Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara melepaskan beberapa satwa liar pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Warga dilibatkan dalam kegiatan ini untuk mengampanyekan penghentian penangkapan satwa liar.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
BITUNG, KOMPAS — Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara melepaskan kuskus beruang sulawesi, burung perkici dora, burung kring-kring bukit, serta ratusan tukik dan penyu pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Sabtu (5/6/2021). Warga dilibatkan dalam kegiatan ini untuk mengampanyekan penghentian penangkapan satwa liar.
Seekor kuskus beruang (Ailurops ursinus), tiga kring-kring bukit (Prioniturus platurus), dan seekor perkici dora (Trichoglossus ornatus) dilepasliarkan di hutan Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih, Bitung, Sulawesi Utara. Hewan-hewan itu telah direhabilitasi 1-3 tahun terakhir di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki, Minahasa Utara.
Pelaksana Tugas Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut Rima Christie Hutajulu mengatakan, hewan-hewan tersebut disita dari warga yang memelihara atau penjual hewan. Kuskus beruang yang diberi nama Robby, misalnya, disita dari pemburu pada 2019.
”Dia sebenarnya bersama seekor induk, tetapi induknya tidak terselamatkan karena dipukul di bagian tengkorak. Robby kemudian direhabilitasi dan diperiksa secara medis di PPS Tasikoki,” kata Rima.
Billy Lolowang, Manajer Program PPS Tasikoki, menyebut Robby kini sudah berusia sekitar tiga tahun. Rehabilitasi telah berhasil karena agresivitasnya jika dikelilingi manusia sudah kembali. ”Dulu kalau didekati dan dikasih makan, dia malah mendekat juga,” katanya.
Sementara itu, seekor perkici dora yang juga dilepasliarkan telah direhabilitasi sejak 2018, sedangkan salah satu dari tiga kring-kring bukit langsung dikembalikan ke habitatnya meski baru disita dari warga pada 6 Maret 2021. ”Sebenarnya belum ada putusan hukum terhadap pemiliknya dahulu, tapi sudah bisa dilepasliarkan,” katanya.
Sementara itu, 250 tukik dan penyu hijau (Chelonia mydas), sisik (Eretmochelys imbricata), serta penyu lekang (Lepidochelys olivacea) dilepaskan di pantai yang masuk area TWA Batuputih. Tukik-tukik itu ditetaskan dan dirawat terlebih dahulu di penangkaran TWA Batuputih, sementara beberapa penyu yang sudah cukup besar adalah sitaan dari masyarakat.
Kumpulan anak usia sekolah dasar hingga menengah pertama dilibatkan dalam pelepasan ke pantai. Rima mengatakan, hal ini adalah upaya untuk menyebarkan dan meningkatkan pemahaman masyarakat soal perlindungan satwa liar dan keanekaragaman hayati.
Menurut Rima, di beberapa daerah di Sulut, masih ada orang yang makan daging kuskus dan penyu. Ekor kuskus dipercaya dapat menjadi bahan obat. ”Tapi, itu, kan, satwa liar yang harus dilindungi, jadi tetap harus dikembalikan ke habitatnya,” ujarnya.
Janganlah mereka dikerangkeng hanya untuk memuaskan hati manusia saja.
Kepala Subdirektorat Keamanan Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Lu’lu’ Agustina mengatakan, pemerintah dan warga memiliki tugas menciptakan generasi restorasi yang peduli keseimbangan ekosistem. Realisasi misi ini mendesak, terutama di Pulau Sulawesi yang satwanya berbeda dari pulau-pulau di sisi baratnya karena adanya garis imajiner Wallacea.
Terkadang, masyarakat ingin memelihara satwa liar hanya untuk kesenangan dan kebanggaan diri sendiri. ”Satwa liar tempatnya bukan di kandang, tetapi di alam. Janganlah mereka dikerangkeng hanya untuk memuaskan hati manusia saja,” kata Lu’lu’.
Selama ini, satwa liar masih diperdagangkan, termasuk di area Minahasa yang punya tradisi bushmeat atau berburu dan menyantap daging hewan liar. Padahal, satwa liar adalah reservoir virus yang paling efektif menyebarkan penyakit di masyarakat, seperti virus SARS-CoV-2 penyebab pandemi Covid-19.
”Di sana ada potensi bahaya. Memang itu budaya masyarakat, tetapi budaya bisa agar lebih memedulikan alam. Lagi pula, kan, ada pakan lain dari peternakan. Jadi, kenapa harus makan satwa liar yang dilindungi?” kata Lu’Lu’.
Duta Yaki (monyet hitam) Indonesia, Khouni Rawung, mengatakan, dirinya sudah berupaya menghentikan perdagangan satwa liar dengan membuat deklarasi bersama pedagang di Pasar Beriman Wilken di Tomohon yang dikenal sebagai pasar ekstrem. Di pasar itu, berbagai jenis hewan, dari tikus, kucing, hingga ular dijual.
Namun, ini hanya sebagian dari upaya yang bisa dilakukan. Sebab, perdagangan satwa liar tetap marak, terutama di Bitung yang menjadi pintu masuk dan keluar perdagangan satwa dari Sulut. ”Peredaran uangnya besar, setara dengan perdagangan narkoba. Peminatnya juga kelas tertentu yang bisa membayar,” katanya.