Di Surabaya, Lebih dari 6.000 Keluarga Buang Air Besar Sembarangan
Berusia 728 tahun, Surabaya masih menghadapi masalah dasar, yakni sanitasi masyarakat, karena lebih dari 6.000 keluarga tidak punya jamban atau berkategori buang air besar sembarangan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Meski berkategori metropolitan dan kota terkemuka kedua di Indonesia, Surabaya, Jawa Timur, yang berusia 728 tahun pada Senin (31/5/2021), masih menghadapi masalah mendasar, yakni perilaku hidup masyarakat. Lebih dari 6.000 keluarga atau setara dengan 24.000 jiwa tidak memiliki jamban atau penampungan kotoran sehingga masuk dalam kategori buang air besar sembarangan.
Di Surabaya, nyaris tiada lagi atau hampir tidak ditemukan warga yang buang air besar di kali, sungai, atau saluran air. Setiap bangunan, terutama rumah hunian, memiliki kakus atau tempat buang air. Namun, dalam catatan Asosiasi Pengelola dan Pemberdayaan Sanitasi Indonesia (Appsani), ada lebih dari 6.000 keluarga tidak memiliki jamban atau penampungan kotoran. Artinya, limbah rumah tangga, termasuk tinja, dibuang ke sungai melalui jaringan saluran di perkampungan.
Pembuangan kotoran manusia ke saluran air tidak memenuhi standar hidup yang sehat. Pencemaran lingkungan bisa berdampak buruk bagi kesehatan dan kelangsungan hidup masyarakat.
”Bolehlah berambisi Surabaya menjadi smart city atau kota masa depan yang sangat modern dengan teknologi, tetapi jangan lupakan persoalan sangat mendasar yang belum terselesaikan, yakni masih ada warganya buang air besar sembarangan,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengelola dan Pemberdayaan Sanitasi Indonesia (Appsani) Koen Irianto, di Surabaya, Minggu (30/5/2021).
Koen turut mendukung dan terlibat dengan program kemitraan masyarakat Universitas Kristen Petra yang membangun jamban bagi tujuh warga RT 004 RW 0012 Putat Jaya, Sawahan, Surabaya. Program itu kelanjutan dari pengabdian masyarakat metode service learning atau campus goes to kampung sejak 2016 di Putat Jaya, bekas kawasan pelacuran atau lokalisasi Dolly itu.
Menurut Ketua Tim Dosen Program Kemitraan Masyarakat UK Petra Surya Hermawan, pembangunan jamban telah dilakukan sejak 2016 secara bertahap oleh dosen dan mahasiswa perguruan tinggi swasta tersebut. Survei-survei terdahulu memperlihatkan bahwa kalangan masyarakat Putat Jaya masih buang air besar ke sungai atau saluran air.
Situasi itu jelas tidak menunjukkan standar hidup sehat. ”Setelah diskusi dengan puskesmas dan Kelurahan Putat Jaya dibantu Kelompok Kerja Sanitasi Total Berbasis Masyarakat akhirnya disepakati UK Petra membantu pembangunan jamban,” katanya.
Di RW 012 yang terdiri atas enam RT, pada awalnya diketahui ada 315 keluarga yang belum memiliki jamban. Dengan intervensi program jambanisasi oleh pemerintah, swasta, dan berbagai pihak, termasuk UK Petra, yang belum punya septic tank tersisa 87 keluarga. ”Kami berharap secara terpadu masalah ini bisa diselesaikan dengan segera,” ujar Surya.
Sanitarian Puskesmas dan Pembina Pokja STBM Putat Jaya, Maya Santyawati, mengatakan, masih ada kalangan masyarakat yang belum memahami pentingnya hidup sehat dan bersih. Kalangan ini terkait erat dengan kemiskinan dan kebodohan sehingga perlu disentuh dan dibantu. Dalam program sanitasi, terutama jambanisasi, ternyata tidak mudah meyakinkan masyarakat untuk tidak buang air besar sembarangan.
”Dalam pandangan sebagian warga, jika sudah punya kakus, tidak buang air di sungai berarti persoalan selesai. Padahal, saluran pembuangan kotoran dari rumah ternyata masih ke sungai,” kata Maya.
Kalangan masyarakat enggan dan belum menjadikan kepemilikan jamban sebagai prioritas karena masih berkutat dengan persoalan ekonomi. Kebanyakan masyarakat berusaha di sektor informal dengan penghasilan tidak pasti. Mereka jelas tidak menjadikan sanitasi sebagai kepentingan vital dibandingkan dengan lainnya, misalnya pangan dan pendidikan.
Menurut Maya, dengan dibantu, masyarakat bisa disentuh. Namun, saat bantuan ditawarkan, masih ada juga yang keberatan. Ada warga yang tidak bersedia dibangunkan jamban jika tidak sekaligus diperhalus lantai di atas tempat penampungan itu. ”Jadi, sempat ada yang tidak mau dibuatkan jamban karena merusak keramik lantai. Jika tidak diganti keramiknya, ya, tidak mau,” ujarnya.
Koen mengatakan, sejak Appsani terbentuk pada 2012, lembaga ini mendorong masyarakat miskin bisa berdaya memiliki jamban sendiri atau komunal. Sistemnya cicilan atau kredit tanpa agunan dengan bunga amat murah, bahkan tanpa bunga. ”Dalam berbagai hal, intervensi dari kampus, misalnya UK Petra, yang membiayai seluruh prosesnya sangat membantu percepatan jambanisasi,” katanya.