Gufran: Dedikasi pada Sarung Keris Lombok
Gufran saat ini merupakan pembuat sarung keris paling andal di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Para pencinta keris di sana kerap memercayakan pembuatan sarung kerisnya ke Gufran.
Selain bilah, sarung keris juga menjadi daya tarik tersendiri. Hanya saja, untuk membuat sarung keris seperti itu, tidak hanya keahlian, tetapi juga dibutuhkan konsistensi, kesabaran, dan rasa cinta pada proses. Hal itu juga yang dipegang Gufran (42) selama belasan tahun menjadi pembuat sarung keris Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Langit mendung di kawasan Gegutu Reban, Desa Dasan Gria, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, awal April lalu. Di beranda rumahnya, Gufran terlihat duduk bersama dua tamu. Mereka adalah kolektor sekaligus pedagang keris, pelanggan Gufran.
Gufran tampak sibuk dengan sarung keris milik salah satu dari dua kolektor itu. Menggunakan pisau kecil, ia terlihat mengorek-ngorek bagian dalam sarung dari kayu yang telah dipisahkan menjadi dua bagian.
Setelah dirasa cukup, dua bagian sarung itu kembali ia satukan, kemudian diikatnya dengan karet besar. Gufran kemudian memasukkan bilah keris ke sarung itu. Karena belum terasa pas, ia kembali melepas ikatan karet, mengorek bagian dalam sarung dengan sangat hati-hati, dan mencoba memasukkan bilah keris sekali lagi.
”Ini sedang service. Bukan bikin baru. Tidak lama, beberapa jam bisa selesai,” kata Gufran.
Menerima service sarung keris lama memang termasuk bagian dari pekerjaan Gufran sebagai pembuat sarung. Namun, ia lebih banyak membuat sarung baru. Tak heran, setiap hari, pencinta, kolektor, dan pedagang keris datang ke rumahnya. Seperti pagi itu, dua orang yang datang berasal dari Lombok Barat. Jika tidak pandemi, beranda hingga gang depan rumahnya dipenuhi pelanggan.
”Pelanggan tidak hanya dari Lombok. Ada juga yang dari Jawa, termasuk permintaan dari luar negeri, seperti Malaysia. Kalau banyak, saya kadang alihkan ke yang lain, seperti ke adik yang juga membuat sarung,” tutur Gufran.
Menurut Gufran, dalam sebulan, ia bisa menerima pembuatan sarung 10-15 buah. Untuk satu sarung, ia dibayar sekitar Rp 500.000 dengan catatan pelanggan datang sendiri membawa bahan. Sementara jika bahan dari Gufran langsung, bisa hingga Rp 1 juta.
Dibandingkan dengan service yang hanya butuh waktu beberapa jam, pembuatan sarung yang dilakukan Gufran bisa memakan waktu paling cepat tiga hari, tergantung tingkat kerumitannya.
Itu membuat para pelanggan harus rela antre untuk mendapat sarung kerisnya. ”Rata-rata memang tidak ada yang buru-buru. Setiap pelanggan harus antre,” kata Gufran.
Belajar
Hingga saat ini, belum ada dokumentasi tertulis bagaimana sejarah dan asal-usul keris, apakah datang dari daerah lain, adakah empu si pembuat keris di NTB.
Dalam buku Bentuk dan Gaya Keris Nusa Tenggara Barat terbitan Museum Negeri NTB dikatakan, gaya keris Lombok mirip gaya keris Bali. Gaya keris Samawa (etnis Samawa di Kabupaten Sumbawa) dan etnis Mbojo (Dompu dan Bima) mirip gaya keris Bugis Makassar, Sulawesi Selatan.
Gaya keris yang berbeda itu dinilai sebagai dua lintasan yang dilalui budaya keris masuk ke NTB. Dari utara melalui Bugis Makassar ke Pulau Sumbawa, sementara dari barat masuk melalui Bali ke Lombok. Itu kemungkinan berlangsung setelah era keruntuhan Majapahit (abad XV) sehingga Lombok dan Sumbawa menjadi ajang perebutan kekuasaan kerajaan.
Banyaknya keris yang ditemukan di Lombok kemungkinan peninggalan prajurit ketika zaman perebutan pengaruh kekuasaan, lalu disimpan dan dirawat pemiliknya. Keris-keris yang semula menjadi alat peperangan itu berakulturasi dengan budaya lokal, seperti pelengkap busana adat perkawinan dan lainnya. Istilah selep/nyelep dan sikep/nyikep (bahasa Sasak) atau menyelipkan keris pada pinggang adalah bukti bahwa keris tidak asing bagi seluruh lapisan masyarakat (Kompas, 22/10/2016).
Banyaknya pencinta keris di Lombok membuat kediaman Gufran di Gegutu Reban yang juga bengkel tempat membuat sarung, berada sekitar 4 kilometer dari pusat Kota Mataram, tidak pernah sepi. Kawasan itu juga daerah yang warganya banyak berprofesi sebagai tukang pandai besi.
Sebelum menekuni pembuatan sarung keris, Gufran juga seorang pandai besi. Ia sebelumnya membuat berbagai perkakas dari besi, seperti kelewang, pisau kecil, samurai, dan pedang.
Ketertarikan dan hobinya melihat keris mendorongnya fokus ke sarung keris pada 2008. Berbekal pengalaman membuat perkakas besi, ditambah perlengkapan yang dia gunakan sebelumnya, Gufran mulai membuat sarung keris.
