Bengawan Brantas menghidupi 17 juta warga di sepanjang aliran airnya. Namun, kerusakan lingkungan di dalamnya bisa mengubah berkah Brantas menjadi musibah.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI DAN DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
Bagi warga Jawa Timur, Sungai Brantas adalah berkah. Dari kaki Gunung Arjuna di Malang, Bengawan Brantas beserta 39 anak sungainya menggeliatkan beragam sendi kehidupan yang terbentang di 15 kabupaten dan kota di Jawa Timur. Namun, berkah itu mulai terkikis.
Dibantu sang istri, Didik (55) menarik kuat-kuat tali tambang yang melintang di atas Sungai Brantas, Jumat (21/5/2021). Warga Kelurahan Temas, Kota Batu, Jawa Timur, itu memanfaatkan katrol sederhana untuk mengangkat pasir yang baru saja ia tambang dari dasar sungai Brantas ke atas tebing.
Sebuah ember plastik bekas kemasan cat dia manfaatkan sebagai wadah pasir. Didik telah melakoni pekerjaan itu selama lima tahun terakhir. Dia berangkat sejak pagi dan kembali ke rumah menjelang tengah hari. Setiap hari, ia bisa mengumpulkan satu-dua bak mobil pikap dengan harga jual ke pengepul Rp 225.000. Tidak jarang, dia memanfaatkan sisa waktu dengan mengumpulkan batu koral. Dari pasir Brantas, Didik bisa menghidupi keluarga kecilnya.
Didik hanya salah satu warga yang memanfaatkan aliran Sungai Brantas untuk mendukung kehidupan ekonomi keluarga. Selain dia, ada ribuan orang bergantung pada aliran berantas untuk kehidupan mereka.
Memiliki panjang aliran 1.400 kilometer dengan 39 anak sungai menjadikan Brantas sebagai nadi kehidupan. Air yang mengalir memenuhi bendungan dan waduk. Dari situlah beragam kebutuhan, di antaranya irigasi pertanian, tercukupi.
Dari data Perum Jasa Tirta I, penduduk Daerah Aliran Sungai Brantas mencapai 17 juta orang. Sebagian dari mereka menggantungkan hidup dari Brantas, mulai dari hulu, bagian tengah, sampai hilir di Surabaya dan Sidoarjo. Data 2012, air Brantas pun menghidupi 345.000 hektar lahan.
Brantas juga menjadi sumber energi bagi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang turut menyuplai pasokan listrik pada sistem pembangkitan Jawa-Bali. Ada belasan PLTA dan PLTMH di sepanjang daerah aliran, antara lain PLTA Lodoyo, PLTA Karangkates, PLTA Kesamben, dan PLTA Jatimlerek.
Di hilir, sejak dulu Brantas diandalkan sebagai sumber air bersih masyarakat baik yang dikelola oleh perusahaan daerah air minum (PDAM) maupun secara swakelola. Di daerah hilir, penggunanya antara lain PDAM Surya Sembada Surabaya, PDAM Delta Tirta Sidoarjo, PDAM Kota Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, dan Gresik. Daerah tersebut tidak memiliki sumber air pegunungan untuk menyuplai kebutuhan rumah tangga dan dunia usaha termasuk industri.
Penduduk Daerah Aliran Sungai Brantas mencapai 17 juta orang. Sebagian dari mereka menggantungkan hidup dari Brantas.
Manajer Tata Usaha dan Humas PDAM Surya Sembada Surabaya Diah Ayu Anggraeni mengatakan, jumlah pelanggannya saat ini mencapai 588.000 pelanggan. Mayoritas pelanggan rumah tangga dengan komposisi 70-80 persen dan hanya sebagian kecil yang berasal dari dunia usaha termasuk industri.
Dengan asumsi setiap pelanggan rumah tangga memiliki empat anggota keluarga, total 2,3 juta jiwa menggantungkan kebutuhan air bersihnya pada PDAM Surabaya. Jumlah pelanggan ini terus bertumbuh setiap tahun seiring pertumbuhan jumlah penduduk dengan tingkat konsumsi air domestik atau rumah tangga 28,30 meter kubik per bulan per pelanggan.
Di era bergeliatnya industri pariwisata, sungai yang juga menjadi aliran material vulkanik gunung api ini memberi kontribusi yang signifikan. Kampung warna-warni di Malang, misalnya, memanfaatkan keelokan Brantas untuk menarik wisatawan. Wisata Bahari Tlocor, Sidoarjo, juga memanfaatkan kecantikan Brantas.
”Pengunjung Wisata Bahari Tlocor mencapai 1.000 orang per hari saat akhir pekan. Di masa pandemi Covid-19, peminat wisata ini tetap tinggi, sekitar 700 orang per hari. Implikasi ekonominya besar karena mampu menggeliatkan beragam usaha lainnya, seperti kuliner,” kata Supari dari Humas Wisata Bahari Tlocor.
Terkikis
Namun, Brantas kini mulai terkikis. Tutupan lahan di hulu Daerah Aliran Sungai Brantas di Jawa Timur tinggal 20 persen dari luas 2.050 kilometer persegi. ”Dari data tahun 2008-2010 yang dipantau sampai dua tahun terakhir menunjukkan, saat kemarau tutupan lahan hanya sekitar seperlima,” kata Direktur Umum Perum Jasa Tirta Raymond Valiant Ruritan.
Sisanya berubah menjadi permukiman, lahan terbuka, dan lainnya. Kondisi ini tentu berpengaruh terhadap daerah tangkapan air. Penyerapan air ke dalam tanah menjadi tidak optimal. Akibatnya, pengendapan dan banjir muncul.
Dari data tahun 2008-2010 yang dipantau sampai dua tahun terakhir menunjukkan, saat kemarau tutupan lahan hanya sekitar seperlima.
Tahun ini saja, lebih dari 1.200 rumah warga di Kabupaten Jombang terendam luapan Brantas. Sebanyak 1.200 warga mengungsi. Jalan nasional Surabaya-Madiun sepanjang 1 km juga tertutup luapan air Sungai Brantas. Pada Januari Brantas juga meluap dan menyebabkan banjir di Kediri.
Kasus pencemaran air pun muncul. Di kawasan hilir Brantas, timbunan sampah ditemukan di sejumlah titik sepanjang daerah aliran sungai beserta puluhan anak sungainya. Terbanyak, sampah produk sekali pakai, seperti plastik kresek, plastik kemasan makanan minuman, dan popok bayi (diaper).
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) Prigi Arisandi memprediksi sebanyak 1,2 juta popok dibuang ke sungai setiap hari. Perhitungan itu didasarkan pada data Badan Pusat Statistik Jatim 2013 yang menyatakan terdapat 750.000 batita di daerah aliran Sungai Brantas. Temuan Ecoton dan Telapak pada 2013 menyebutkan bahwa kandungan esterogenik pada Kali Brantas menunjukkan adanya pencemaran yang melebihi standar kewajaran oleh sejumlah pelaku industri.
Pencemaran itu menjadi persoalan krusial karena selama ini Brantas banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku PDAM. ”Kendala Sungai Brantas pada kualitas air sungai yang terkadang jauh di bawah standar baku mutu. Hal itu berpengaruh pada kualitas air yang diterima masyarakat,” ujar Diah Ayu dari Humas PDAM Surya Sembada Surabaya.
Fakta menunjukkan, seiring berjalannya waktu, tingkat ketergantungan masyarakat terhadap Bengawan Brantas justru semakin besar dan kuat. Namun, ketergantungan itu belum banyak diimbangi dengan kepedulian.