Teknologi Tingkatkan Mitigasi Tsunami di Selatan Jawa
Bencana alam akan berulang. Mitigasi bencana butuh terus ditingkatkan terus-menerus. Selain sosialisasi, penggunaan teknologi digital dan aplikasi yang kian terkoneksi juga diharapkan mampu meminimalkan risiko bencana.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
CILACAP, KOMPAS — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika meluncurkan aplikasi Sirita, akronim dari Sirens for Rapid Information on Tsunami Alert guna meningkatkan mitigasi bencana alam. Kemajuan teknologi digital serta terkoneksinya para pemangku kepentingan dan masyarakat diharapkan bisa meminimalkan risiko dari bencana alam, khususnya tsunami, di wilayah selatan Jawa.
”Kami membuat aplikasi berbasis Android. Fungsinya sebagai sirene tsunami. Ketika, misalnya, ada peringatan dini tsunami dari BMKG, teman-teman BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) bisa menggunakan user dan password itu untuk login ke aplikasi Sirita dan mengaktivasi sirenenya,” kata Kepala Stasiun Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie di Cilacap, Jawa Tengah, Kamis (27/5/2021).
Setyoajie menyampaikan, tim BPBD di daerah memiliki wewenang untuk mengaktivasikan sirene, baik di lapangan maupun di aplikasi tersebut, sesuai laporan peringatan dini dari BMKG. Jika ada peringatan tsunami, HP akan berbunyi. Bunyinya sama persis dengan yang sirene yang terpasang di lapangan.
”Pada dasarnya fungsi dan peruntukannya sama. Hanya saja, ini lebih personal. Bisa jadi ketika sirene (lapangan) dibunyikan dan rumah warga jauh dari lokasi sirene atau mungkin cuaca hujan lebat membuat suara sirene tidak terdengar. Kalau pakai aplikasi ini pasti terdengar karena sudah di-setting walaupun HP di-silent, sirene di HP tetap berbunyi,” katanya.
Setyoajie memaparkan, aplikasi itu diluncurkan bersamaan dengan selesainya pemetaan rawan tsunami oleh BMKG untuk level kecamatan. Mengingat adanya aktivitas subduksi di selatan Jawa, pemerintah dan masyarakat perlu menyiapkan skenario terburuk akan adanya potensi bencana gempa bumi dengan kekuatan di atas M 8 dan tinggi tsunami bisa mencapai 24 meter.
”Karakteristik Cilacap, Kebumen, dan Purworejo hampir sama. Di Cilacap tsunami bisa masuk sampai 6 kilometer dari bibir pantai. Namun, ingat, pesisir selatan itu, kan, banyak muara-muara sungai. Sungai itu, kan, jalan tol bagi tsunami. Makanya jangkauan bisa sampai 6 kilometer dari bibir pantai,” tuturnya.
Di Kebumen, kecamatan yang rawan tsunami adalah Buluspesantren, Ambal, Mirit, Petanahan, Puring, Ayah, dan Buayan. Sementara itu, di Cilacap, kecamatan yang rawan tsunami adalah Kecamatan Nusawungu, Adipala, Binangun, Kesugihan, Cilacap Utara, dan Cilacap Selatan.
”Harapan kami peta rawan bencana tsunami itu akan ditindaklanjuti oleh pengambil kebijakan sehingga masyarakat nanti bisa terakomodasi. Gempa semakin sering terjadi. Kita tidak tahu kapan tsunami terjadi. Gempa bisa diketahui di mana lokasi dan kekuatannya, tetapi tidak tahu kapan terjadinya. Maka, kami siapkan masyarakat bagaimana pelatihannya, pembangunan fasilitas, dan sosialisasi,” kata Kepala Stasiun Klimatologi Semarang dan Koordinator BMKG Jawa Tengah Sukasno.
Sukasno memberi salah satu rekomendasi untuk pembangunan gedung dan rumah supaya sesuai spesifikasi bangunan yang tahan gempa. ”Untuk mengantisipasi gempa, bangunan, seperti mal, rumah sakit, atau gedung pemerintahan, harus dilihat apakah sudah spesifikasi tahan gempa. Ini untuk mengurangi korban supaya tidak runtuh saat gempa,” katanya.
Kepala BPBD Kabupaten Cilacap Tri Komara menyampaikan, pihaknya akan melakukan sosialisasi dan simulasi evakuasi tsunami kepada masyarakat di sekitar lokasi rawan bencana. Setidaknya dalam setahun dibutuhkan 2-3 kali simulasi sebagai bentuk membangun kesadaran mitigasi bencana.
”Masih perlu dilakukan sosialiasi ke masyarakat, termasuk anak-anak, mulai dari SD sampai SMA atau perguruan tinggi. Termasuk bangunan, di Cilacap kami belum bisa menjamin bangunan gedung, baik kantor maupun rumah, tahan gempa di atas magnitudo 8. Jangan sampai membangun di zona merah dan tidak tahan gempa,” tutur Tri.
Tri menyampaikan, belajar dari pengalaman tsunami sebelumnya, masyarakat panik dan lari menuju tempat tinggi di sekitar Bandara Tunggul Wulung, Cilacap. Akibatnya malah terjadi kemacetan di jalan raya. Padahal, gedung bertingkat di atas 20 meter bisa dipakai sebagai shelter sementara untuk menyelamatkan diri dari tsunami. Tentu saja harus dilihat kekuatan bangunan pascagempa apakah layak atau tidak. Pihaknya juga terus menggiatkan 30 desa tangguh bencana untuk meminimalkan korban jiwa.
”Desa tangguh bencana diharapkan bisa benar-benar tangguh, quick respons, dan siap untuk selamat, jangan sampai terlambat. Golden time itu hanya 20 menit. Harus dimanfaatkan, jangan sampai terlambat karena ini terkait nyawa,” kata Tri.
Dari Kebumen, Operator Pusat Pengendali dan Operasi BPBD Kebumen Sukirman mengatakan, pihaknya masih melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait aplikasi Sirita, tetapi belum bisa masif. Blank sinyal juga jadi kendala penggunaan aplikasi ini. Di Kebumen, blank sinyal, antara lain, ada di sekitar Setrojenar, Klirong, dan Mirit.
”Kami sudah sosialisasi ke masyarakat, tetapi belum banyak karena belum ada di Playstore. Kendalanya di lapangan kalau ada blank spot atau tidak ada sinyal, itu tidak bisa dipakai (sirene tidak bunyi). Namun, SMS itu bisa masuk. Masyarakat Kebumen rata-rata setiap rumah punya satu HP Android. Aplikasi ini bisa meminimalkan korban jiwa,” tuturnya.
Dari catatan Kompas.id (28/4/2021), pada 2006 tsunami pernah terjadi di Cilacap dan menewaskan 165 orang. Saat itu tsunami datang dari arah barat sehingga keberadaan Pulau Nusakambangan sebagai benteng alam sangat penting melindungi Cilacap.
Jika tsunami datang dari arah timur, kerusakan dan dampaknya bisa lebih besar karena tidak ada benteng alam, seperti Nusakambangan di arah timur Cilacap. Mitigasi bencana butuh terus dilakukan. Selain dengan pelatihan, sosialisasi, dan penanaman pohon di pesisir pantai, pemanfaatan teknologi digital lewat aplikasi Sirita yang kian terkoneksi pun diharapkan bisa meminimalkan risiko bencana tsunami.