Jejak Jalan Lepas Bencana Luapan Brantas
Bengawan Brantas, sumber kehidupan sekaligus kehancuran karena luapannya yang dahsyat. Beragam daya telah dikerahkan sejak Raja Airlangga. Jejak panjang jalan lepas bencana itu terekam sepanjang daerah aliran sungai.
Bengawan Brantas merupakan sumber kehidupan sekaligus kehancuran karena luapannya yang mampu menenggelamkan kawasan di sekitarnya. Beragam daya penanggulangan bencana dikerahkan sejak Raja Airlangga hingga penguasa Belanda. Jejak panjang jalan lepas dari bencana itu terekam di sepanjang daerah aliran sungai.
Bengawan Brantas merupakan sungai besar di Jawa Timur selain Bengawan Solo. Sungai sepanjang 320 kilometer (km) ini memiliki daerah tangkapan air seluas 14.103 km persegi. Dengan asumsi rata-rata curah hujan 2.000 milimeter (mm) per tahun dan 85 persennya terjadi pada musim hujan, potensi volume air permukaan per tahun rata-rata mencapai 13,232 miliar meter kubik.
Volume air yang besar itu menjadikan sungai yang berhulu di Malang ini sebagai sumber kehidupan bagi jutaan orang, sekaligus sumber bencana yang mengerikan. Oleh karena itulah, pengelolaan sungai ini memiliki peran strategis bagi masa depan rakyat ”Brang Wetan”, sebutan Jatim, bahkan nasional.
Dari kaki Gunung Arjuna, Brantas mengalir deras melintasi Kota Batu, menuju Kediri. Setelah mengelilingi Gunung Kelud, alirannya melintasi celah sempit Gunung Liman (Wilis) menuju Kabupaten Nganjuk, Jombang, dan Mojokerto. Sungai ini lantas bercabang menjadi Sungai Porong yang mengalir ke Sidoarjo dan Sungai Kalimas yang mengalir ke Surabaya. Keduanya bermuara di Selat Madura.
Baca juga : Bandeng Kawak Sidoarjo dan Gresik yang Tak Kawakan
Rupa bumi atau geomorfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas memiliki keunikan tersendiri karena dipengaruhi berbagai fenomena alam dan campur tangan manusia. Hal itu antara lain letusan gunung api yang memuntahkan material vulkanik, perubahan iklim seperti curah hujan ekstrem, dan kebijakan tata kelola air di masa lampau hingga sekarang, termasuk penanggulangan bencana luapan.
Salah satu jejak penanggulangan bencana luapan Bengawan Brantas itu terekam pada Prasasti Kamalagyan. Prasasti berupa sebongkah batu setinggi 2,1 meter ini masih berdiri tegak di tengah padatnya permukiman penduduk Desa Tropodo, Krian, Sidoarjo, Senin (17/5/2021).
Di salah satu sisi batu beratap lancip itu terpahat 34 baris tulisan berbahasa dan beraksara Jawa kuna. Tulisan itu menceritakan kebijakan tata kelola air pada masa Raja Airlangga atau Erlangga, pemimpin Kerajaan Kahuripan pada 959 Saka atau 1073 Masehi.
Penghasilan berkurang
Ahli epigrafi Gunawan Agoeng Sambodo dalam webinar ”Teknologi Peradaban: Bendungan Waringinsapta Airlangga 1073 M”, yang digelar Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), mengatakan, banjir besar telah membuat penghasilan kerajaan berkurang dan sawah menjadi hilang. Pejabat setempat berulang kali membangun tanggul, tetapi airnya tetap meluap.
Raja pada masa itu telah memikirkan bagaimana memberdayakan masyarakat sekitar agar mereka memiliki kepedulian. (Amien Widodo)
Raja Airlangga lantas memanggil semua penduduk dari berbagai desa, termasuk para pendeta, bergotong royong membangun tambak besar yang kokoh di Waringinsapta. Agar kelestarian bangunan itu terjaga, penduduk Kamalagyan ditugaskan merawat bendungan dengan kompensasi desanya dijadikan sima atau tanah perdikan yang dibebaskan dari kewajiban menyetor pajak kepada kerajaan.
Baca juga : Menatah Jalan Geopark Gunung Penanggungan
Adapun peristiwa banjir besar diduga tidak hanya disebabkan hujan lokal dan hujan deras yang terjadi di daerah hulu. Pada saat bersamaan terjadi pasang air laut yang menahan laju aliran dari hulu menuju hilir sehingga airnya meluap ke permukiman dan sawah masyarakat.
Selain masa Airlangga, jejak pengelolaan DAS Brantas juga banyak ditinggalkan oleh Belanda saat berkuasa di nusantara. Direktur Utama Perum Jasa Tirta 1 Raymond Valiant Ruritan mengatakan Belanda telah menggunakan teknologi modern dalam mengelola Brantas. Meski demikian, Negeri Kincir Angin itu mengambil garis kontur yang sama dengan kebijakan penanganan bencana di masa lampau.
