Rindu Mudik Seindah Dulu
Dua tahun terakhir, mudik tidak nyaman lagi. Kedisiplinan banyak warga yang buruk selama pandemi, kebijakan tidak seragam, hingga keterpurukan ekonomi menjadi pemicunya.
Sebelum pandemi Covid-19, pemudik bak tamu istimewa. Program mudik gratis hingga tempat istirahat di pinggir jalan menanti mereka dengan beragam pariwara. Namun, dua tahun terakhir mudik tak seindah dulu. Larangan digaungkan. Penyekatan di mana-mana. Tanpa perbaikan dari semua pihak, mudik seperti ini bisa terus terjadi dalam waktu panjang.

Polisi mengarahkan pengendara dari Jawa untuk putar balik ke daerah awal keberangkatan di pos penyekatan Kalijaga, Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (15/5/2021) siang. Pemudik mulai memadati jalur pantura Cirebon pada arus balik Lebaran yang diperkirakan hingga Minggu (16/5/2021).
Seperti aspal pantura, perjalanan Kholik Triono (24) menuju Bekasi, Jawa Barat, juga tidak mulus. Warga Banyumas, Jawa Tengah, ini dihentikan polisi di pos penyekatan Kalijaga, Kota Cirebon, Selasa (18/5/2021) siang. Alasannya, ia tidak memiliki surat hasil tes negatif Covid-19.
Padahal, saat melintasi Tegal dan Brebes, ia bersama temannya leluasa mengendarai sepeda motor. Tidak ada yang menghentikan. Namun, di Cirebon, ia diminta menjalani tes usap antigen. Untung saja hasilnya negatif atau nonreaktif Covid-19.
”Bagus juga langsung swab (tes usap), gratis lagi. Jadi, nanti enggak di-berhentiin lagi kalau ada penyekatan,” katanya.
Bagi sales kopi ini, biaya tes antigen yang bisa mencapai Rp 250.000 sudah terlalu mahal. Jumlahnya melebihi ongkos bensin dan makan Bekasi-Banyumas Rp 100.000. Itu sebabnya ia tidak tes antigen sebagai persyaratan mudik. Dihentikan aparat urusan belakangan.
Baca juga: Tes Antigen untuk Pemudik dan Pengunjung Pusat Keramaian di Cirebon

Polisi mengarahkan pengendara dari Jawa untuk putar balik ke daerah awal keberangkatan di pos penyekatan Kalijaga, Kota Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (15/5/2021) siang. Pemudik mulai memadati jalur pantura Cirebon pada arus balik Lebaran yang diperkirakan hingga Minggu (16/5/2021).
Buktinya, saat mudik, dia diputar balik di daerah Karawang. Namun, Kholik tidak gentar dan mencari jalan tikus hingga akhirnya lolos sampai Banyumas.
”Saya sudah dua tahun enggak pulang. Padahal, liburnya lumayan, hampir 10 hari. Di kos (Bekasi) cuma sendirian,” kata Kholik.
Fais (27), pemudik asal Banjarnegara, Jawa Tengah, bahkan rela menunggu tiga jam hingga penyekatan di Karawang dibuka saat subuh. Pekerja bengkel di Jakarta itu tidak membawa surat keterangan kelurahan dan hasil tes negatif Covid-19.
Sudah empat tahun terakhir, ia mengaku tidak mudik saat Lebaran. Tahun lalu, ketika Covid-19 mulai melanda, Fais memilih tidak pulang karena khawatir tertular atau menularkan Covid-19. ”Cuma, sekarang saudara lagi sakit. Apa salahnya kalau saya balik?” ungkapnya.

