Sembari memperjuangkan kebijakan pemerintah untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat, pengetahuan adat harus tetap diwariskan. Sekolah adat menjadi pilihan yang baik untuk itu.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pendidikan formal di Indonesia saat ini dinilai sebagai salah satu ancaman yang menyebabkan lunturnya pengetahuan adat istiadat. Sekolah adat terbukti efektif melestarikan warisan leluhur sambil memperjuangkan kebijakan untuk perlindungan dan pengakuan masyarakat hukum adat.
Hal tersebut mengemuka dalam Dialog Lintas Borneo bertema ”Sekolah Adat dan Masyarakat Adat” yang dilaksanakan oleh Forum Masyarakat Adat Heart of Borneo (HOB) secara daring, Sabtu-Minggu (29-30/5/2021). Hadir dalam kegiatan itu inisiator sekolah adat, juga komunitas adat dari semua provinsi di Pulau Kalimantan, termasuk di Sabah dan Sarawak.
Ketua Forum Masyarakat Adat HOB Marko Mahin mengungkapkan, terdapat berbagai ancaman lunturnya pengetahuan adat istiadat, bahkan budaya, antara lain perubahan sosial, globalisasi, bahkan pendidikan formal. Pendidikan formal belum memberikan ruang pada pengetahuan adat.
”Sekolah formal berwajah ganda, sifatnya destruktif atau memutuskan akar budaya. Sekolah adat saat ini hanya dilihat sebatas sanggar dan muatan lokal sehingga perlu sekolah yang komprehensif membahas adat, jawabannya sekolah adat,” ungkap antropolog Dayak tersebut.
Pengetahuan adat yang luntur, menurut Marko, juga disebabkan oleh ruang hidup masyarakat adat yang kian sempit. Hal itu disebabkan juga oleh masifnya alih fungsi lahan.
Marko menyarankan perlu adanya pendidikan kontekstual yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya di wilayah masing-masing. ”Menjaga warisan leluhur berarti mempertahankan identitas,” ujarnya.
Di Kalimantan Tengah, setidaknya terdapat dua sekolah adat, yakni Sekolah Adat Neya dan Basangiang. Keduanya berada di Kabupaten Kotawaringin Barat, sekitar 12 jam perjalanan darat dari Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalteng.
Sekolah adat saat ini hanya dilihat sebatas sanggar dan muatan lokal sehingga perlu sekolah yang komprehensif membahas adat, jawabannya sekolah adat.
Inisiator Sekolah Adat Neya Dani dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat mengungkapkan, pembentukan sekolah adat itu didasari keinginan menjaga warisan leluhur yang perlahan luntur karena generasi muda yang acuh terhadap budaya asli atau identitas mereka. Meskipun tertatih-tatih, sekolah itu sudah belasan tahun terlaksana.
Meski tak punya kurikulum tetap, lanjut Dani, sekolah adatnya tetap dilaksanakan hampir setiap minggu. Ajaran di dalam sekolah itu adalah ajaran adat.
”Paling tidak mereka memahami bahasa, menghormati yang lebih tua, begitu juga yang tua menyayangi yang muda. Selain itu, kami juga melatih tarian hingga pelaksanaan ritual adat,” kata Dani.
Sekolah Adat Neya hingga kini tak memiliki gedung. ”Kami bisa belajar di mana saja dan belajar langsung dari para tetua adat. Jadi, kami hanya memfasilitasi dan memotivasi peserta didik yang datang dari beragam umur, tua ataupun muda,” ungkap Dani.
Anne Lasimbang dari Pusat Pembelajaran Komunitas (CLC) di Sabah mengungkapkan sudah membangun setidaknya 25 pusat pembelajaran di Sabah, Malaysia. Pusat pembelajaran itu seperti taman kanak-kanak di Indonesia hingga live long learning yang diikuti orang dewasa.
”Kurikulumnya dinamis, yang jelas namanya di sini sistem pengetahuan orang asal (masyarakat adat),” ujar Anne.
Hal serupa disampaikan oleh Roedi Haryo dari Nomaden Institute Cross Culture Studies Kalimantan Timur. Menurut dia, pendidikan formal harus mengubah kurikulumnya menjadi sangat kontekstual dengan ligkungannya sehingga apa yang menjadi warisan leluhur, termasuk keyakinan, tidak musnah begitu saja.
”Pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang melawan waktu karena kita perlu bergegas. Sebab, saat ini banyak orang tua yang memiliki pemahaman dan pengetahuan adat itu sudah tiada,” kata Roedy.