Masa Depan Gunung Botak Suram, Pemerintah Pusat Diminta Bersikap
Aktivitas penambangan emas secara liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, sulit ditutup secara permanen. Petambang dikhawatirkan akan mencari jalan untuk kembali lagi ke sana.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Masa depan lokasi penambangan emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, diperkirakan masih tetap suram. Tidak tertutup kemungkinan, lokasi itu akan kembali dimasuki para petambang seperti waktu-waktu sebelumnya. Pemerintah segera mengambil langkah dengan mendorong pengelolaan tambang secara profesional agar tidak menimbulkan berbagai masalah, terutama kerusakan lingkungan.
Hasan Wael (57), warga yang mengaku sebagai pemilik hak ulayat lahan Gunung Botak, Rabu (26/5/2021), mengatakan, aksi penertiban yang terjadi pada Senin (24/5/2021) tidak akan bisa menghentikan langkah petambang ilegal untuk kembali beraktivitas. ”Pasti tidak lama lagi mereka naik menambang di Gunung Botak. Di atas itu ibarat gula, semua akan berebutan,” katanya.
Berkaca pada pengalaman sebelumnya, beberapa bulan setelah penertiban, lokasi itu ramai lagi. Petambang memanfaatkan kelonggaran pengawasan aparat keamanan yang minim melakukan patroli di sana. Selain jauh dari Markas Polres Buru, lokasi tersebut juga luas dan terdapat banyak akses ”jalur tikus”.
Menurut Hasan, satu-satunya solusi adalah lokasi itu dikelola secara profesional, baik oleh pemerintah maupun investor swasta. Dengan demikian, tidak akan ada lagi persoalan seperti gangguan keamanan hingga kerusakan lingkungan akibat penggunaan merkuri dan sianida untuk pengolahan emas. Kerusakan lingkungan itu yang kini dirasakan warga setempat. Ratusan hektar pohon sagu dan puluhan sapi mati.
Ia menuturkan, pemerintah pusat telah mengirimkan utusan untuk bertemu mereka pada 2019. Utusan dimaksud berasal dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi serta dua perusahaan tambang BUMN, yakni PT Aneka Tambang dan PT Timah. ”Sampai sekarang belum ada lagi kabar dari mereka,” ucap Hasan.
Sejumlah investor, lanjutnya, juga sudah mengincar lokasi tersebut. Investor dimaksud berasal dari dalam dan luar negeri. Oleh karena itu, beberapa waktu lalu, pihak alih waris sempat mengumumkan akan menjual lokasi itu kepada siapa pun agar dikelola secara profesional.
Wakil Bupati Buru Amus Besan juga setuju jika lokasi itu dikelola secara profesional. Ia mendorong pemerintah pusat selaku pemberi izin pertambangan agar memberikan izin kepada investor dalam bentuk izin usaha pertambangan dan izin kepada masyarakat lokal lewat izin pertambangan rakyat.
Menurut dia, jika izin pertambangan rakyat diberikan, masyarakat adat dapat terlibat mengelola pertambangan dengan pendampingan pemerintah. Keterlibatan masyarakat adat diperlukan, mengingat di banyak lokasi pertambangan yang dikelola investor minim memberikan manfaat bagi masyarakat lingkar tambang.
Kendati demikian, disadari bahwa pertambangan rakyat sangat rentan terhadap penggunaan zat kimia untuk mengolah emas seperti saat ini. Merkuri dan sianida telah mencemari lingkungan di sana. Masa depan daerah itu sebagai lumbung pangan di Maluku pun dipertaruhkan.
Pihak kepolisian juga berharap agar pemerintah pusat sebagai regulator dapat bertindak guna menyelamatkan daerah itu. Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat mengatakan, sangat terbuka kemungkinan para petambang kembali lagi ke Gunung Botak jika lokasi itu dibiarkan begitu saja.
Selama ini, banyak anggaran yang sudah dikeluarkan untuk pengamanan lokasi itu, baik dari Polri maupun pemerintah daerah. Pada Maret 2021, pos pengamanan dicabut lantaran tak ada lagi biaya pengamanan dari daerah. ”Polri juga punya keterbatasan,” ujar Roem.
Penambangan liar di Gunung Botak mulai beroperasi pada Oktober 2011. Jumlah petambang sempat melampaui 20.000 orang. Petambang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia. Gunung Botak yang sebelumnya utuh dan ditumbuhi pohon kayu putih telah terbelah dan hancur akibat digali dari berbagai sisi.
Penutupan pun telah dilakukan puluhan kali. Penutupan secara besar-besaran pertama kali terjadi pada November 2015 yang diprakarsai oleh Panglima Kodam XVI/Pattimura Mayor Jenderal Doni Monardo. Penutupan saat itu merupakan yang ke-25 kali. Lokasi tersebut pun berhasil dikosongkan.
Selanjutnya, anggota TNI AD menanam ribuan anak pohon berbagai jenis di lokasi tambang tersebut. Namun, ketika Doni mutasi dari Kodam Pattimura pada 2017, perhatian ke Gunung Botak pun mengendur. Para petambang kembali merambah lokasi itu.
Pada 2019, penutupan besar-besaran kembali dilakukan. Kali ini diprakarsai oleh Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa. Tak hanya menutup lokasi tambang, Royke juga memutasi sejumlah pejabat Polri di Pulau Buru. Ada oknum yang terlibat diproses hukum. Royke kemudian dimutasi dari Maluku pada 2020 (Kompas, 24/5/2021).