Pemudik memadati jalur pantai utara Cirebon, Jawa Barat, tepatnya di daerah Mundu, Rabu (12/5/2021). Antrean kendaraan di daerah itu lebih dari 200 meter. Kecepatan kendaraan di bawah 10 kilometer per jam.
Dalam perjalanan pulang, ia ikut ”dipandu” sekelompok warga yang mengarahkannya ke jalur ”tikus” demi menghindari penyekatan di daerah Weru, Cirebon. Kertas bertuliskan ”arah mudik” lengkap bertanda panah terpasang di jalur yang hanya cukup untuk roda dua itu.
Ada pula yang berisi ”Rest Dulu, Istirahat di Musholah. Ngopi Gratis”. Ini semacam rest area di jalan tol. Di mushala, tampak tikar membentang, kumpulan kopi saset, dan air galon disertai dispenser.
”Ini inisiatif warga sendiri. Melas, wis adoh-adoh, tekang kene bli olih (kasihan, pemudik sudah jauh-jauh, tiba di sini enggak bisa lewat,” ungkap Nurrohman (27), warga Desa Kaliwulu.
Guru di salah satu SMK swasta di Cirebon itu tahu, pemerintah melarang mudik Lebaran karena rentan menyebar virus. Namun, ia dan warga hanya ingin membantu pemudik yang diibaratkan sebagai musafir.
Apalagi, sebelum pandemi Covid-19, pemudik turut menghidupkan ekonomi warga setempat. Warga membangun warung semipermanen di pinggir jalan. Makanan khas Cirebon, seperti empal gentong, nasi lengko, dan lainnya disiapkan. Tikar digelar, lengkap dengan bantal agar pemudik bisa beristirahat.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cirebon bahkan mencatat, uang kartal yang beredar di Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan saat larangan mudik kali ini berkurang dibandingkan dengan sebelumnya. Kali ini, kebutuhan uang tunai di wilayah tersebut Rp 2,545 triliun.
Baca juga: Penyekatan di Cirebon Diperpanjang, Tempat Wisata Diawasi

Petugas memeriksa kendaraan yang terindikasi mudik di pos penyekatan Gerbang Tol Palimanan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (7/5/2021). Pos penyekatan dijaga petugas 1 x 24 jam untuk menghalau pemudik. Petugas bergantian berjaga setiap satu jam.
Ini berkurang dibandingkan 2019, yakni Rp 4,123 triliun. Artinya, ada potensi lebih dari Rp 1,5 triliun uang tunai hilang di Cirebon dan sekitarnya akibat larangan mudik.
Tidak heran muncul fenomena seperti yang dilakukan Nurrohman. Hal serupa juga terjadi di dekat pos penyekatan Rawagatel, Kedawung, dan lainnya.
Nurrohman mengaku tidak terlalu khawatir dengan potensi penyebaran Covid-19 dari pemudik. Lagi pula warga menghindari kontak langsung dengan pemudik. Tempat minum kopi yang disuguhkan, misalnya, terbuat dari plastik sekali pakai.
Seharusnya yang di-jagain itu di tempat wisata, seperti Ragunan yang berkerumun, bukan hanya di jalan seperti ini.
Purwanto (38), pemudik asal Surabaya, malah bingung dengan pemeriksaan pemudik, sedangkan tempat kerumunan lain seolah dibiarkan. ”Seharusnya, yang di-jagain itu di tempat wisata, seperti Ragunan yang berkerumun, bukan hanya di jalan seperti ini,” ucapnya mencontohkan ramai tempat wisata saat libur Lebaran.

Rapat koordinasi penanganan Covid-19 wilayah Jawa Barat di Pendopo Bupati Cirebon, Jabar, Kamis (29/4/2021). Turut hadir Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, dan pejabat lainnya.
Ironi mudik
Apa pun alasannya, kemesraan pemudik dan warga setempat adalah ironi saat pandemi. Seminggu sebelum kebijakan larangan mudik berlaku 6-17 Mei, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menggelar rapat koordinasi di Pendopo Bupati Cirebon, Kamis (29/4/2021), untuk mengantisipasi hal itu.
Doni meminta pemerintah daerah hingga tingkat desa menyampaikan narasi tunggal larangan mudik dari pemerintah pusat. Ia mengingatkan, masa liburan kerap diikuti peningkatan kasus Covid-19. Lebaran tahun lalu, misalnya, kasus aktif naik 93 persen.
”Jangan ada narasi berbeda dari larangan mudik. Harus satu komando,” ujarnya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil menginstruksikan pemda hingga tingkat desa mengawasi pemudik. Cirebon jadi salah satu fokus karena lokasinya kerap dilintasi pemudik. ”Kalaupun ada (pemudik) bocor, tolong siapkan tempat karantina lima hari. Di rumah angker, dekat kuburan juga silakan,” ungkapnya.
Faktanya, hingga arus mudik usai, 513 tempat isolasi di 412 desa di Cirebon tidak optimal. Bahkan, ada warga tidak tahu kalau desanya punya tempat karantina pemudik.
Baca juga : Dana Rp 36 Miliar untuk Posko PPKM Mikro di Cirebon

