Pulau Talise Jadi Kampung Bahari Nusantara Pertama di Sulut
Pulau Talise di lepas pantai Minahasa Utara menjadi lokasi Kampung Bahari Nusantara pertama yang ditetapkan oleh TNI Angkatan Laut di Sulawesi Utara. Berbagai masalah kelautan diharapkan bisa tuntas karenanya.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MINAHASA UTARA, KOMPAS — Pulau Talise di lepas pantai Minahasa Utara menjadi lokasi Kampung Bahari Nusantara pertama yang ditetapkan TNI Angkatan Laut di Sulawesi Utara. Program itu diharapkan menjadi pendorong penyelesaian masalah kelautan, seperti penggunaan racun dan bom untuk menangkap ikan.
Komandan Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) VIII Brigadir Jenderal (Mar) I Wayan Ariwijaya meresmikan status Desa Talise di Kecamatan Likupang Barat sebagai Kampung Bahari Nusantara, Senin (31/5/2021). Wujudnya berupa pemugaran dermaga desa serta revitalisasi gedung Pos AL menjadi multifungsi.
”Program ini adalah wujud OMSP (operasi militer selain perang) yang dipegang TNI, yaitu menyiapkan potensi nasional kekuatan negara secara dini, baik sumber daya manusia maupun alam. Tujuannya tentu menyejahterakan masyarakat dalam segala bidang, dari pertahanan, ekonomi, pendidikan, sampai ketahanan pangan,” tutur Wayan.
TNI AL menggelontorkan dana Rp 268,15 juta untuk pembangunan dan penyediaan bermacam infrastruktur. Pengeluaran paling besar, Rp 87 juta, terpusat pada perbaikan gedung Pos AL. Gedung itu kini menjadi, salah satunya, Rumah Babinpotmar (bintara pembina potensi maritim).
Menurut Wayan, Rumah Babinpotmar dapat menyelamatkan masyarakat dari masalah keamanan yang selama ini dikeluhkan, yaitu perikanan yang destruktif dengan bom dan racun. ”Kalau masih ada praktik itu, masyarakat bisa segera melapor ke Pos AL sehingga kami bisa melaksanakan tindakan,” katanya.
Keberadaan Pos AL juga akan didampingi beragam program. Wayan mengatakan, ia masih akan berkoordinasi dengan Pemkab Minahasa Utara untuk merumuskannya. Namun, pihaknya akan berfokus pada pembinaan pertahanan, seperti penyuluhan tatap muka soal bela negara serta penguatan keamanan sesuai profesi kenelayanan.
Di samping itu, Pos AL di Desa Talise juga berfungsi sebagai Rumah Pintar, pusat belajar anak-anak. TNI AL menyediakan lima buah komputer, begitu pula jaringan internet. Ruang ini juga dilengkapi perpustakaan. Kelompok Kompas Gramedia turut menyumbang 2.000 buku sebagai koleksi awal perpustakaan.
”Pendidikan juga salah satu prioritas kami, membina dan membentuk pola pikir masyarakat. Nantinya, fasilitas ini bisa dinikmati empat desa yang ada di Pulau Talise, bahkan sampai Pulau Kinabuhutan,” kata Wayan mengenai dua pulau dengan total luas 2.062 hektar tersebut.
Kampung Bahari Nusantara adalah program yang dilaksanakan secara nasional di seluruh wilayah maritim 14 lantamal Indonesia. Wayan mengatakan, desa-desa pesisir lain di Sulut juga akan menyusul menjadi kampung bahari, terutama wilayah yang memiliki Pos AL, seperti di Miangas (Kepulauan Talaud) dan Marore (Kepulauan Sangihe).
Kepala Dinas Pariwisata Minahasa Utara Audy Sambul mengatakan, status Kampung Bahari Nusantara bisa turut mendorong kelestarian pesisir Pulau Talise dan Kinabuhutan. Dua pulau itu memiliki padang lamun seluas 96,67 hektar serta terumbu karang seluas 198,04 hektar.
Ada beberapa spot selam yang sudah digemari wisatawan.
Jika perikanan destruktif dapat dihentikan, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pariwisata juga dapat diwujudkan. ”Bersama Pulau Gangga dan Pulau Bangka, Pulau Talise adalah destinasi selam unggulan Minahasa Utara. Ada beberapa spot selam yang sudah digemari wisatawan,” katanya.
Kepala Desa Talise Diana Kirauge berharap banyak manfaat yang bisa dibawa TNI AL bagi warga melalui Kampung Bahari Nusantara. Menurut dia, Desa Talise punya 9 hektar taman laut yang karang-karangnya dilindungi. Tempat itu juga menjadi titik selam favorit wisatawan.
Pelestarian pesisir, kata Diana, dapat menjaga keberlanjutan produksi mutiara dari kerang, sekalipun kegiatan itu masih terpusat pada satu pabrik saja. ”Sementara belum ada usaha mutiara masyarakat secara swadaya,” ujarnya.
Pada saat yang sama, beberapa bantuan, seperti komputer, bisa saja tidak maksimal. ”Mulai pukul 18.00 sampai 01.00 Wita, listrik di desa kami sudah mati. Jadi, malah kemungkinan manfaatnya tidak maksimal, kecuali listrik sudah 24 jam,” kata Diana.