Tren Populasi Elang Jawa di Bromo-Tengger-Semeru Meningkat
Munculnya individu baru elang jawa ini menjadi kabar baik, mengingat perkembangbiakan elang jawa sulit. Mereka telah beberapa kali bertelur, tetapi tidak menetas.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Tren populasi elang jawa (Nisaetus bartelsi) di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Jawa Timur dalam beberapa tahun terakhir cenderung naik. Berkurangnya gangguan menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya populasi salah satu satwa dilindungi itu.
Keberadaan elang jawa di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) setidaknya teramati di dua lokasi monitoring, yakni di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Wilayah II dan PTN I, serta di luar lokasi monitoring, yakni PTN III.
Jika pada 2013 di Seksi PTN II hanya ada 6 ekor dan PTN I ada 4 ekor, pada 2017 di PTN II teramati 6 ekor, PTN I ada 8 ekor, dan PTN III ada 7 ekor. Pada 2020, di PTN II ada 10 ekor, PTN I ada 14 ekor, dan PTN III ada 3 ekor.
Pelaksana Tugas Kepala Balai Besar TNBTS Novita Kusuma Wardani mengatakan, pihaknya terus memantau keberadaan elang jawa, termasuk dengan melibatkan masyarakat. Selain berdampak mengurangi perburuan liar, pelibatan masyarakat membuat mereka makin teredukasi akan pentingnya menjaga ekosistem.
”Saat ini lebih rutin terpantau sehingga pemburu yang dulunya leluasa di dalam kawasan tanpa diketahui oleh petugas saat ini mereka makin segan untuk masuk,” ujarnya dalam Sarasehan Harmoni Alam dan Budaya dalam Pengelolaan TNBTS dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Sabtu (5/6/2021), di Malang.
Menurut Novita, TNBTS seluas 50.276,2 hektar itu menjadi habitat 311 jenis flora dan 38 satwa liar dilindungi. Dari puluhan jenis satwa dilindungi itu, ada elang jawa dan macan tutul. Meski agak sulit mengetahui jumlahnya, keberadaan macan tutul, baik induk maupun anakan, itu bisa diketahui melalui kamera trap.
Terkait populasi elang jawa, Koordinator Pengendali Ekosistem Hutan BBTNBTS Toni Anarka menambahkan, tahun 2021 ini terpantau satu ekor individu baru menetas di PTN Wilayah III. Saat ini, anakan elang jawa itu baru berumur 3,5 bulan.
Saat ini lebih rutin terpantau sehingga pemburu yang dulunya leluasa di dalam kawasan tanpa diketahui oleh petugas saat ini mereka makin segan untuk masuk.
Munculnya individu baru burung predator ini menjadi kabar baik, mengingat di daerah lain di luar TNBTS, seperti di kawasan Gunung Merapi di perbatasan Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, perkembangbiakan elang jawa di alam bebas tidak selalu mulus. Mereka telah beberapa kali bertelur namun tidak menetas.
”Ini menggambarkan kualitas telur, otomatis kualitas makanan, dan kondisi lingkungan di sekitar sarang bagus. Di Pulau Jawa yang tercatat rajin beranak pinak setiap tahun di Gunung Halimun-Salak, TNBTS, dan hutan lindung Malang selatan,” katanya.
Sebaliknya, meski tren populasi elang jawa meningkat, populasi elang perut karat (Lophotriorchis kienerii) di TNBTS cukup sedikit. Elang perut karat sendiri bukan endemis Jawa.
Adapun soal macan tutul (Panthera pardus), sejak 2015 pihak BBTNBTS rutin melakukan pengamatan setiap tahun. Sebelum punya kamera trap (jebak), data yang dikumpulkan berasal dari cakaran di pohon, kotoran, dan bekas mangsa. Saat ini, BBTNBTS telah memanfaatkan lebih dari 60 kamera trap. Pemasangan kamera dilakukan di tempat-tempat yang menjadi jalur macan tutul.
”Mulai 2015 hingga sekarang, teramati ada 21 ekor individu berbeda di seluruh TNBTS. Hasil kamera trap kami analisis. Kami juga mengajak pihak lain, seperti komunitas Peduli Karnivora Jawa. Soal elang tadi, kami juga kerja sama dengan komunitas Raptor Indonesia,” ucapnya.
Menurut Toni, satwa tersebut merupakan data yang termonitor di site monitoring. Di luar itu, diperkirakan masih ada yang lain.
Ekosistem
Pada kesempatan ini, Novita juga menyinggung upaya penanganan kerusakan habitat TNBTS akibat kegiatan wisata (mass tourism). Bersama Fakulas Pertanian Universitas Brawijaya, pihak BBTNBTS membuat kajian bersama untuk memonitor dampak wisata terhadap ekosistem laut pasir (Bromo).
Dari lima titik yang dicek, empat titik yang selama ini menjadi konsentrasi parkir kendaraan (khususnya jip), porisitas tanahnya rendah—membuat daya serap air berkurang dibanding titik yang tidak menjadi tempat parkir kendaraan.
Pihak BBTNBTS pun mencoba menata jalur. Namun, masih ada saja pelaku wisata yang bandel keluar dari jalur yang ditentukan. Oleh karena itu, ke depan, transportasi di Lautan Pasir akan dilokalisasi di sepanjang bawah tebing (Jalan Lingkar Kaldera).
”Ini sedang dalam kajian, bagaimana struktur sealami mungkin, tetapi aman dilewati. Studi ITS (Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya) tahun 2006-2007, yang cocok jadi jalan ya sepanjang tebing tersebut,” katanya.
Sebagai gambaran, jumlah wisatawan ke TNBTS tahun 2018 sebanyak 825.206 (800.130 orang di ataranya wisatawan domestik), 2019 sebanyak 721.082 (699.021 wisatawan domestik), dan 2020 angkanya turun akibat pandemi menjadi 196.391 (193.733 wisatawan domestik).