Warga Banjarmasin secara swadaya membentuk barisan pemadam kebakaran untuk menghadapi risiko kebakaran permukiman. Kebakaran besar pada 1970-an belum hilang dari ingatan dan mereka tak ingin kejadian itu terulang.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
Kebakaran besar di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 9 Oktober 1973, belum hilang dari ingatan warga. Api berkobar meluluhlantakkan perkampungan. Sebanyak 2.258 rumah ludes dan sekitar 9.000 orang kehilangan tempat tinggal. Kenangan pahit itu terpatri hingga kini, membawa luka sekaligus pelajaran berharga.
Ahmad Berkati (64), warga Kota Banjarmasin, mengeluarkan sebuah album foto lawas dari tas selempangnya, Rabu (5/5/2021). Kakek yang memiliki tiga cucu itu lalu menyodorkan albumnya. ”Ini foto-foto kami zaman dulu. Tinggal saya yang masih hidup. Yang lain sudah meninggal semua,” katanya.
Pada foto yang diperlihatkan Kai Alus atau Kakek Alus, panggilan akrab Ahmad Berkati, tampak beberapa laki-laki berdiri di kiri dan kanan sebuah mesin pompa. Mereka semua mengenakan celana cutbray dan helm. ”Ini adalah mesin pemadam kebakaran pertama yang dimiliki Barisan Pemadam Kebakaran Swasta Pribumi,” ujarnya.
Mesin pertama itu adalah sebuah mesin mobil diesel 6 silinder. Mesin itu dibeli seorang pengusaha bernama HM Aini, yang kemudian dimodifikasi menjadi mesin pompa pemadam kebakaran. ”Mesin itu dibeli setelah kebakaran besar terjadi di Banjarmasin tahun 1973,” katanya.
Kai Alus bersama rekan-rekannya pada waktu itu lalu membentuk barisan pemadam kebakaran (BPK) yang dinamakan Swasta Pribumi (SP). Pengurus pertama kebanyakan adalah para wartawan. ”Ketua umum, wakil ketua, sekretaris, dan wakil sekretarisnya waktu itu adalah wartawan,” kata pedagang batu permata itu.
Saat BPK SP berdiri, di Banjarmasin pada waktu itu hanya ada tiga BPK, yaitu milik Pemerintah Kota Banjarmasin, Chung Hwa Chung Hui yang kemudian berganti nama menjadi Himpunan Pemuda Pemudi Indonesia (Hippindo), serta SPGB milik perusahaan karet. Tiga BPK itu kewalahan saat terjadi kebakaran besar di Banjarmasin Selatan pada 9 Oktober 1973.
Menurut Kai Alus, kebakaran besar pada waktu itu benar-benar menimbulkan trauma mendalam bagi para penyintas kebakaran. Mereka kehilangan semua harta benda. ”Sejak itulah kami membentuk SP,” katanya.
Tak lama setelah pemadam kebakaran SP diresmikan, terbentuklah barisan pemadam kebakaran lain, seperti Nasa, Penatu, Masjid Noor, Senandung, dan Sungai Baru. Dalam aplikasi e-damkar Kota Banjarmasin, tercatat ada 277 organisasi barisan pemadam kebakaran dan penanggulangan musibah kebakaran di Banjarmasin saat ini.
Yanto Susatyo (65), warga Banjarmasin yang juga Komandan Peleton 2 BPK Hippindo, bersyukur karena sekarang dalam satu kelurahan saja bisa terdapat lima BPK. ”Itu membuat pemadaman bisa lebih cepat sehingga kebakaran besar seperti di tahun-tahun yang dulu tidak terulang lagi,” ujarnya.
Keberadaan BPK membuat Banjarmasin dua kali mendapatkan pengakuan dari Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI). Pada 2004, Banjarmasin mencatat rekor barisan mobil pemadam kebakaran terpanjang se-Indonesia dan Asia Tenggara. Waktu itu, 146 unit armada pemadam kebakaran dijajarkan sepanjang 2 kilometer.
Berselang 11 tahun kemudian, Banjarmasin kembali mencatat rekor barisan pemadam kebakaran swadaya masyarakat terbanyak. Hampir 500 armada pemadam kebakaran berjajar di tepi Sungai Martapura untuk menyemprotkan air.
Salah satu hal paling menarik yang ditemukan oleh peneliti di lapangan adalah keinginan untuk menciptakan rasa aman di lingkungannya.
Kemunculan banyak barisan pemadam tak lepas dari keinginan menjaga rasa aman dan bangga bertindak sosial. Penulis artikel Dessy Puji Lestari, Rudy Pramono, dan Tirton Nefianto pernah menganalisis fenomena barisan pemadam itu. Lewat tulisan ”Analisis Partisipasi Masyarakat melalui Barisan Pemadam Kebakaran Swadaya dalam Menghadapi Risiko Kebakaran Permukiman di Kota Banjarmasin”, mereka menyebutkan ada dua faktor yang memicu fenomena ini.
Pertama adalah faktor internal yang meliputi kepedulian sosial, keinginan untuk menciptakan rasa aman di lingkungannya, kondisi psikologis akibat trauma masa lalu, kebutuhan masyarakat, gengsi, bangga, ingin menjadi pahlawan, ingin terlihat baik di mata orang lain, serta ingin lebih keren dari orang lain.
Kedua, faktor eksternal yang meliputi kondisi rawan kebakaran akibat faktor fisik dan lingkungan, kurangnya jumlah armada pemadam kebakaran yang dimiliki oleh pemerintah, kepemimpinan dalam organisasi BPK, peran tokoh-tokoh dalam masyarakat, serta kegiatan sosialisas hingga perlombaan yang diadakan oleh Pemkot Banjarmasin.Kedua faktor itu saling kait mengait.
”Salah satu hal paling menarik yang ditemukan oleh peneliti di lapangan adalah keinginan untuk menciptakan rasa aman di lingkungannya, yang kemudian memunculkan konsep community security dalam masyarakat,” tulis Dessy dan kawan-kawan dalam artikel yang dimuat dalam Jurnal Manajemen Bencana Volume 3, Nomor 2 Tahun 2017.
Banyaknya BPK di Banjarmasin di satu sisi adalah berkah karena sangat membantu pemerintah dan masyarakat. Namun, Kepala Seksi Pembinaan Pemadam Kebakaran (Damkar) Swakarsa Satuan Polisi Pamong Praja dan Damkar Kota Banjarmasin Misranudin mengatakan, mereka kerap ugal-ugalan di jalan saat mendatangi lokasi kejadian. Barisan pemadam penting, tetapi perlu ditata dengan pembagian tugas yang jelas sehingga kian jadi kebanggaan.