Dua Daerah di Sumsel Siapkan Skema Korporasi Petani
Dua kabupaten di Sumatera Selatan sudah mengirimkan informasi geospasial pertanian sebagai salah satu syarat dijalankannya korporasi petani dalam program lumbung pangan. Edukasi kepada petani menjadi syarat mutlak.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PANGKALAN BALAI, KOMPAS — Dua kabupaten di Sumatera Selatan sudah mengirimkan informasi geospasial pertanian sebagai salah satu syarat dijalankannya korporasi petani dalam program lumbung pangan yang sudah dicanangkan di Sumsel, Jumat (23/5/2021). Korporasi petani di Sumsel ditargetkan rampung pada 2022. Dengan konsep ini, diharapkan petani dapat mengentaskan permasalahan pertanian yang masih menjerat mereka.
Hal ini disampaikan Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Hortikultura Sumsel Bambang Pramono setelah menghadiri panen raya IP 200 (masa tanam kedua) di Desa Telang Jaya, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumsel, Selasa (1/6/2021). Dua kabupaten yang telah mempersiapkan konsep korporasi petani itu adalah Banyuasin dan Ogan Komering Ulu Timur.
Banyuasin dan Ogan Komering Ulu (OKU) Timur dinyatakan telah siap membentuk korporasi lantaran memiliki infrastruktur pertanian yang cukup memadai. Untuk OKU Timur, saluran irigasinya terbilang sudah mapan, sedangkan Banyuasin merupakan daerah dengan tingkat produksi beras tertinggi di Sumsel.
Selain itu, kedua daerah ini juga telah mengirimkan informasi geospasial tentang lahan yang akan masuk dalam program lumbung pangan. Banyuasin sudah mengirimkan informasi geospasial seluas 34.500 hektar, sementara OKU Timur telah mengirimakan informasi geospasial untuk 20.629 hektar lahan pertaniannya.
Informasi geospasial dinilai penting untuk melihat kondisi lingkungan pertanian di suatu daerah. ”Misalnya terkait seberapa dekat lokasi pertanian dengan permukiman petani. Informasi ini dibutuhkan untuk memetakan di mana korporasi pertanian akan ditempatkan,” ucap Bambang.
Banyuasin dan OKU Timur merupakan daerah yang masuk dalam program Food Estate (lumbung pangan) di Sumsel, selain Ogan Komering Ilir, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Ogan Ilir. Program lumbung pangan dicanangkan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pada Jumat, 28 Mei 2021.
Saya berharap konsep korporasi petani ini dapat diterapkan di lima kabupaten yang menjadi sasaran Food Estate.
Untuk tahap awal, ujar Bambang, ada 92.279 hektar lahan yang disiapkan untuk program lumbung pangan di Sumsel. Namun, secara keseluruhan, penerapan program akan diperluas hingga 278.483 hektar dan ditargetkan rampung pada 2022.
Dia menuturkan, pelaksanaan lumbung pangan tidak bisa lepas dari konsep korporasi petani. ”Karena itu, sebelum program ini dijalankan secara menyeluruh pada 2022, saya berharap konsep korporasi petani ini dapat diterapkan di lima kabupaten yang menjadi sasaran Food Estate,” ucap Bambang.
Korporasi petani bertugas menangani keperluan petani di segala lini, mulai dari hilir hingga ke hulu. Pemerintah pusat juga telah mengalokasikan bantuan hingga Rp 329 miliar yang terdiri dari Banyuasin sebanyak Rp 193 miliar dan OKU Timur sebanyak Rp 136 miliar.
Hanya pelaksanaan korporasi petani sangat bergantung pada kesiapan daerah dalam mengedukasi petaninya, terutama dalam membentuk kelembagaan seperti koperasi. Karena itu, peran setiap pihak terkait sangat dibutuhkan agar kelembagaan yang kuat bisa terbentuk.
Hingga kini, lanjut Bambang, pihaknya telah berkoordinasi dengan tujuh organisasi perangkat daerah terkait untuk memastikan pelaksanaan korporasi petani ini dapat terlaksana di Sumsel paling lambat 2022. ”Karena program lumbung pangan tidak hanya dikerjakan oleh satu kementerian, tetapi tujuh kementerian terkait,” ucapnya.
Kepala Dinas Pertanian Banyuasin Zainuddin mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan konsep korporasi petani untuk mengelola 118.732 hektar pertanian sesuai dengan usulan yang sudah diajukan sebelumnya. Lahan pertanian yang tersebar di 16 kecamatan di Banyuasin itu akan dibagi dalam 10 kawasan yang terdiri atas 36 kluster.
