Mimpi Kotamobagu Jadi Ibu Kota Kopi Organik Sulawesi Utara
Kota Kotamobagu punya mimpi menjadi ibu kota kopi di Sulawesi Utara. Mimpi itu dipupuk jadi kenyataan secara kerakyatan dari kebun organik dan dapur masyarakat Desa Bilalang I dan II. Lima merek kopi robusta tercipta.
Kota Kotamobagu punya mimpi menjadi ibu kota kopi di Sulawesi Utara. Mimpi itu dipupuk menjadi kenyataan secara kerakyatan dari kebun organik dan dapur masyarakat Desa Bilalang I dan II. Hasilnya, lima merek kopi robusta organik menembus pasar lokal Sulut. Namun, bukan berarti tiada tantangan.
Endah Mokoagow (35) menggantungkan hidup pada kopi. Sejak 2019, produksi Kopi Mopira yang dirintis bersama almarhum suaminya tahun 2018, sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Di dapur rumah sekaligus ruang pengolahan, 50-60 kilogram biji kopi robusta dari perkebunan Bilalang, Bolaang Mongondow, dipanggang dan digiling setiap bulan.
Dalam bahasa Mongondow, “Mopira artinya bagus,” kata Endah, awal Mei 2021 ketika ditemui di rumahnya di Desa Bilalang I, Kotamobagu Utara. Layaknya kopi robusta, secangkir kopi tubruk buatannya memberikan rasa pahit dengan cita rasa karamel yang ampuh mengusir kantuk dan lesu.
Kopi Sinondag mendapat nilai 82,58 dari Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia untuk cita rasa kopi pahit dengan corak rasa karamel.
Pada Oktober 2020, Specialty Coffee Association of Indonesia (SCAI) menerbitkan sertifikat cita rasa kopi dengan nilai 77,33 bagi Kopi Mopira. Setiap karakteristiknya, dari aroma, rasa, hingga rasa yang ditinggalkan di lidah (aftertaste), tergolong sangat baik.
Namun, Mopira bukanlah kopi robusta kebanyakan. Bijinya ditumbuhkan di kebun seluas 31,5 hektar di ketinggian 900 meter dari permukaan laut yang dirawat Kelompok Tani Bangelon II metode organik. Artinya, tiada sejumput atau setetes pun bahan kimia pabrikan, baik pupuk maupun pestisida, yang diberikan pada pohon-pohon kopi robusta (Coffea canephora) milik mereka.
Kelompok Tani Bangelon II kini beranggotakan 28 orang dengan Endah sebagai ketuanya. Sebagai binaan Pemkot Kotamobagu, Pemprov Sulut, dan Bank Indonesia (BI) di Sulut sekaligus, kelompok itu mendapatkan berbagai keuntungan, salah satunya hibah lima ekor sapi.
Kotoran sapi-sapi itu dikumpulkan bersama daun, buah, dan batang tanaman yang gugur untuk diolah menjadi kompos dan cairan mikroorganisme lokal (MOL) di rumah kompos yang juga hibah. Berkat fasilitas kompos, Bangelon II telah memiliki sertifikat organik dari PT ICERT Agritama Internasional dan Indonesian Organic Farming Certification (Inoffice).
Endah pun menjadi pembeli tetap kopi organik dari anggota kelompoknya sendiri, satu-satunya sumber bahan baku Kopi Organik Mopira. “Setahun ada dua kali panen raya, tiap Desember dan Juni. Satu hektar menghasilkan kira-kira 80-100 kg biji kopi.
Baca juga: Tejo Pramono dan Uji Sapitu, Sekolah Kopi untuk Keluarga Petani
Pengolahan biji dari buah “ceri” kopi masih tradisional, yaitu dijemur 3-7 hari atau diasap hingga kering. “Yang dijemur saya beli Rp 30.000 per kg, sedangkan yang difufu (asap) Rp 25.000 per kg. Yang diasap lebih cepat kering, tetapi rasanya memang tidak sebaik yang dijemur biasa,” kata Endah.
