Nanas dari Kotamobagu dan Desa Lobong, Bolaang Mongondow, tak pernah bikin mata menyipit. Daging buahnya yang segar, padat nan berair, selalu manis sehingga cocok dijadikan selai. Namun, petani lebih suka jual cepat.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·6 menit baca
Nanas dari Kotamobagu dan Desa Lobong, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, tak pernah bikin mata menyipit. Daging buahnya yang segar, padat nan berair, selalu manis sehingga cocok dijadikan selai. Produk turunan itu bisa jadi pelindung dari naik turunnya harga nanas. Namun, desakan kebutuhan hidup petani kerap membuat nanas-nanas itu tak sempat berubah menjadi selai.
Sebuah tanaman baru diperkenalkan kepada warga Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, pada 1960-an. Ia adalah nanas madu (Ananas comosus) yang didatangkan pemerintah dari Bogor, Jawa Barat. ”Bibit-bibitnya ditanam di perbukitan Passi,” kata Ramjan Mokoginta, Kepala Bidang Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Dinas Pertanian dan Perikanan Kotamobagu, Jumat (7/5/2021).
Perbukitan Desa Lobong pada ketinggian 360-an meter di atas permukaan laut (mdpl) terbilang fertil dengan kandungan kapur. Karena itu, nanas madu dari Bogor yang umumnya bisa tumbuh di segala jenis tanah pun tumbuh subur. Pertama di Desa Lobong, Kecamatan Passi Barat, Bolaang Mongondow, disusul Kelurahan Mongkonai dan Mongkonai Barat, yang sejak 2007 masuk wilayah Kotamobagu. Kotamobagu dan Bolaang Mongondow saling berbatasan.
Buah yang dihasilkan tidak kecut, justru dominan rasa manisnya diiringi samar-samar masam khas nanas. Aromanya wangi dan warna dagingnya kuning cerah mengundang selera. Teksturnya padat dan renyah saat dikunyah, tidak terlalu berair, tetapi tetap menyegarkan.
Seiring waktu, nanas menjadi produk unggulan lokal. Kementerian Pertanian pun menetapkannya sebagai varietas lobong kuning pada 2004. Nanas kini digantung di depan kios-kios semipermanen di tepi Jalan Trans-Sulawesi, dari wilayah Passi Barat sampai Kotamobagu.
Selai
Kemasyhuran nanas lobong kuning mendorong pertumbuhan industri rumah tangga selai nanas di Desa Lobong. Pemkab Bolaang Mongondow menetapkannya sebagai sentra pengolahan nanas dalam program one village one product pada 2017. Ribuan kotak selai pun mulai diproduksi dari 20-an unit usaha selai di desa itu.
Haniko Hamim (36), warga Desa Lobong, pun mengamini Ramadhan sebagai bulan penuh berkah. Pintu rezeki terbuka lebar bagi pengusaha kecil selai nanas bermerek dagang Wahyudi itu. Tak kurang dari 5.000 kotak selai buatannya telah terjual selama 25 hari bulan suci, 100 kali lipat dibandingkan bulan-bulan biasa.
Kebanyakan penjualan selama Ramadhan berasal dari pesanan lewat telepon di area Bolaang Mongondow Raya. Dengan harga Rp 20.000 per kemasan 600 gram, putaran uang ke rumah tangganya sudah sampai Rp 100 juta, sekalipun tak sempat terasa karena banyak kebutuhan keluarga menjelang Lebaran.
”Tapi, ini masih lebih sedikit dari Ramadhan tahun-tahun sebelum korona (Covid-19). Mungkin pembelian berkurang karena orang tidak mudik,” kata Haniko.
Selai industri rumahan itu hanya terbuat dari buah nanas dan gula pasir. Cara membuatnya sederhana. Buah nanas dikupas lalu digiling sampai halus, kemudian dimasak sambil diaduk dalam belanga besar sampai kental. Gula pasir ditambahkan bukan untuk menambah manis, melainkan sebagai pengawet.
”Kami tidak pernah pakai pengawet kimia selain gula pasir. Itu cukup bikin dia (selai) tahan tiga sampai empat bulan, jadi nanasnya tidak cepat mengeluarkan gas lalu basi,” ujar Haniko.
Menurut penghitungannya, satu wadah 600 gram terbuat dari empat nanas berukuran kecil. Untung yang masuk ke kantong Haniko sangat tergantung pada harga beli dari petani, paling umum Rp 5.000-Rp 6.000 per gandeng (dua buah).
Pemkot berusaha mendaftarkan nanas di Mongkonai dan Mongkonai Barat sebagai varietas nanas madu kotamobagu.
Tina Bilfagi (43), pengusaha selai nanas lain, pun sudah menjual 6.000 kemasan 500 gram seharga Rp 20.000. Sebagian bahan baku ia datangkan dari kebun sendiri yang luasnya sekitar 1 hektar. Namun, pasokan swadaya itu tidak pernah cukup, apalagi menjelang hari raya.
