Gunung Botak Akan Dijual Pemilik Ulayat, Pemda Menolak
Warga yang mengaku sebagai pemilik hak ulayat di lokasi tambang emas liar Gunung Botak berencana menjual lahan mereka kepada investor.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Warga yang mengaku sebagai pemilik hak ulayat berencana menjual kawasan Gunung Botak yang selama satu dekade terakhir menjadi lokasi tambang emas liar. Mereka beralasan, kawasan di Pulau Buru, Maluku, itu sebaiknya dikelola secara profesional, baik oleh pemerintah maupun swasta. Namun, di sisi lain, pemerintah daerah setempat menolak rencana penjualan dimaksud.
Hasan Wael (57), orang yang ditunjuk sebagai juru bicara ahli waris, lewat sambungan telepon pada Senin (24/5/2021) menuturkan, para ahli waris telah berembuk dan memutuskan untuk melepas lahan tersebut agar dijadikan areal pertambangan resmi. Luas kawasan itu lebih kurang 250 hektar.
”Lebih kurang 10 tahun kawasan ini menjadi lokasi tambang liar dan menimbulkan berbagai masalah sosial dan kerusakan lingkungan di sana. Kami ingin kondisi ini jangan berlarut-larut lagi. Cukup sudah, sebab jika terus dibiarkan, kondisi ini akan semakin parah ke depan,” kata Hasan, menjelaskan alasan penjualan lahan tersebut.
Ia mengatakan, keberadaan tambang liar itu di satu sisi telah mengubah kehidupan perekonomian warga setempat menjadi lebih baik. Banyak warga pun bergantung di sana. Namun, di sisi lain, penambangan liar telah menimbulkan kehancuran yang berdampak pada kehidupan generasi masa depan di pulau tersebut.
Ia menyebutkan, kerusakan lingkungan yang terjadi meliputi pencemaran merkuri di sungai, kematian ternak, hingga musnahnya areal hutan sagu sebagai sumber pangan. Pulau Buru merupakan lumbung pangan terbesar di Maluku. Di sana terdapat ribuan hektar padi sawah, sayuran, dan buah.
Menurut Hasan, ahli waris terbuka kepada pihak mana saja yang mau membeli lahan Gunung Botak, baik investor maupun pemerintah lewat anak usaha di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang pertambangan. Sejauh ini, belum ada kesepakatan mengenai besaran harga jual. ”Belum ada yang menyatakan mau beli,” ucapnya.
Wakil Bupati Buru Amus Besan, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan menolak rencana penjualan tersebut. Ia sendiri juga mengaku sebagai pemilik hak ulayat di Gunung Botak. ”Tidak boleh dijual kepada siapa pun. Kami seluruh masyarakat adat pemilik hak ulayat tanah adat lokasi Gunung Botak tidak mengizinkan siapa pun yang mengaku milik pribadinya, apalagi mau menjual lokasi tersebut,” katanya.
Ia menuturkan, Gunung Botak dimiliki oleh tiga komunitas adat yang disebut marga. Tiga komunitas itu terdiri dari Marga Besan, Marga Wael, dan Marga Nurlatu. ”Semua pengaturan tentang lahan adat di Gunung Botak diatur oleh Hinolong Baman (sebutan bagi pemimpin adat) bersama kepala-kepala Soa (tokoh-tokoh adat) sesuai wilayah kekuasaan adat Hinolong Baman,” ucap Amus.
Menurut Amus, pemerintah akan mendorong agar kawasan itu dikelola dalam skema izin pertambangan rakyat dengan melibatkan masyarakat adat. Dengan begitu, kehadiran tambang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat adat setempat dan juga masyarakat lain pada umumnya.
Dalam catatan Kompas, penambangan liar di Gunung Botak mulai beroperasi pada Oktober 2011. Jumlah petambang sempat melampaui 20.000 orang. Petambang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Gunung Botak yang sebelumnya utuh dan ditumbuhi pohon kayu putih telah terbelah dan hancur akibat digali dari berbagai sisi.
Proses pengolahan material tambang itu pun menggunakan zat berbahaya merkuri dan sianida. Tak terhitung banyaknya zat kimia itu telah mencemari lingkungan setempat. Penutupan tambang oleh aparat hukum juga telah dilakukan puluhan kali, tetapi para petambang selalu kembali ke sana.
Penutupan secara besar-besaran pertama kali terjadi pada November 2015 yang diprakarsai oleh Panglima Kodam XVI/Pattimura Mayor Jenderal Doni Monardo. Penutupan saat itu merupakan yang ke-25 kalinya. Lokasi tersebut pun berhasil dikosongkan.
Selanjutnya, anggota TNI AD menanam ribuan anak pohon berbagai jenis di lokasi tambang tersebut. Ketika Doni mutasi dari Kodam Pattimura pada 2017, perhatian terhadap tambang itu mengendur sehingga para petambang kembali merambah lokasi tersebut.
Pada tahun 2019, penutupan besar-besaran kembali dilakukan. Saat itu penutupan diprakarsai oleh Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa. Tak hanya menutup lokasi tambang, Royke juga memutasi sejumlah pejabat Polri di Pulau Buru. Ada oknum yang terlibat diproses hukum. Royke kemudian dimutasi dari Maluku pada tahun 2020. Ratusan petambang pun kembali ke lokasi tersebut.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat mengatakan, polisi sudah mulai melakukan penertiban kembali lokasi itu pada Senin (24/5/2021) pagi. Namun, hingga Senin malam, belum ada bukti visual yang diperoleh Kompas terkait penertiban dimaksud. Sejumlah sumber terpisah di sekitar Gunung Botak pun belum berhasil dihubungi. ”Nanti kami akan teruskan laporan dan foto-foto kepada rekan-rekan media,” kata Roem pada Senin petang.