Di dapurnya, ia menyangrai biji-biji kopi itu dan menggilingnya jadi bubuk dengan dua mesin hibah dari BI. Bubuk kopi yang lalu dikemas dalam wadah 70 gram dijual Rp 10.000, sedangkan yang 150 gram Rp 25.000. Ada juga kemasan besar 500 gram seharga Rp 75.000.
“Kopi Mopira sudah masuk di swalayan dan toko oleh-oleh di Kotamobagu sampai Manado. Ada juga kafe-kafe yang pesan biji sangrai saja setiap bulan, saya beri harga Rp 75.000 per kg. Kalau bubuk Rp 150.000 per kg,” kata Endah.
Setiap bulan, ia bisa mengolah dan menjual 50-60 kilogram kopi bubuk. Ia cukup senang dengan omzet Rp 7,5 juta-9 juta per bulan dengan modal hanya Rp 1,5 juta-1,8 juta. Itu sudah cukup untuk membiayai kebutuhan hidup serta menopang bakat anak pertamanya, Ikram Pobela (14), yang menekuni karate.
Komitmen organik
Kopi Mopira adalah satu dari lima merek kopi robusta organik asal Kotamobagu. Tiga merek, yaitu Mopira, Mojago, dan Dinodog, adalah buatan Desa Bilalang I, sedangkan Desa Bilalang II memiliki Kopi Organik Sinondag dan Lipu’ Totabuan. Tiap kelompok punya anggota belasan hingga puluhan orang yang diwajibkan merawat pohon kopi secara organik.
Cerita Kopi Sinondag yang diproduksi Hasny Mokoginta (52), dari proses di kebun hingga penjualan di pasaran, serupa dengan Mopira. Biji-biji kopi robusta yang jadi bahan bakunya dibeli dari belasan anggota Kelompok Tani Bobungayon yang telah bersertifikat organik pula.
Dipanen dari kebun di atas tanah bukit berbatu gamping atau dikenal domato dalam Melayu Manado, Kopi Sinondag mendapat nilai 82,58 dari Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia untuk cita rasa kopi pahit dengan corak rasa karamel pula. Penjualannya telah meluas sampai ke Palu, Sulawesi Tengah selain di swalayan lokal.
Hasny menyediakan Kopi Sinondag dalam tiga tingkat sangrai, yaitu medium, medium-dark, dan dark. “Itu kembali ke pelanggan. Ada yang tidak suka medium karena terasa tidak matang, ada juga yang tidak suka dark karena terlalu hangus,” kata Hasny yang menarget penjualan 3-4 kg bubuk kopi per hari dengan harga serupa Mopira, Rp 150.000 per kg.
Namun, yang terpenting dari kopinya adalah sifat organiknya. “Organik itu komitmen, sudah bagian dari nurani. Petani harus jujur, tidak boleh memakai bahan kimia sama sekali dalam perawatan tanaman. Saya pun tetap harus teliti biarpun beli dari anggota kelompok sendiri,” kata Hasny.
Petani kopi dari Kotamobagu, semuanya dari Desa Bilalang I dan II, memiliki 225,95 hektar kebun kopi dengan total produksi 48,34 ton biji kopi sepanjang 2020. Hampir seluruh kebun ini berada di daerah Kecamatan Bilalang, Kabupaten Bolaang Mongondow. Ini adalah dampak dari pemekaran Kotamobagu pada 2007.
Kepala Bidang Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Dinas Pertanian dan Perikanan Kotamobagu Ramjan Mokoginta mengatakan, saat ini baru kopi robusta yang jadi fokus pemkot. Metode organik dapat menjadi keunggulan absolut bagi kopi asal Kotamobagu. Pemkot bertugas menjaga dan mengontrol kualitas.
