Garebek Syawal di Cirebon Saat Pandemi, antara Berkah dan Musibah
Garebek Syawal kembali digelar di Cirebon meski pandemi Covid-19 belum usai. Tanpa ketegasan dan kebijakan pemerintah berbasis sains, pandemi bakal sulit diredam.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 tidak menyurutkan antusiasme warga menghadiri Garebek Syawal di Cirebon, Jawa Barat. Mereka rela berkerumun demi mengharapkan berkah dalam tradisi berusia ratusan tahun itu. Padahal, Covid-19 masih terus menebar ancaman maut dalam kerumunan.
Rekso Bumi Wardasih (69) berdesak-desakan dengan pengunjung dan batu nisan saat keluarga Keraton Kanoman melempar koin di kompleks Makam Gunung Jati, Kamis (20/5/2021). Nenek 13 cucu itu sampai jongkok demi meraup koin. ”Alhamdulillah, dapat Rp 2.000,” ucapnya sambil menunjukkan empat uang koin Rp 500.
Ritual yang dinamakan surak itu salah satu rangkaian Garebek Syawal, perayaan seminggu setelah Lebaran. Selain berziarah dan mendoakan leluhur, tradisi itu juga menjadi ajang silaturahmi warga dengan keluarga keraton.
”Setiap tahun saya ke sini minta rezeki, berkah. Uangnya (hasil surak) buat jimat supaya dagangan saya laku,” kata Wardasih yang berdagang sembako di daerah Suranenggala. Semenjak pandemi Covid-19, ia mengaku omzetnya berkurang dari Rp 1 juta menjadi Rp 300.000-Rp 500.000 per pekan.
Kerumunan tidak hanya terjadi saat surak, pengunjung juga sulit menjaga jarak di ruangan Pintu Pasujudan ketika tahlilan.
Soal potensi penyebaran Covid-19 di kerumunan, ia tak ambil pusing. ”Enggak apa-apa berebutan. (Saya) Enggak takut korona (Covid-19). Dibebaskan saja,” kata Wardasih yang membiarkan masker kainnya menggantung di leher.
Sadiem (75), tetangga Wardasih yang ikut hadir, bahkan menganggap Covid-19 yang melanda dunia setahun terakhir sudah hilang. Nenek 14 cucu itu justru bersyukur hadir di acara itu. Dia mendapat uang Rp 2.500 hasil surak dari salah satu peserta acara.
”Ini mau disimpan di pedaringan (semacam gentong berisi beras) supaya awet, berasnya mencukupi, berkah. Jadi, aja nempur (jangan beli beras lagi),” ungkap ibu rumah tangga ini.
Berbeda dengan Wardasih dan Sadiem, Haniri (70), warga Desa Jemaras Lor, Cirebon, khawatir dengan penyebaran Covid-19. ”Ya, takut. Ini bawa masker dan (cairan antiseptik) cuci tangan,” katanya. Ada masker menutup mulut dan hidungnya.
Ibu empat anak dan nenek tujuh cucu ini ke Garebek Syawal karena sudah tradisi dan berharap berkah serta kesehatan. Apalagi, ia akan kembali berdagang ke Jakarta. Dua koin Rp 500 yang didapat dari surak juga bakal dibawa ke Ibu Kota supaya jualannya laku.
Kerumunan tidak hanya terjadi saat surak, pengunjung juga sulit menjaga jarak di ruangan Pintu Pasujudan ketika tahlilan. Di tempat air wudhu, warga mengambil air, menyiram kepalanya, bahkan meminumnya menggunakan gelas secara bergantian. Tidak sedikit pengunjung yang akhirnya berdoa di luar ruangan karena tidak kebagian tempat.
Selain pengumuman pentingnya protokol kesehatan yang tertempel di dinding, petugas gabungan juga berupaya mengingatkan warga agar menjaga jarak dan mengenakan masker. Namun, tidak tampak pembatasan jumlah pengunjung di gerbang masuk. Begitu pun dengan pengukuran suhu tubuh.
Kepala Polsek Gunung Jati Ajun Komisaris Abdul Majid mengatakan telah mengimbau pihak keraton dan warga agar mematuhi protokol kesehatan selama Gerebek Syawal. Selain menyiagakan sekitar 20 personel, pihaknya juga langsung membagikan masker kepada pengunjung.