Di celah inilah masuk para petani nanas. Desa Lobong punya lahan 200 hektar yang ditanami sekitar 8.000 bibit nanas di setiap hektar. Menurut situs laman desa, ada 1,6 juta buah yang dituai setiap kali masa panen.
Sementara itu, 95 hektar kebun nanas telah menghasilkan 59,3 ton buah selama tiga bulan pertama 2021 di Kotamobagu. Kini, kata Ramjan Mokoginta, pemkot berusaha mendaftarkan nanas di Mongkonai dan Mongkonai Barat sebagai varietas nanas madu kotamobagu. Ia mengklaim nanas di sana punya rasa manis yang unik karena kandungan tanahnya berbeda dari tanah di Desa Lobong.
Terbentur kebutuhan
Kotamobagu pun beraspirasi menjadi sentra produksi selai nanas. Menurut Ramjan, Bank Indonesia (BI) Sulut telah merangkul tiga kelompok tani nanas untuk dibina dan difasilitasi dalam memproduksi sekaligus menjual selai.
Mesin penggiling hibah dari BI Sulut sudah ada di rumah Sumitro Limpaton (52), ketua kelompok tani Amilatong, salah satu binaan. Namun, belum ada selai yang dihasilkan. Pusat produksi di gedung milik kelurahan batal dibuka karena anggaran dialihkan untuk urusan Covid-19. Lagipula, hanya segelintir anggota yang aktif memproduksi nanas.
Menurut Sumitro, selama harga yang ditawarkan tengkulak atau pengusaha selai cukup tinggi, Rp 10.000-Rp 15.000 per gandeng ukuran kecil, petani akan langsung menjualnya dalam bentuk buah. Jika dipesan ke luar Sulut, seperti Palu, Sulawesi Tengah, harganya bisa sampai Rp 30.000 per gandeng.
Terkadang tengkulak langsung mematok harga untuk satu hamparan nanas, terlepas dari ukuran buahnya. ”Jadi, petani tidak usah pikir biaya buruh panen Rp 130.000 per hari dan ongkos angkut Rp 500-Rp 1.000 per gandeng,” kata Sumitro.
Jumlah petani nanas di Mongkonai dan Mongkonai Barat pun semakin banyak, sampai ratusan. Sebab, kata Sumitro, menanam nanas layaknya menanam uang. Ia akan cepat laku di pasar setelah panen tiap enam bulan. Perawatannya pun mudah.
Meski begitu, harga bisa terjun bebas sewaktu panen raya atau ketika bermacam buah sedang menjejali pasar. ”Bisa sampai Rp 2.000 per gandeng. Banyak petani yang tidak panen dan membiarkan nanasnya rusak. Kalau panen malah rugi,” ujar Sumitro.
Kebun nanas dari Mongkonai dan Mongkonai Barat tak mampu memenuhi kebutuhan industri.
Sumitro mengakui, saat itulah selai bisa menjadi pelindung nanas dari harga yang anjlok. Namun, antusiasme petani nanas untuk membuat selai nyatanya justru tak cukup besar karena adanya biaya produksi tambahan.
Nanas hanya dipanen enam bulan sekali. Artinya, ketika kebun sendiri belum panen, mereka harus membeli dari petani lain untuk terus membuat selai. Lagi pula, kebun nanas dari Mongkonai dan Mongkonai Barat tak mampu memenuhi kebutuhan industri.
Selama tiga bulan pertama 2021 saja, produksi nanas Kotamobagu hanya 59,3 ton. Padahal, kebutuhan bahan baku satu pabrik besar selai di Desa Lobong menjelang Lebaran bisa mencapai 240 ton. Karena itu pula, beberapa pengusaha selai di Kotamobagu hanya membuat selai dua kali setahun ketika panen raya dan harga nanas anjlok ke Rp 2.000-an per gandeng.
Insentif membuat selai juga rendah karena beragam kebutuhan rumah tangga mereka. Para petani kerap menyesuaikan masa tanam dengan perkiraan kapan kebutuhan hidup akan datang.
”Jadi, panen bisa bertepatan dengan saat kita butuh bayar uang sekolah anak, atau untuk Lebaran. Memang kebutuhan sering kali mendesak sehingga petani lebih suka jual cepat. Apalagi, nanas ini, kan, bukan barang gudang, cepat rusak,” katanya.
Menurut Aco Bonde (47), petani dari Desa Passi 1, Passi Barat, hasil nanas tak bisa maksimal karena keterbatasan pupuk bersubsidi. Ia butuh setidaknya 15 karung untuk sekali pemupukan ribuan batang tanaman nanas dan tanamannya yang lain. Namun, di desanya, berlaku kuota 10 karung setahun untuk seorang anggota kelompok.
”Petani, kan, mau panennya besar dan bagus. Selama ini tidak memuaskan kalau kurang pupuk. Ini disayangkan, karena nanas terbaik yang terkenal karena manisnya, kan, ada di sini,” kata Aco.
Kondisi petani itu jelas belum berbanding lurus dengan manisnya nanas hasil panen mereka. Dan, nanas pun bakal sering merindukan selai...