Penantian Panjang Korban Lumpur Lapindo
Selama 15 tahun semburan lumpur Sidoarjo, pembayaran ganti rugi belum juga terlunasi. Sejumlah tantangan signifikan masih mewarnai jalan menuju penyelesaian. Para korban pun harus terus berjuang mewujudkannya.
Selama 15 tahun semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, pembayaran ganti rugi bagi sebagian korban terdampak belum juga dilunasi. Mereka masih harus terus berjuang untuk mendapatkan kompensasi dari bencana.
Melangkah seorang diri, Ahmad Basuni, berusia sekitar 60 tahun, menaburkan bunga di tepi tanggul semburan lumpur Desa Siring, Kecamatan Porong, Sabtu (29/5/2021). Tabur bunga menjadi simbol kesedihannya dalam 15 tahun terakhir.
Basuni merupakan satu dari warga korban semburan lumpur Sidoarjo yang belum menerima pelunasan ganti rugi. Baru menerima uang muka pembayaran senilai Rp 5 miliar, ia berharap segera mendapat pelunasan Rp 15 miliar.
”Tabur bunga ini untuk mengingatkan, sudah 15 tahun semburan lumpur. Berharap sisa ganti rugi segera dilunasi. Pemerintah harus memperhatikan nasib warga korban lumpur yang belum terbayar,” ujar Ketua Forum Komunikasi Korban Lumpur Sidoarjo ini.
Basuni mengatakan, kini ada sekitar 250 berkas aset berupa tanah dan bangunan milik korban lumpur yang belum menerima pelunasan ganti rugi. Total nilai ratusan berkas tersebut Rp 100 miliar. Para korban tak pernah berhenti menabur harapan.
Warga korban lumpur yang tersisa ini bertekad terus berjuang mendapatkan hak-haknya. Salah satunya mengajukan permohonan audiensi dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Surat permohonan sudah diajukan, tinggal menunggu jawaban.
Lihat juga : 15 Tahun Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo
Korban lumpur lainnya, Fatah, berusia sekitar 60 tahun, berharap pemerintah kembali mengalokasikan dana talangan untuk melunasi sisa pembayaran. Mereka tak masuk dalam program dana talangan pemerintah sebesar Rp 781 miliar karena belum mencapai kesepahaman dengan PT Minarak Lapindo Jaya. Selain itu, ada juga keluarga korban yang bersengketa terkait ahli waris.
Selain warga, kalangan pengusaha korban lumpur juga berharap dilunasi ganti ruginya. Ada 30 pengusaha yang menjadi tanggungan Minarak Lapindo Jaya dengan total aset Rp 701 miliar. Aset berupa tanah senilai Rp 542 miliar dan aset bangunan Rp 158 miliar. Proses penyelesaian saat itu didorong melalui mekanisme business to business antara pengusaha dan Minarak.
”Harapannya pembayaran ganti rugi itu segera dilunasi karena sudah menanti selama 15 tahun. Segala upaya sudah ditempuh, termasuk proses pengadilan. Putusannya pun jelas, ganti rugi harus dibayarkan,” kata Ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) Ritonga.
Semburan lumpur panas Sidoarjo berpusat di Desa Siring, Kecamatan Porong. Jarak pusat semburan itu hanya 200 meter dari sumur pengeboran gas Banjar Panji 1 milik Lapindo Brantas Inc. Meski penyebab peristiwa itu terus menuai kontroversi, faktanya, semburan lumpur merupakan bencana ekologi yang dipicu oleh aktivitas industri pertambangan di tengah kawasan padat permukiman.
Puluhan ribu keluarga kehilangan tempat tinggal dan tercerabut dari kampung halaman serta akar budaya mereka. Masyarakat korban semburan lumpur menerima pembayaran ganti rugi berdasarkan aset tanah dan bangunan yang dimiliki. Mayoritas telah menerima pembayaran ganti rugi dengan mekanisme beragam.
Baca juga : ”15 Tahun Lumpur Lapindo”, Sumur Gas Bocor, Penduduk Diungsikan
Data Pusat Pengendalian Semburan Lumpur Sidoarjo (PPLS) pada laman http://sda.pu.go.id menunjukkan, realisasi jual-beli tanah dan bangunan di dalam peta area terdampak (PAT) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, yang menjadi tanggung jawab PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), mencapai 98,61 persen.
Dana yang terbayar ke warga sebesar Rp 3,82 triliun, masih ada tunggakan pembayaran Rp 54,33 miliar. Pembayaran sebesar Rp 3,82 triliun itu termasuk pembayaran melalui dana talangan pemerintah sebesar Rp 781,1 miliar untuk 5.575 berkas milik masyarakat.
