Ricuh, Massa Paksa Petugas Bebaskan Petambang Ilegal Gunung Botak
Massa menghadang kendaraan petugas dan memaksa agar belasan pelaku penambangan liar dibebaskan. Kericuhan terjadi dan petugas terpaksa melepas para pelaku itu demi keselamatan semua pihak.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Dalam dua hari terakhir puluhan anggota Polri menertibkan lokasi tambang emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Aksi aparat sempat diwarnai dengan penghadangan oleh massa yang menolak lokasi tambang ditutup. Sebanyak 19 petambang yang telah ditangkap akhirnya terpaksa dilepas petugas.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat, hingga Selasa (25/5/2021) sore, lokasi itu sudah dibersihkan dari kegiatan penambangan liar. Sejumlah anggota Polres Buru yang terlibat dalam operasi penertiban selama dua hari sejak Senin (24/5/2021) masih berpatroli di sana.
”Saat petugas sampai di sana pada Senin siang, banyak petambang sudah meninggalkan lokasi itu. Sementara mereka yang masih ada diminta turun dan tenda-tenda yang mereka bangun sebagai tempat tinggal serta peralatan untuk pengolahan emas langsung dibakar petugas,” kata Roem.
Menurut dia, 19 petambang sempat ditangkap, kemudian dinaikkan ke dalam mobil patroli pada Senin petang. Saat keluar dari lokasi Gunung Botak, tepatnya di Desa Dava, massa yang berjumlah ratusan orang menghadang mobil petugas. Massa yang sebagian para pemuda dan ibu-ibu itu memalang jalan dengan potongan kayu.
Saat petugas sampai di sana pada Senin siang, banyak petambang sudah meninggalkan lokasi itu. (Roem Ohoirat)
Mereka menghentikan iring-iringan kendaraan petugas, lalu memaksa agar petambang yang ditangkap segera dibebaskan. Kericuhan antara petugas dan massa tak terhindar. Petugas sempat mengeluarkan beberapa kali tembakan peringatan, tetapi tidak dihiraukan massa yang berdiri memenuhi badan jalan.
Lantaran jumlah massa lebih banyak, petugas kewalahan sehingga melepas 19 petambang dimaksud. Petugas lalu menangkap dua orang dari massa itu yang dianggap sebagai provokator. ”Saat ini dua orang itu sedang diperiksa di Markas Polres Buru,” ujar Roem.
Roem menduga dua orang itu yang menggalang massa untuk melawan petugas. Mereka menginginkan agar tambang liar Gunung Botak terus beroperasi. Menurut Roem, selama tambang beroperasi, banyak pihak mengambil untung dari sana, termasuk para cukong yang membiayai penambangan liar itu.
Roem mengatakan, ke depan Polres Buru akan melakukan operasi secara berkala di lokasi itu untuk mencegah petambang masuk kembali. Sebelumnya Polres Buru membangun pos pengamanan di sana. Namun, pos itu dicabut pada Maret 2021 lantaran tak ada lagi dukungan anggaran dari pemerintah daerah.
Pemerintah pusat
Wakil Bupati Buru Amus Besan yang dihubungi secara terpisah mengatakan, pemerintah pusat segera mengeksekusi rencana pengelolaan Gunung Botak. Pada 2019 perwakilan dari kementerian dan lembaga telah meninjau lokasi itu. Mereka di antaranya pejabat dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Aneka Tambang.
Amus juga mendorong agar pengelolaan kawasan tambang itu melibatkan masyarakat adat setempat lewat skema izin pertambangan rakyat. Dengan begitu, masyarakat setempat dapat menikmatinya. Di sini pemerintah hadir untuk mengaturnya. Adapun kewenangan terkait pertambangan itu kini ada di tangan pemerintah pusat.
Peneliti logam berat dari Universitas Pattimura Ambon, Yusthinus T Male, berpendapat, pertambangan rakyat rentan terhadap penggunaan merkuri dan sianida untuk pengolahan emas. ”Siapa yang menjamin mereka tidak menggunakan merkuri dan sianida kalau pengolahannya secara tradisional?” ujar Yusthinus.
Dalam catatan Kompas, penambangan liar di Gunung Botak mulai beroperasi pada Oktober 2011. Jumlah petambang pernah melampaui 20.000 orang. Petambang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia. Gunung Botak yang sebelumnya utuh dan ditumbuhi pohon kayu putih telah terbelah dan hancur akibat digali dari berbagai sisi.
Proses pengolahan material tambang itu menggunakan merkuri dan sianida. Tak terhitung banyaknya zat kimia itu telah mencemari lingkungan setempat. Terbukti ratusan hektar pohon sagu mati. Juga ternak warga pun mati. Proses penutupan telah terjadi puluhan kali, tetapi para petambang selalu kembali ke sana. Lokasi tambang itu sangat menggiurkan.