Satu kawasan memiliki luasan 10.000-15.000 hektar. Adapun satu kluster terdiri dari 2.000-10.000 hektar lahan padi atau jagung. Artinya, dalam satu kawasan bisa ada satu sampai tiga kluster.
Di setiap kawasan akan dibentuk korporasi petani yang terdiri atas koperasi milik petani setempat. ”Koperasi tersebut digerakkan oleh gabungan kelompok petani yang berada dalam satu kawasan yang sama,” ucapnya.
Nantinya, korporasi petani itulah yang akan menyusun rencana kegiatan pertanian dari hulu hingga hilir, dari penyiapan bibit, pupuk, dan pestisida hingga pengolahan pascapanen termasuk pemasaran produk. ”Semua harus digerakkan oleh tenaga profesional yang berasal dari daerah itu sendiri. Tidak ada campur tangan swasta,” ujarnya.
Lingkaran setan
Korporasi petani juga diharapkan dapat mengentaskan ”lingkaran setan” yang ada dalam skema pertanian di mana petani tidak bisa lepas dari utang lantaran kekurangan modal. ”Jika korporasi petani telah terbentuk, kerja sama dengan perbankan yang menawarkan bunga rendah sangat mungkin terjadi,” ucap Zainuddin.
Dia meyakini konsep ini bisa berhasil karena Banyuasin telah memiliki modal kuat, yakni produktivitas petani yang cukup tinggi. Di kawasan Muara Telang saja, petani bisa menghasilkan gabah kering panen (GKP) hingga 8 ton per hektar di masa tanam pertama (IP 100) dan 4,2 ton per hektar di masa tanam kedua (IP 200).
Luas tanam padi di Banyuasin adalah yang tertinggi di Sumsel, mencapai 174.000 hektar, dengan 68.000 hektar di antaranya sudah menjalani panen dua kali dalam setahun.
Mengentaskan
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru meyakini program ini dapat mengentaskan permasalahan yang menjerat petani. Mulai dari keterbatasan pupuk, ketersediaan bibit berkualitas, hingga harga gabah yang anjlok setiap panen raya.
Terkait keterbatasan pupuk bersubsidi, misalnya, dia meyakini tidak akan pernah cukup karena kuota yang disediakan pemerintah pusat hanya sekitar 8 juta ton, tetapi kebutuhan pupuk sekitar 24 juta ton. ”Karena itu, subsidi untuk pupuk dialihkan saja pada insetif bagi petani untuk meningkatkan harga jual gabah,” ucapnya.
Atau permasalahan bibit yang berkualitas, Herman menyatakan, Sumsel memiliki potensi untuk mengembangkan bibit secara swadaya dengan adanya penangkaran bibit di beberapa daerah. ”Bahkan tiga di antaranya sudah sesuai standar,” ujarnya. Ini bisa terus dikembangkan dan disebarluaskan ke daerah lain sehingga produktivitas petani bisa meningkat.
Pengelolaan yang profesional membuat hasil pertanian tidak terbuang. Selama ini, masa gabah yang terbuang ketika panen mencapai 11 persen. Namun, dengan pengelolaan yang benar didukung pendampingan dan alat pertanian yang memadai, potensi gabah terbuang dapat ditekan hingga 5 persen.
Petani di Desa Telang Jaya, Kecamatan Muara Telang, Markuat (54), berharap agar konsep yang disampaikan pemerintah benar-benar dapat terealisasi. Menurut dia, saat ini petani dihadapkan pada sejumlah masalah mulai dari sulitnya memperoleh modal untuk memulai masa tanam dan juga harga gabah yang rendah terutama saat panen raya.
Markuat menuturkan, dalam menjalani masa tanam hingga panen, dirinya harus menghabiskan dana sekitar Rp 10 juta. Sementara hasil yang diperoleh hanya sekitar Rp 24 juta dengan produktivitas 8 ton GKG per hektar.
Namun, dengan keterbatasan modal, petani juga berharap kepada pengepul yang tentu membebankan bunga yang tidak sedikit. ”Kami pun dihantui rasa takut akan gagal panen,” ucapnya. Karena itu, Markuat berharap konsep lumbung pangan yang sudah dicanangkan pemerintah benar-benar bisa dirasakan petani, tidak hanya sekadar wacana belaka.