Petani Pohuwato Menderita Gatal-gatal, Diduga Dampak Penambangan Emas
Penambangan emas tanpa izin di wilayah Gunung Pani, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, ditakutkan berdampak terhadap kesehatan masyarakat. Selama beberapa pekan terakhir, petani di dua kecamatan menderita penyakit kulit.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Aktivitas penambangan emas tanpa izin di wilayah Gunung Pani, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, ditakutkan berdampak terhadap kesehatan masyarakat. Selama beberapa pekan terakhir, petani di Kecamatan Buntulia dan Duhiadaa melaporkan menderita gatal-gatal setelah bertani, diduga karena air yang tercemar aktivitas tambang masuk ke sawah.
Arlan Latif (35), salah satu petani di Desa Buntulia Utara, Buntulia, mengalami gatal-gatal di kaki setelah turun ke sawahnya kira-kira dua pekan lalu setelah Lebaran. Tumbuh bintul-bintul kecil di kakinya. Seperti beberapa petani lainnya, kakinya pun luka setelah digaruk-garuk akibat gatal tak tertahankan.
”Sudah banyak yang mengalami gatal-gatal di dua kecamatan, bisa jadi ratusan orang. Baru-baru ini cuma hitungan jari, tetapi saya dan teman-teman petani lain juga sudah mengalami itu sejak musim tanam lalu, Oktober dan November (2020),” kata Arlan saat dihubungi dari Manado, Kamis (3/6/2021).
Air yang menggenang di sawah para petani tersebut berasal dari anak sungai cabang Sungai Marisa. Dia memperkirakan, luasan sawah yang tercemar air penyebab gatal di Buntulia 100-200 hektar dari total 305 hektar sawah di kecamatan itu.
Kendati demikian, hal itu tidak membuat petani berhenti turun ke sawah. Untuk itu, menurut Arlan, para petani di desanya menyiasati dengan mengoleskan solar di kaki sebelum bertani. Sifat solar yang berminyak disebut bisa mencegah gatal-gatal itu kambuh lagi setelah petani turun ke sawah.
”Saya tidak tahu kenapa teman-teman petani pakai solar. Ya, namanya petani, mau cari makan di mana kalau bukan dari sawah. Kalau tidak kerja, ya, tidak makan. Jadi, kami tetap turun, apa pun risikonya,” kata Arlan.
Untuk sementara, para petani memiliki beberapa dugaan penyebab gatal-gatal itu, salah satunya adalah kegiatan penambangan emas tanpa izin (PETI) di Gunung Pani. Ada kemungkinan para petambang membiarkan limbah pengolahan mengalir ke sungai yang kemudian mengairi sawah di Buntulia dan Duhiadaa. ”Pertambangan sudah lama ada di sana,” kata Arlan.
Arlan menambahkan, petambang juga mungkin membuang ubi hutan yang dikenal sebagai bitule ke sungai. Ubi itu beracun dan menyebabkan gatal-gatal. ”Kemungkinan lain bisa jadi karena kotoran itik,” katanya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Pohuwato Irfan Saleh mengatakan, para petani dengan keluhan serupa telah diminta untuk berobat ke puskesmas terdekat, tetapi belum ada petani yang datang. Dinas kesehatan pun akan mengirimkan dokter ke desa untuk memeriksa penyakit tersebut.
Karena itu pula, sampai sekarang belum diketahui penyakit apa yang diderita para petani. Namun, Irfan belum mengimbau mereka untuk tidak turun ke sawah untuk sementara atau mengajukan alternatif lain.
Fenomena ini bisa jadi menunjukkan PETI bisa berdampak langsung pada kesehatan masyarakat, bukan hanya hutan dan satwa yang tinggal di dalamnya.
Pada 2015, penelitian tim dosen Jurusan Biologi Universitas Negeri Gorontalo yang dipimpin Ramli Utina menunjukkan, burung perairan di muara Sungai Randangan dan Taluduyunu, seperti cekakak sungai (Todirhamphus chloris) dan itik benjut (Anas gibberifrons), terpapar merkuri dengan akumulasi antara 0,096 part per million (ppm) dan 2,345 ppm. Hulu sungai yang menjadi sumber pengairan sawah itu berada di daerah PETI.
Manajer Program Burung Indonesia di Gorontalo, Amsurya Warman Amsa, mengatakan, fenomena ini bisa jadi menunjukkan PETI bisa berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat, bukan hanya hutan dan satwa yang tinggal di dalamnya. Perangkat pemerintahan pun kerap tampak tak berdaya di hadapan PETI.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pohuwato Bahari Gobel mengatakan telah mengambil sampel air dari sawah di Buntulia dan Duhiadaa, lalu mengirimnya ke laboratorium kesehatan di Kota Gorontalo dan Manado. Langkah ini diambil setelah 13 petani melaporkan gatal-gatal akhir Mei lalu.
Bahari belum punya dugaan penyebab gatal-gatal yang terkandung dalam air di sawah. Ia pun belum punya alasan untuk menyebutnya disebabkan oleh merkuri dari PETI. ”Kami kirim ke dua laboratorium agar bisa menguji akurasinya, untuk cek silang. Tapi, butuh waktu sampai hasilnya keluar, kira-kira 2-4 minggu,” katanya.
Dia mengklaim, merkuri memang masih dipakai 10-15 tahun lalu oleh petambang liar, tetapi sudah berkurang sejak Kementerian Lingkungan Hidup membangun pusat pengolahan emas nonmerkuri di dekat lokasi PETI. Namun, ia mengakui, harus ada penelitian lebih lanjut untuk memastikannya.
”Sejauh ini sudah ada dua perusahaan tambang yang berizin di sana, tetapi aktivitasnya terhambat karena Covid-19. Ini membuka peluang bagi masyarakat untuk masuk lagi dan menambang secara ilegal. Tidak bisa dimungkiri, ini sulit untuk kami kendalikan karena di atas sana ada ribuan orang,” katanya.