Posko pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro yang juga Balai Desa Kalikoa, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tampak kosong, Selada (11/5/2021) siang. Padahal, posko tersebut seharusnya menjadi tempat pemantauan pemudik.
”Kami sudah meminta kecamatan dan desa mencatat warga yang datang dari luar daerah. Tetapi, belum ada laporan,” ucap Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Cirebon Imam Ustadi.
Ini berbeda dengan larangan mudik tahun lalu. Saat itu, Pemkab Cirebon mencatat lebih kurang 42.000 warga pulang ke Cirebon. Tempat karantina dan tes Covid-19 pun disiapkan di GOR Watubelah, termasuk untuk pekerja migran Indonesia dan santri dari luar daerah.
Padahal, kali ini, Pemkab telah menyalurkan sekitar Rp 36 miliar kepada 412 desa untuk memaksimalkan peran posko pembatasan pemberlakuan kegiatan masyarakat (PPKM) Mikro. Jumlah tersebut enam kali lipat lebih banyak dibandingkan dana pemulihan ekonomi Cirebon akibat pandemi tahun lalu, Rp 5,6 miliar.
Belum optimalnya PPKM mikro juga tampak di sejumlah daerah dari membeludaknya pengunjung tempat wisata. Dalam rapat dengan seluruh kepala daerah via daring, Senin (17/5/2021), Presiden Joko Widodo mengungkapkan, mobilitas warga di destinasi wisata naik hingga 100,8 persen saat libur Lebaran.
Presiden mengingatkan, hampir 1,5 juta jiwa mudik selama 6-17 Mei. Sebelum larangan mudik, diprediksi 81 juta jiwa ingin mudik. Meskipun angkanya jauh berkurang, Presiden meminta pemda mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19. ”Hati-hati, ada potensi jumlah kasus baru,” ucapnya.
Kami mencoba mencegah urbanisasi. Namun, daerah juga harusnya ada kesempatan lapangan kerja. Jangan hanya melarang orang keluar, tetapi di daerah enggak ada kerjaan.

Surip, pemulung, menunjukkan takjil gratis dari Himas Coffee and Eatery dan Cirebon Geprek di Jalan Sisingamangaraja, Kota Cirebon, Jawa Barat, Jumat (23/4/2021). Kafe tersebut sebelumnya juga rutin membagikan sarapan gratis kepada warga kurang mampu dan sejumlah komunitas.
Terkait itu, Bupati Cirebon Imron akan memperpanjang penyekatan hingga 24 Mei karena belum seluruh pemudik kembali. Ia tidak menampik ada kemungkinan warga yang ikut urbanisasi ke Ibu Kota seperti yang kerap terjadi setelah Lebaran sebelumnya.
Apalagi, selama pandemi, jumlah warga miskin di Cirebon naik dari 217.640 pada 2019 menjadi 247.940 jiwa tahun 2020. ”Kami mencoba mencegah urbanisasi. Namun, daerah juga harusnya ada kesempatan lapangan kerja. Jangan hanya melarang orang keluar, tetapi di daerah enggak ada kerjaan,” ucapnya.
Belum seragamnya implementasi kebijakan hingga potensi kesenjangan ekonomi daerah saat masih pandemi membutuhkan langkah penyelesaian jitu. Jika tidak, mudik penuh larangan yang membuat tidak nyaman bakal tetap terjadi. Lebih dari itu semua, upaya bangkit dari keterpurukan bisa jadi sulit tercapai.
Baca juga : Jalur Darat Disekat, Nelayan Pun Kena Imbasnya