“Kondisi Brantas saat ini merupakan hasil sentuhan inovasi teknologi yang dibawa oleh Belanda. Bahkan sebagian besar irigasi modern yang masih digunakan di sepanjang daerah aliran sungai, hasil intervensi pada pertengahan abad 19,” kata Raymond.
Dia mencontohkan Bendungan Rolak Songo atau Mlirip Rowo yang dibangun pada 1857 oleh Ir Soetami. Bendungan yang berlokasi di perbatasan Mojokerto dan Sidoarjo ini memiliki sembilan pintu air yang membagi aliran air Brantas menjadi dua bagian yakni menuju Sungai Porong di Sidoarjo dan Sungai Kalimas di Surabaya.
Bendungan ini juga dilengkapi dengan lock atau pintu khusus untuk kapal. Hingga 1942, kapal-kapal pengangkut barang dan penumpang dari Kalimas masih bisa berlayar menjelajah daerah hulu Brantas. Di dekat Rolak Songo, terdapat Mangetan Kanal yang dibangun khusus menyuplai irigasi pertanian agar lahan disekitarnya produktif sepanjang tahun, namun bebas banjir.
Baca juga : Sosok Muhammad Slamet Bersama Merawat Sub Das Hulu Brantas
Belanda juga banyak membangun pintu air-pintu air dan rumah pompa yang bisa ditemukan di sepanjang daerah aliran Brantas. Mayoritas peninggalan itu masih berfungsi hingga sekarang meski ada juga yang sudah ditinggalkan seperti rumah pompa PS Jabon di tepi Sungai Porong di Desa Kedungcangkring, Sidoarjo.
Istianah (54), warga setempat, mengatakan, rumah pompa yang dibangun pada 1920 itu masih berfungsi saat dirinya kecil. Namun, dia tidak tahu persis kapan fungsi rumah pompa itu dihentikan. ”Di dalam rumah pompa ada roda besar yang apabila diputar suaranya menggelegar. Penjaga biasanya berjaga bergiliran untuk mengatur aliran air,” ucapnya.
Sumber kehidupan
Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) ITS, Surabaya, Amien Widodo, mengatakan, sampai hari ini Sungai Brantas beserta anak sungainya menjadi sumber kehidupan. Salah satunya sumber air baku bagi Perusahaan Daerah Air Minum di sejumlah kabupaten/kota.
Namun, di saat bersamaan, Brantas masih menjadi sumber bencana banjir bagi masyarakat Jatim. Pada Februari 2021, misalnya, lebih dari 1.200 rumah warga di Kabupaten Jombang terendam luapan Brantas. Tak kurang dari 2.900 jiwa terpaksa mengungsi di atas tanggul sungai selama sebulan lebih. Banjir juga sempat memutus jalan nasional Surabaya-Madiun sepanjang 1 km di Desa Bandar Kedungmulya.
Menurut Amien, beragam jejak tata kelola air yang terekam dari masa Airlangga dan zaman Belanda bisa menjadi sumber referensi dalam merumuskan upaya penanggulangan bencana luapan Brantas agar tak banyak jatuh korban. Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik oleh masyarakat dan penguasa untuk kepentingan masa kini dan nanti.
”Dari Prasasti Kamalagyan, misalnya, terungkap konsep mitigasi bencana, sistem penanganan saat kejadian, hingga teknologi yang digunakan. Bahkan, raja pada masa itu telah memikirkan bagaimana memberdayakan masyarakat sekitar agar mereka memiliki kepedulian,” ujar Amien Widodo.
Baca juga : Kualitas Tata Kelola Air Cerminan Peradaban
Penanganan bencana yang dikembangkan pada masa lampau, dengan cara membendung aliran sungai agar volume alirannya tidak meluap, ternyata masih relevan diterapkan pada masa sekarang. Demikian halnya dengan konsep pembuatan sudetan atau aliran-aliran kecil untuk mengurangi volume aliran air.
Selain mengendalikan banjir, bendungan pada masa lalu juga difungsikan sebagai sumber pengairan sawah di musim kemarau. Di era kekinian, fungsi penampungan air pada bendungan bahkan lebih luas lagi, yakni sebagai sumber air baku PDAM hingga destinasi wisata air.
Menurut Amin, di luar perkara teknis pengelolaan air, keberpihakan penguasa pada penanganan bencana dan pemberdayaan masyarakat yang tinggal di sekitar aliran sungai sangat menarik untuk dipelajari. Tanpa dukungan besar dari masyarakat sekitar, upaya penanggulangan bencana tidak akan membuahkan hasil optimal meski menerapkan teknologi canggih.
Pada kasus banjir Jombang, misalnya, sedimentasi lumpur dan sumbatan sampah menjadi penyebab bencana. Selain Jombang, pembuangan sampah rumah tangga secara sembarangan di sungai juga kerap dijumpai di Mojokerto dan Sidoarjo. Edukasi telah diberikan, tetapi kejadian serupa terus berulang.
Jejak penanggulangan bencana pada masa lampau telah mengajarkan banyak hal kepada masyarakat dan pemangku kebijakan masa kini. Namun, tanpa kepedulian, jejak panjang jalan lepas bencana luapan Brantas itu akan terabaikan dan hanya menjadi cerita usang yang dikisahkan berulang-ulang.