Dorong Produktivitas Petani, ”Food Estate” Dicanangkan di Sumsel
Sumsel mulai melaksanakan program ”Food Estate” di lima kabupaten dengan luas lahan mencapai 92.279 hektar. Ini menjadi rancangan awal untuk membangun sistem pengembangan pertanian dari hulu hingga hilir.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Suasana pencanangan program lumbung pangan atau ”Food Estate” di Sumatera Selatan, Jumat (28/5/2021).
INDRALAYA, KOMPAS — Sumatera Selatan mulai melaksanakan program ”Food Estate” atau lumbung pangan nasional di lima kabupaten dengan luas lahan mencapai 92.279 hektar. Ini menjadi rancangan awal untuk membangun sistem pengembangan pertanian dari hulu hingga hilir. Tujuan program ini untuk meningkatkan produksi serta kesejahteraan petani.
Lima kabupaten tersebut ialah Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, dan OKU Timur. ”Food Estate” diterapkan dalam tiga program, yakni intensifikasi lahan, pengembangan padi rawa, dan optimalisasi lahan.
Program lumbung pangan di Sumsel diresmikan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di Kabupaten Ogan Ilir, Jumat (28/5/2021). Syahrul mengatakan, pengembangan lumbung pangan ini diharapkan dapat memperkuat posisi Sumsel sebagai lumbung pangan di Indonesia. ”Sumsel memiliki tanggung jawab untuk memberi makan sekitar 273 juta penduduk di Indonesia,” ucapnya.
Menurut dia, penguatan di sektor pertanian sangatlah penting karena sektor ini terbukti paling tangguh dalam menghadapi pandemi. Selain sektor komunikasi, sektor pertanian menjadi penggerak ekonomi, mulai dari desa hingga tingkat provinsi. ”Pertanian tidak hanya sekadar soal makan, tetapi juga membuka lapangan kerja,” ucapnya.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memberikan pengarahan pada pencanangan program ”Food Estate” di Sumsel, Jumat (28/5/2021).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2020, sektor pertanian menyediakan lapangan pekerjaan bagi 29,76 persen dari total jumlah penduduk bekerja sebesar 128,45 juta orang. Jumlah ini meningkat sekitar 2,23 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. ”Ini menandakan banyak orang yang tertarik untuk kembali bertani,” ujar Syahrul.
Ekspor di bidang pertanian pun meningkat pesat pada 2020, yakni mencapai Rp 450,79 triliun atau naik sekitar 15,54 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 390,16 triliun. Dari capaian tersebut, ujar Syahrul, sektor perkebunan memberikan kontribusi terbesar dengan 91 persen, peternakan (6 persen), hortikultura (2 persen), dan tanaman pangan (1 persen).
Bahkan, lebih spesifik, Indonesia merupakan produsen beras terbesar keempat di dunia dengan produksi mencapai 34,9 juta ton di bawah China (148,3 juta ton), India (120 juta ton), dan Bangladesh (35,3 juta ton). ”Dengan program ini, volume ekspor diharapkan bisa meningkat,” ujar Syahrul.
Untuk itu, Syahrul berharap penerapan lumbung pangan tidak hanya sebatas beras dan jagung saja, tetapi juga terintegrasi dengan beragam bidang lain, seperti hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Karena itu, setiap kepala daerah harus membuat rancangan yang baik agar program yang sudah dicanangkan ini dapat berjalan optimal. ”Integrasi harus terjadi dari hulu hingga hilir,” ucapnya.
Dia mencontohkan, salah satu daerah di Sumatera Utara mampu mengembangkan bawang merah dan bawang putih dalam program lumbung pangan. Dalam waktu kurang dari satu tahun, mereka dapat menyimpan uang hingga Rp 20 miliar. ”Saya berharap di Sumsel juga demikian. Jika tidak ada perkembangan, lebih baik kepala dinasnya diganti saja,” ujarnya.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menuturkan, program lumbung pangan diharapkan dapat memberantas permasalahan pertanian yang ada di Sumsel. Masalah itu seperti perbedaan luas lahan, ketersediaan pupuk, keragaman varietas bibit, dan harga.
