melihat dunia, kami yang akan membawa dunia pada mereka,” katanya.
Sejumlah anak mengecap tangan di lembaran spanduk bertuliskan #SaveOurEducation di Desa Campakamulya, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (29/5/2021).
Alya Nufus (22), relawan Bumi Disabilitas, juga ingin menjadi bagian dari penjaga harapan itu. Datang dari Kota Bandung, berjarak 40 kilometer dari Cimaung, Alya tidak ragu ingin membantu.
Siang itu, dia membuktikannya dengan ia ikut mendampingi sebagian anak-anak difabel menulis. Meski sudah duduk di akhir sekolah dasar, Alya mengatakan, masih ada di antara mereka yang kesulitan menulis.
”Ada anak yang keliru menempatkan huruf. Saya tahu dia mengerti ada yang salah. Namun, masih butuh waktu dan pendampingan agar mereka bisa menyampaikan pesan yang diingkan. Saya ingin bisa terus mendampingi mereka,” ujar Alya antusias.
Saya mulai merasakan sulit berteman. Dulu teman saya sampai empat orang, sekarang cuma satu orang yang sering ngobrol. Semua seperti sibuk masing-masing.
Harapan Alya tidak bertepuk sebelah tangan. Faisal Nurohman (17) asal Desa Campakamulya, Cimaung, misalnya, kembali merasakan bahagia setelah lama diuji pandemi. Pertemuan Save the Children-Bumi Disabilitas, kata Faisal, sedikit banyak mengobati kerinduan mendiskusikan banyak hal dengan orang lain tanpa dipisahkan layar kaca.
”Saat pandemi Covid-19, saya merasakan banyak kesulitan belajar saat belajar daring,” kata siswa SMK Budi Mulya Banjaran yang terbiasa pergi ke sekolah sejauh 1 km dari rumahnya menggunakan kursi roda.
Faisal mengatakan, lewat daring, durasi belajarnya terbatas. Kerja praktik menjadi hal yang jarang ia dapatkan. Diskusi dengan guru dan siswa lain, sulit dilakukan.
”Saya mulai merasakan sulit berteman. Dulu teman saya sampai empat orang, sekarang cuma satu orang yang sering ngobrol. (saat belajar daring) Semua seperti sibuk masing-masing,” ujarnya.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Salah satu anak menuliskan salah satu cita-citanya di lembaran spanduk bertuliskan #SaveOurEducation di Desa Campakamulya, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Sabtu (29/5/2021). Save Education Indonesia bekerja sama dengan Bumi Disabilitas mengadakan kegiatan bersama dengan anak-anak difabel di Kecamatan Cimaung.
Oleh karena itu, dia tidak ingin melewatkan pertemuan siang itu. Dia banyak bertanya dan bercerita tentang upaya meraih mimpinya. ”Saya ingin bisa membuat podcast dan jadi vlogger. Saya suka public speaking. Sejauh ini sudah beberapa karya saya buat,” ujarnya.
Faisal mengeluarkan buktinya lewat puisi yang sudah ia tulis. Dia memberi judul ”Aku, Kamu, Pandemi”. Isinya tentang sejuta rindunya hidup di tengah pandemi. Cukilan sebait puisi itu ia perlihatkan di tengah harap pandemi ini akan segera usai.