Adapun dana terbayar ke pihak swasta berupa uang muka ganti rugi sebesar Rp 48,95 miliar untuk 47,5 hektar tanah milik 30 pengusaha. Kekurangan pembayaran pengusaha Rp 701 miliar belum terlunasi.
Puluhan ribu keluarga kehilangan tempat tinggal dan tercerabut dari kampung halaman serta akar budaya mereka. Masyarakat korban semburan lumpur menerima pembayaran ganti rugi berdasarkan aset tanah dan bangunan yang dimiliki. Mayoritas telah menerima pembayaran ganti rugi dengan mekanisme beragam.
Minarak Brantas Gas Inc selaku pemilik Lapindo Brantas coba dikonfirmasi terkait realisasi pembayaran angsuran dana talangan ke pemerintah, pelunasan ganti rugi warga terhadap 250 berkas yang berada di luar program dana talangan, serta ganti rugi terhadap 30 perusahaan terdampak. Namun, Public Relations Manager Minarak Brantas Gas Inc Arief Setyo Widodo, yang dihubungi Kamis (3/6/2021), hanya menyatakan, perusahaan masih intens berkoordinasi dengan pemerintah.
”Semua pertanyaan terkait Lapindo sudah disampaikan ke kantor pusat di Jakarta, dan jawabannya soal pembayaran angsuran dana talangan masih dikoordinasikan dengan pemerintah,” katanya.
Baca juga : Nestapa Tak Berujung dari Semburan Lumpur Lapindo
Tanggungan pemerintah
Sementara itu, pembayaran ganti rugi untuk warga di luar PAT menjadi tanggung jawab pemerintah. Pembiayaannya bersumber dari APBN dan sudah terbayar 94,60 persen dari total nilai Rp 3,14 triliun. Kekurangannya Rp 179,35 miliar belum terbayarkan hingga sekarang.
Kepala PPLS Pattiasina Jefry Recky mengatakan, pembayaran kekurangan ganti rugi Rp 179,35 miliar tanggungan pemerintah menunggu peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebagai payung hukum. Peraturan itu tengah disusun oleh Biro Hukum Kementerian PUPR.
”Setelah payung hukum selesai, baru diajukan penganggarannya oleh Kementerian PUPR dalam APBN tahun berjalan. Bisa tahun ini atau tahun berikutnya,” ucap Pattiasina.
PPLS telah menyelesaikan proses inventarisasi data masyarakat terdampak semburan lumpur di dalam PAT maupun di luar PAT. Terkait dengan pembayaran korban lumpur yang menjadi tanggung jawab MLJ, Pattiasina mengatakan hingga saat ini masih terus dicari formula solusinya.
Baca juga : 15 Tahun Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo
Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor mengatakan, meski kewenangan penanganan korban lumpur berada pada pemerintah pusat, pihaknya memfasilitasi masyarakat untuk memperjuangkan haknya mendapatkan pelunasan ganti rugi. Salah satunya, mengirimkan surat permohonan audiensi ke kementerian terkait.
”Pemkab Sidoarjo berharap permasalahan sosial korban lumpur terselesaikan dengan baik. Pemda telah menyiapkan data pendukung yang diperlukan oleh kementerian terkait untuk memproses penyelesaian masalah tersebut,” ujar Muhdlor.
Di sisi lain, pihaknya terus berupaya menyelesaikan pekerjaan rumah menata desa-desa terdampak bencana lumpur demi memulihkan kembali kehidupan masyarakat. Secara keseluruhan, ada 16 desa di tiga kecamatan, yakni Porong, Jabon, dan Tanggulangin, yang terdampak semburan lumpur.
Sekretaris Daerah Sidoarjo Achmad Zaini mengatakan telah mengirim usulan penghapusan lima desa, yakni Renokenongo, Jatirejo, Siring, Besuki, dan Kedungbendo, dari daftar desa di Kementerian Dalam Negeri. Lima desa tersebut sempat disebut sebagai desa siluman oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani karena terdaftar sebagai penerima dana desa, tetapi secara faktual, kegiatan pemerintahan desanya tidak ada.
Pemkab Sidoarjo juga mengusulkan penggabungan 14 desa yang terdampak bencana karena wilayahnya tinggal sebagian dan penduduknya tersisa sedikit sehingga tidak bisa memenuhi ketentuan perundang-undangan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa. Harapannya, penataan desa terdampak lumpur segera tuntas.
Penuntasan masalah sosial semburan lumpur Sidoarjo menjadi tumpuan harapan bagi banyak pihak, terutama para korban yang sudah menderita belasan tahun. Namun, jalan menuju solusi tampaknya masih panjang dan penuh tantangan.