Polisi Masih Selidiki Kasus Pembunuhan Bocah Perempuan di Minahasa
Pembunuh Marsela Sulu (13), bocah perempuan asal Desa Koha Barat, Minahasa, belum diketahui dua hari setelah jenazahnya ditemukan dalam sebuah karung di kebun warga.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MINAHASA, KOMPAS — Kepolisian belum mengetahui pelaku pembunuhan Marsela Sulu (13), bocah perempuan asal Desa Koha Barat, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, dua hari setelah jenazahnya ditemukan dalam sebuah karung di kebun warga. Penyelidikan masih terus dilakukan untuk mengungkap kasus tersebut.
Kepala Kepolisian Restor Kota (Polresta) Manado Komisaris Besar Elvianus Laoli mengatakan, pihaknya belum menetapkan siapa pun sebagai tersangka. ”Kami belum ketahui siapa pelakunya, belum ada target penangkapan juga,” katanya, Minggu (23/5/2021), ketika dihubungi lewat telepon.
Marsela hilang sejak Selasa (18/5/2021) sore ketika hendak membeli jajanan tak jauh dari rumahnya. Edi Sulu (51), ayah Marsela, baru menyadari anak keenamnya itu hilang pada Rabu (19/5/2021) pagi. Setelah mencarinya dengan bantuan warga, Marsela ditemukan tak bernyawa pada Jumat (21/5/2021) dini hari dalam sebuah karung di kebun warga.
Edi mengatakan, anaknya menderita luka berat di kepala. Ia menduga tengkoraknya remuk karena terasa lembek saat dipegang. ”Saya curiga pelaku memukul anak saya dengan benda keras atau mungkin dibanting-banting ke tanah. Kebetulan tubuh anak saya ini memang kecil, tingginya cuma 118 sentimeter,” katanya.
Kendati begitu, Edi tidak mengetahui adanya tanda-tanda kekerasan seksual terhadap anaknya. Jenazah Marsela telah diotopsi pada Jumat sebelum dikuburkan Sabtu. Hingga kini, hasil otopsi belum diterbitkan RS Bhayangkara Manado. ”Mungkin Senin (24/5),” katanya.
Meski polisi belum menetapkan siapa pun sebagai tersangka, warga mencurigai seseorang di desa itu sebagai pelaku. Menurut Edi dan beberapa warga lain, orang itu juga pernah melakukan kekerasan terhadap anak beberapa tahun lalu. Beberapa warga juga mengaku melihat orang itu membawa Marsela di dalam mobilnya.
Edi mengatakan, dia sempat bertemu orang itu sehari setelah anaknya hilang. ”Dia bilang sempat membonceng anak saya dengan sepeda motor dari tempat jajan ke dekat rumah. Tapi, beberapa warga bilang, mereka melihat dia mengajak anak saya naik ke mobilnya,” katanya.
Polresta Manado telah mencatat tuduhan warga terhadap orang tersebut. Sejak tuduhan itu menggemparkan warga, orang itu melarikan diri dari desa. Minggu pagi, beredar kabar di media sosial bahwa orang tersebut berada di Desa Lelema, Kecamatan Tumpaan, Minahasa Selatan, sekitar 32 kilometer dari Koha Barat.
Namun, kata Elvianus, pihaknya belum dapat memastikan orang itu sebagai pelaku karena belum ada bukti yang cukup kuat. Karena itu, orang tersebut pun belum dimasukkan dalam daftar pencarian orang. ”Kami enggak tahu juga, belum tentu dia pelakunya,” ujarnya.
Menurut dia, kepolisian akan terus menyelidiki kasus ini. ”Kalau ada informasi penting dari masyarakat, silakan sampaikan kepada kami agar kami bisa segera mengungkap kasus ini,” kata Elvianus.
Edi masih sangat berduka karena kepergian anaknya. Ia pun berharap kepolisian segera menemukan pelakunya. Ia juga berharap kepolisian bisa menghukum pelaku seberat mungkin sesuai dengan perbuatannya terhadap Marsela.
Kasus kekerasan terhadap anak umum terjadi di Manado dan Sulut. Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulut, pada 2019, terdapat 150 kasus kekerasan, 28 di antaranya kasus kekerasan seksual. Dalam 10 kasus, pelakunya adalah anggota keluarga.
Jumlah ini cenderung meningkat dibandingkan 92 kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2016. Saat itu, 35 kasus di antaranya adalah kekerasan seksual, paling banyak dibandingkan kekerasan lain, seperti penelantaran dan kekerasan fisik.
Ketua Yayasan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Sulut Yowanda mengatakan, pihaknya mengecam kejahatan yang dilakukan terhadap Marsela. Kasus ini adalah contoh ekstrem kekerasan yang dialami anak di Sulut. Di Tomohon, misalnya, tahun ini ditemukan kasus pemerkosaan terhadap anak 15 tahun dan 8 tahun.
”Kesetaraan jender di Sulut, yang katanya sudah sampai di peringkat 3 nasional itu, tidak sesuai dengan kenyataan. Buktinya, masih banyak sekali kasusnya, terutama terhadap anak-anak. Ini tidak hanya karena hasrat seksual semata, tetapi juga relasi kuasa di mana laki-laki merasa berhak atas tubuh perempuan,” kata Yowanda.
Kasus Marsela juga menjadi alarm bagi pemerintah dan institusi pendidikan agar lebih banyak memainkan peran dalam melindungi anak. Literasi akan perlindungan anak serta kesetaraan jender perlu ditingkatkan, terutama bagi keluarga sebagai tempat utama anak bertumbuh.