Baca juga: Kedai Kopi Tumbuh Bersama Petani
“Prosedur standar paling utama yang harus diikuti petani adalah jujur. Kami selalu evaluasi dan awasi. Kalau ada anggota kelompok yang, misalnya, bunuh rumput pengganggu pakai bahan kimia, kami bisa keluarkan sementara dari kelompok, kemudian kami kembalikan ke jalan yang benar (mematuhi metode organik),” kata Ramjan.
Prosedur keorganikan ini juga meliputi larangan merokok saat panen, penggunaan plastik, serta penggunaan karung bekas pupuk maupun pakan ternak. Kedisiplinan itu akan jadi modal untuk memperoleh sertifikat organik untuk ekspor.
Masalah
Meski demikian, tak semua petani kopi tertarik untuk tekun di jalur organik. Supriyadi Pobela (57), petani dari Desa Bilalang II, setahun terakhir tak lagi aktif di Kelompok Tani Bobungayon yang dipimpin Hasny. Karena kesibukan lain di luar kebun, ia kewalahan mengatasi rumput liar jika tak menggunakan cairan kimia.
Di sisi lain, kopi robusta ia sebut tak lagi menguntungkan. Tanaman kopi di kebunnya sudah berusia puluhan tahun dan hampir tak pernah diremajakan. Selama itu pula, tak ada program peremajaan tanaman dari pemkot, pemprov, maupun BI.
“Tidak ada bibit baru. Karena tanaman sudah tua dari zaman nenek kakek saya, kebun saya yang 0,75 hektar paling banyak cuma menghasilkan 80 kg sekali panen. Jadi saya coba ambil tunas baru dari pohon, kemudian tanam sendiri di polybag ” kata Supriyadi.
Harga biji kopi yang sudah dikeringkan, Rp 25.000-Rp 28.000 per kg, tak sesuai harapan Supriyadi. Padahal, biaya merawat kebun tiap dua bulan hingga pengasapan biji juga membutuhkan modal.
Ketika produktivitas kopi rendah, Supriyadi lebih suka beralih ke kemiri. Sebab, satu pohon bisa menghasilkan 200 kg biji kering dua hingga tiga kali setahun. “Pohonnya tidak perlu banyak perawatan kalau sudah tinggi. Harga bijinya juga menguntungkan, Rp 21.000 per kg,” kata dia.
Sangadi (kepala desa) Bilalang I, Badaria Ayo Mokoginta, mengatakan, harga bisa jatuh semakin dalam ketika panen raya. “Sebagian petani tidak tahu mau jual kopinya ke mana. Pengumpul kecil dan pengusaha kopi tidak bisa tampung banyak,” kata dia.
Menurut Endah Mokoagow, pemilik Kopi Mopira, rendahnya harga biji disebabkan pula oleh rendahnya harga kopi organik dari Desa Bilalang I dan II di pasaran. Padahal, kopi organik dibuat melalui proses yang teliti dan produknya lebih bersih kandungan kimiawi.
“Memang masyarakat belum bisa membedakan, mereka cuma tahunya kopi. Jadi mereka tidak mau bayar lebih dari Rp 25.000 untuk 150 gram,” kata Endah, yang juga berharap ada peremajaan tanaman kopi.
Sebenarnya ada harapan pengembangan usaha dari dana desa, seperti di Desa Bialalng II. Rismawati Goni, sangadi desa itu, mengatakan kelompok tani bisa mengajukan proposal untuk penggunaan dana desa. “Kami juga lihat, kalau usahanya benar berkembang, pasti kami faslitasi,” kata dia.
Untuk sementara, petani dan pengusaha kopi di Kotamobagu harus bertahan dalam keadaan. Ramjan Mokoginta, dari Dinas Pertanian dan Perikanan, ingin mengembangkan Desa Bilalang I dan II menjadi desa pertanian organik, sedangkan Kotamobagu jadi ibu kota kopi organik. Mimpi itu tetap dijaga demi kesejahteraan warga.