Ketika harga gabah membaik, petani pasti akan termotivasi untuk meningkatkan produktivitas.
Dia mencontohkan, permasalahan harga gabah yang anjlok ketika panen tiba diharapkan dapat diselesaikan dengan penyerapan gabah petani melalui Bulog ataupun perusahaan penggilingan swasta. ”Ketika harga gabah membaik, petani pasti akan termotivasi untuk meningkatkan produktivitas,” ujar Herman.
Selain itu, program lumbung pangan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas beras di Sumsel. Berdasarkan catatan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel, produksi gabah kering giling (GKG) pada 2020 mencapai 2,8 juta ton. Sementara itu, GKG yang diserap menjadi beras konsumsi sekitar 810.000 ton sehingga masih ada surplus sekitar 2 juta ton GKG di Sumsel.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Petani memanen padi di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (13/10/2020).
Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel Bambang Pramono menuturkan, pengembangan lumbung pangan dibagi dalam beberapa program. Untuk program intensifikasi lahan akan diterapkan di tiga kabupaten, yakni OKU Timur (20.679 hektar), OKU Selatan (3.000 hektar), dan Ogan Ilir (2.000 hektar).
Adapun program optimalisasi lahan dikembangkan di dua kabupaten, yakni Ogan Komering Ilir (11.100 hektar) dan Banyuasin (34.500 hektar). Sementara pengembangan padi rawa terletak di Banyuasin (19.000 hektar) dan Ogan Komering Ilir (2.000 hektar).
Bambang menuturkan, dalam pengembangan program lumbung pangan, pemerintah telah menggandeng 16 perusahaan penggilingan padi. Untuk membantu para petani dalam menjalankan program ini, pemerintah juga telah menambah jumlah tenaga pendamping hingga 1.400 orang. ”Dengan ini diharapkan pengembangan lumbung pangan di Sumsel dapat optimal,” katanyaa.
Kesejahteraan petani
Dosen jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Yulian Junaidi, berpendapat, pengembangan program lumbung pangan di Sumatera Selatan jangan hanya berpatok pada paradigma pertumbuhan ekonomi saja, tetapi harus mengacu pada kesejahteraan petani.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Petani melakukan panen raya dengan menggunakan mesin panen di Desa Sri Karang Rejo, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Sabtu (10/4/2021).
Jika paradigma pertumbuhan ekonomi yang dikedepankan dikhawatirkan pengembangan pertanian lebih berpedoman pada kepentingan korporasi. Karena itu, petani harus benar-benar dilibatkan di segala lini, mulai dari hulu hingga hilir.
Selama ini, petani hanya dijadikan alat dalam proses produksi yang ada di bagian tengah sistem pertanian, sementara bagian hulu (penyediaan bibit, pupuk, pestisida, hingga alat dan mesin pertanian) dan hilir (penanganan pascapanen) diserahkan kepada korporasi. Padahal, bagian hulu dan hilir adalah yang paling memperoleh nilai tambah, sementara proses produksi adalah yang paling berisiko. ”Seakan-akan petani hanya dijadikan sebagai buruh,” katanya.
Oleh sebab itu, kelembagaan petani yang kuat, seperti koperasi, harus dibentuk sehingga pelaksanaan program lumbung pangan dapat diterapkan secara seimbang. Selain itu, perlu ada pengawasan dari masyarakat sehingga pelaksanaan program lumbung pangan tidak merugikan petani.
Yulian juga berharap, program lumbung pangan tidak diterapkan di lahan gambut dan kawasan hutan. Jika hal itu dilakukan, ini akan menimbulkan degradasi lahan yang bisa memunculkan bencana nantinya. ”Jangan sampai program ’Food Estate’ menimbulkan kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial bagi petani,” ucapnya.