Menurut Gufran, meski telah terbiasa membuat perkakas dari besi dan sarungnya, sarung keris sangat berbeda.
Ia sempat kebingungan selama berbulan-bulan. Juga sering membuat kesalahan. Misalnya, sarung yang tidak pas dengan kerisnya. ”Itu kendala terbesar. Saat dimasukkan, ternyata tidak pas karena longgar atau seret. Tetapi, paling sering longgar,” kata Gufran.
Akan tetapi, Gufran tidak patah semangat. Ia terus belajar, termasuk berdiskusi dengan para pencinta keris yang kini menjadi pelanggannya. Juga dari para pembuat sarung senior kala itu.
Dalam perjalanannya, Gufran kemudian belajar tentang harmonisasi. ”Dari kebingungan-kebingungan, saya mencoba mengukur sendiri. Lalu, mencari kalkulasi rata-rata hingga mengetahui berapa ukuran yang pas agar kombinasi semua bagian sarung pas,” kata Gufran.
Tidak hanya harmonisasi dari segi ukuran, kepadupadanan rupa pada semua bagian keris juga harus benar-benar diperhatikan oleh Gufran. ”Jadi benar-benar harus tekun. Etos kerja harus kuat. Kalau mudah bosan, ya, susah,” kata Gufran.
Ia menjelaskan, tidak ada prosesi khusus ketika akan membuat sarung keris. Pelanggan biasanya datang membawa bilah (keris) dan kayu bahan sarung. Kayu ini pun bukan kayu biasa, melainkan jenis tertentu, seperti timoho (Kleinhovia hospita L). Timoho termasuk paling populer di kalangan pencinta keris karena memiliki pelet (semacam corak) berupa bercak atau urat-urat hitam. Selain juga karena ringan dan tidak mudah lembab.
”Corak ini tidak mudah didapatkan. Itu karena tidak selalu ada di setiap pohon timoho. Jadi, di kalangan pencinta keris, ini kayu yang mahal. Semakin banyak corak, semakin bagus nilainya,” kata Gufran.
Pelanggan yang datang juga tidak membawa dalam bentuk balok-balok kayu, tetapi potongan tipis timoho yang penuh dengan corak. Kayu ini nantinya yang akan ditempel Gufran pada sarung.
”Jadi, pelanggan datang, kemudian menyerahkan bahan-bahan, termasuk, misalnya, memesan bentuk warangka karena ada banyak bentuknya. Mereka tinggal sebut dan saya paham,” kata Gufran.
Agar tidak ada kesalahan dalam proses pembuatan, Gufran akan dengan sabar mendengarkan permintaan pelanggan saat mendiskusikan detail-detail sarung yang diminta.
Setelah semua bahan dan detail didiskusikan, Gufran akan membuat bentuk total sarung mulai dari warangka hingga gandar. Menyesuaikan dengan bentuk bilah keris. Setelah selesai, baru dilanjutkan dengan pemasangan pelet (kayu timoho).
Dari beberapa contoh sarung yang diperlihatkan Gufran, semua benar-benar harmoni. Pelet menempel dengan sempurna pada warangka dan gandar. Bahkan, meski pelet yang ditempel adalah potongan-potongan kayu, tidak terlihat ada bekas sambungan.
Di bagian akhir, ia membuat ganggang. Itu pun tidak serta-merta membuat. Namun, melihat kesesuaian dengan bagian yang telah selesai lebih dahulu (warangka dan gandar).
Menurut Gufran, tidak ada ciri khas pada warangka (sarung) keris Lombok. Bentuk warangka yang dibuat juga bisa ditemukan pada keris di Bali. ”Ciri khas yang menonjol justru pada bilah kerisnya,” kata Gufran.
Kesabaran, kecintaan pada proses, dan semua ketelitian Gufran ketika membuat sarung terbayar. Itu terlihat dari hampir tidak ada pelanggan yang komplain. Semua selalu puas.
Keahlian Gufran, disertai kecintaannya pada proses dan sarung yang dihasilkan, membuatnya disukai pencinta keris. Tak jarang, pemilik keris harga ratusan juta rupiah, bahkan satu miliar rupiah, memercayakan pembuatan sarung kerisnya ke Gufran.
”Tapi, kalau yang mahal, saya biasanya lihat sebentar dan mengukurnya. Lalu, saya minta pemiliknya bawa pulang saja. Nanti setelah selesai, baru disesuaikan lagi. Saya tidak berani juga menyimpan semahal itu, ha-ha-ha,” kata Gufran.
Tidak sekadar membuat sarung, Gufran juga belajar tentang keris, termasuk tentang perkembangan keris di Tanah Air, khususnya Lombok. Selain dari diskusi dengan pelanggan, ia juga mencari referensi lain, seperti membaca buku tentang keris.
Tidak heran jika dia paham bentuk keris Lombok dan dari daerah lain. Bahkan, bisa membuatkan sarungnya. Termasuk juga istilah-istilah, nama kayu yang populer untuk sarung, dan hal lain terkait dunia perkerisan.
Biodata
Nama: Gufran
Kelahiran: Lingsar, 2 April 1979
Pendidikan Terakhir: SMP
Istri: Siti Aisah (36)
Anak: Abdul Kholiq, Abdul Razaq, Abdul Malik