Ratusan Petambang Kembali ke Gunung Botak Bawa Merkuri dan Sianida
Tambang emas tanpa izin di Gunung Botak Pulau Buru, Maluku, kembali beroperasi. Ratusan petambang memasuki kawasan itu dengan membawa peralatan dan bahan pengolahan tambang, termasuk merkuri dan sianida.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
AMBON, KOMPAS — Ratusan orang kembali menambang di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Mereka menggunakan merkuri dan sianida untuk mengolah material tambang di lokasi tambang emas tanpa izin itu. Upaya penertiban dan penataan kembali lokasi tersebut pada beberapa tahun sebelumnya pun dinilai menjadi sia-sia.
Menurut informasi yang dihimpun Kompas hingga Minggu (23/5/2021), puluhan tenda sudah berdiri di lokasi itu. Para petambang menggali material di sekitar tenda masing-masing. Sebagian material dibawa untuk diolah di tempat lain, sebagian lagi langsung diolah di lokasi tersebut.
”Gunung Botak sudah ramai sekali. Kalau siang, tampak tenda-tenda biru, terus kalau malam, sama seperti perkampungan. Ada yang bawa generator ke atas untuk penerangan. Mereka bebas beraktivitas,” kata Ibra (30), warga setempat, lewat sambungan telepon kepada Kompas. Informasi dari Ibra itu dibenarkan sejumlah aparat yang bertugas di sekitar Gubung Botak.
Ibra menuturkan, petambang juga membawa serta peralatan ke lokasi itu. Alat dimaksud berupa mesin yang menyedot air kemudian disemprotkan ke dinding bukit. Material tanah yang berubah jadi lumpur itu kemudian dialirkan melalui saluran beralas karpet. Karpet itu berfungsi menjerat mineral logam.
Masih di lokasi itu, petambang juga nekat membuat tempat berupa bak persegi panjang yang disebut rendaman. Material tambang dimasukkan ke dalam rendaman lalu dicampur berbagi zat kimia berbahaya, termasuk sianida. Setelah diendapkan satu minggu, rendaman dibongkar untuk mengambil logam yang menumpuk di dasar bak.
Material tambang yang dibawa keluar dari lokasi itu diolah di pinggir sungai dan di dekat permukiman penduduk atau areal pertanian. Material dicampur air dan merkuri kemudian dimasukkan ke dalam tong lalu diaduk menggunakan mesin. Limbahnya dibuang di sekitar tempat pengolahan.
Para petambang masuk ke Gunung Botak melalui ”jalur tikus” sehingga luput dari pantauan aparat yang bertugas di sana.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat membenarkan bahwa ada petambang yang masuk ke lokasi itu. Menurut Roem, mereka masuk secara diam-diam. ”Tidak begitu (secara masif dan terorganisasi). Jadi, mereka satu per satu masuk ke sana,” katanya.
Menurut dia, para petambang masuk ke Gunung Botak melalui ”jalur tikus” sehingga luput dari pantauan aparat yang bertugas di sana. Aparat hanya membangun pos dari pintu masuk di Desa Wamsait, sementara masih banyak jalur masuk ke lokasi seluas lebih kurang 250 hektar itu.
Roem berjanji akan kembali berkoordinasi dengan jajaran Polri di wilayah hukum setempat agar segera melakukan penertiban di sana. Ia pun menegaskan bahwa Polri tidak akan membiarkan penambangan liar kembali terulang. Jika ada indikasi keterlibatan oknum anggota di sana, ia memastikan akan diproses hukum.
Berujung sia-sia
Dalam catatan Kompas, penambangan liar di Gunung Botak mulai beroperasi pada Oktober 2011. Jumlah petambang sempat melampaui 20.000 orang. Petambang berasal dari daerah-daerah di Indonesia. Gunung Botak yang sebelumnya utuh dan ditumbuhi pohon kayu putih telah terbelah dan hancur akibat digali dari berbagai sisi.
Proses penutupan pun telah terjadi puluhan kali. Penutupan secara besar-besaran pertama kali terjadi pada November 2015 yang diprakarsai oleh Panglima Kodam XVI/Pattimura Mayor Jenderal Doni Monardo. Penutupan saat itu merupakan yang ke-25 kalinya. Lokasi tersebut pun berhasil dikosongkan.
Selanjutnya, anggota TNI AD menanam ribuan anak pohon berbagai jenis di lokasi tambang tersebut. Sayangnya, ketika Doni mutasi dari Kodam Pattimura pada 2017, semakin minim perhatian ke sana. Para petambang pun kembali merambah lokasi itu.
Pada tahun 2017, penutupan besar-besaran kembali dilakukan. Kali ini diprakarsai oleh Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa. Tak hanya menutup lokasi tambang itu, Royke juga memutasi sejumlah pejabat Polri di Pulau Buru. Ada oknum yang terlibat diproses hukum. Royke kemudian dimutasi dari Maluku pada tahun 2020.
Peneliti logam berat pada Universitas Pattimura Ambon, Abraham Mariwy, berpendapat, penertiban lokasi tambang liar itu sangat bergantung pada ketegasan aparat keamanan. ”Kalau kondisinya seperti ini, penertiban yang dilakukan ketika eranya Doni Monardo dan Royke Lumowa bisa terbilang sia-sia,” kata Abraham.
Ia juga memprediksi, kehancuran lingkungan yang terjadi di sana akan terasa pada lima hingga 10 tahun mendatang. Kehancuran itu akibat penggunaan sianida dan merkuri yang telah melebihi ambang batas maksimum. Tragedi Minamata di Jepang akibat pencemaran merkuri mungkin saja dapat terjadi di Buru.
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Provinsi Maluku Anos Yeremias mendesak semua pihak berkepentingan agar serius menangani masalah tambang tanpa izin tersebut. Menurut dia, negara tidak boleh kalah dengan para pelaku tambang yang bertindak seolah berada di lokasi tanpa penegakan hukum.
”Sekarang hanya ada dua pilihan, membiarkan petambang dan para cukongnya bebas merusak kawasan itu atau menyelamatkan lingkungan dan masyarakat di sana. Sudah terlalu lama kondisi ini berlalu, dan kita seolah tak berdaya menghadapi mereka,” ucap Anos.