Majid mengklaim tidak ada kerumunan warga selama petugas berjaga. ”Ada berbagai macam makam yang didatangi pengunjung. Jadi, mereka tidak bertumpuk di suatu tempat. Kalau sanksi pelanggar protokol kesehatan ada di Satpol PP,” ujarnya.
Majid pernah melemparkan pilihan meniadakan Garebek Syawal di tengah pandemi saat rapat koordinasi penanganan Covid-19. Namun, pertanyaannya kepada Bupati Cirebon Imron Rosyadi tidak direspons.
Saat ditanya wartawan, Senin (17/5/2021) atau tiga hari sebelum Garebek Syawal, Imron meminta tradisi itu tidak dilaksanakan sementara waktu. ”Kalau bisa, Garebek Syawal ditunda dulu untuk mencegah penyebaran Covid-19,” ujarnya.
Apalagi, kasus Covid-19 di Cirebon terus meningkat. Hingga Kamis, tercatat 9.277 kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Sebanyak 419 orang di antaranya meninggal dan 487 orang menjalani isolasi, termasuk 27 warga di Kecamatan Gunung Jati. Padahal, sebulan sebelumnya, kasus positif Covid-19 sebanyak 8.669 orang.
Patih Qodiron memastikan pengunjung yang hadir dalam Garebek Syawal sudah dibatasi, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun, ia tidak menyebutkan jumlah pembatasan pengunjung. ”Kami menghargai aturan dari pemerintah. Tradisi ini menjadi keberkahan bagi kita. Semoga kita diberi kesehatan di tengah Covid-19 ini,” ucapnya.
Pemerhati sejarah dan budaya Cirebon, Mustaqim Asteja, mengatakan, Garebek Syawal sangat dinantikan warga meskipun di tengah pandemi. Makna tradisi adalah wujud syukur setelah puasa di bulan Ramadhan dan enam hari di bulan Syawal. ”Ini juga bakti untuk leluhur, Sunan Gunung Jati dan keturunannya,” ujarnya.
Selanjutnya, acara itu menjadi momen silaturahmi warga dengan keluarga Keraton Kanoman. ”Terakhir, berziarah ke makam mengingatkan untuk zikir maut bahwa kita akan meninggal seperti beliau. Kita ingin berangkat bersama leluhur ke surga,” ungkapnya.
Kerumunan di berbagai tempat, termasuk saat gelaran tradisi, merupakan ironi di tengah laju kenaikan kasus Covid-19.
Pendiri Lapor Covid-19 Irma Hidayana menilai munculnya kerumunan di berbagai tempat, termasuk saat gelaran tradisi, merupakan ironi di tengah laju kenaikan kasus Covid-19. Apalagi, India telah memberi pelajaran bagaimana kasus melonjak tak terkendali pada Maret.
Salah satu penyebabnya, warga ramai-ramai menjalani Festival Kumbh Mela, berkumpul bersama tanpa menjaga jarak. Masalah utama bukan pada ritual keagamaannya, melainkan kerumunan manusia yang menghadirinya.
”Kita enggak memanfaatkan kesempatan belajar dari India. Misalnya, pemerintah melarang mudik tetapi tidak tegas. Masih banyak yang bisa ke luar kota bukan karena kepentingan mendesak,” ujarnya.
Kebijakan lainnya yang membingungkan adalah larangan mudik tetapi tempat wisata dibuka dan menimbulkan kerumunan. Akhirnya, masyarakat merasa dilarang bersilaturahmi tetapi boleh berwisata. ”Ini merefleksikan, pemerintah benar-benar mengutamakan kepentingan ekonomi di atas kesehatan dan budaya,” ungkapnya.
Tanpa ketegasan dan kebijakan pemerintah yang berbasis sains, lanjut Irma, Covid-19 sulit terkendali. Tidak hanya infeksi meningkat di komunitas, hubungan antarwarga juga bisa terganggu. Garebek Syawal pun diharapkan membawa berkah dari silaturahmi warga, bukan musibah karena penyebaran Covid-19.