Pelanggaran Protokol Kesehatan di Surabaya Cerminkan Krisis Kepercayaan
Pelanggaran protokol kesehatan oleh masyarakat bahkan pejabat aparatur negara menandakan dalam masa pandemi Covid-19 terjadi krisis kesehatan, ekonomi, dan kepercayaan yang menyulitkan penanganan dan pengendalian wabah.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pelanggaran protokol kesehatan oleh masyarakat bahkan aparatur negara di Surabaya, Jawa Timur, mencerminkan adanya krisis kepercayaan dalam masa pandemi Covid-19. Penanganan pandemi Covid-19 akan tetap berliku ketika salah satu ikhtiarnya, yakni disiplin protokol kesehatan tidak selalu dapat ditegakkan.
Sampai dengan Kamis (20/5/2021), pelanggaran atau setidaknya indikasi pengabaian protokol kesehatan Covid-19 di Surabaya terus terjadi. Lebih dari 5.000 kendaraan, misalnya, tidak diperbolehkan masuk Surabaya dalam masa larangan mudik Lebaran 6-17 Mei 2021. Sampai dengan Senin (24/5/2021) berlangsung pengetatan mobilitas masyarakat bersamaan dengan perpanjangan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sampai sepekan kemudian.
Contoh pelanggaran protokol, penutupan sementara obyek wisata air di Kenjeran Park karena keberadaan kerumunan orang. Program vaksinasi massal di salah satu gedung pusat belanja Grand City juga dihentikan sementara oleh Satuan Tugas Covid-19 karena peserta atau publik yang datang tidak dapat disiplin protokol kesehatan terutama menjaga jarak.
Mari melihat secara proporsional, kembalilah disiplin protokol kesehatan. Aparatur negara kalau keliru, ya, harus mau menerima teguran dari warga dan segera kembali memperbaiki diri (Bagong Suyanto)
Baru-baru ini, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak mengadakan pesta ulang tahun di Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Tidak dapat dimungkiri acara itu memicu kehadiran massa yang jaminan penerapan protokol kesehatannya lemah. Di sisi lain, ada indikasi satuan tugas enggan menegur pejabat utama.
Secara statistik, di bulan ini, situasi pandemi Covid-19 di Jatim masih melandai. Namun, ini bukan berarti mereda apalagi tertangani. Melandai karena penambahan kasus harian di bawah 300 orang dan seimbang dengan tingkat kesembuhan. Yang patut diperhatikan, tingkat kematian masih di atas 7 persen yang tidak berubah sejak serangan pada Maret 2020.
Sampai dengan Kamis malam ini, Khofifah dan Emil belum memberikan pernyataan atau klarifikasi tentang kegiatan pesta ulang tahun di Grahadi yang mendatangkan penyanyi kondang Katon Bagaskara itu.
Guru besar sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto saat dimintai pandangan akademiknya menilai, jika pesta itu memenuhi unsur pelanggaran protokol rasanya bukan kesengajaan yang akan ditempuh oleh Khofifah atau Emil.
”Saya rasa ini sifat manusiawi yang khilaf mungkin karena pandemi yang tak juga teratasi. Pejabat juga manusia yang bisa letih dan jenuh dengan situasi sehingga amat mungkin bisa keliru,” katanya.
Pengabaian
Wabah sejak Maret 2020 dan belum mereda apalagi tertangani, lanjut Bagong, turut berdampak pada ”stamina” publik dalam menegakkan protokol. Sangat manusiawi dan bisa dipahami jika disiplin protokol terasa sulit untuk ditegakkan apalagi secara konsisten terus-menerus. Peristiwa indikasi pengabaian atau pelanggaran protokol oleh masyarakat bahkan aparatur jangan kemudian dilihat sebagai alasan untuk melabrak.
”Mari melihat secara proporsional, kembalilah disiplin protokol kesehatan. Aparatur negara kalau keliru, ya, harus mau menerima teguran dari warga dan segera kembali memperbaiki diri,” kata Bagong.
Sebagai pejabat negara, tentu perlu tetap memberi contoh yang baik. Jika keliru, mengakui, minta maaf, dan perbaiki diri. Masyarakat jangan melulu membawa kekeliruan aparatur secara politis apalagi menjadi tidak etis dengan membenarkan tindakan pelanggaran.
Secara terpisah, sosiolog Universitas Brawijaya, Malang, Anton Novenanto, mengingatkan, dalam situasi pandemi saat ini terjadi krisis kesehatan, ekonomi, dan kepercayaan. ”Akan menjadi sulit dalam penanganan pandemi jika pejabat negara yang notabene panutan kurang memberi contoh yang baik terutama dalam penerapan protokol kesehatan,” katanya.
Pelanggaran protokol oleh masyarakat yang telah terjadi, lanjut Novenanto, yang akrab disapa Nino itu, tidak melulu merupakan kehendak masyarakat sendiri. ”Secara sosiologis, masyarakat juga meniru apa yang dilakukan panutannya termasuk aparatur negara. Kalau pejabat boleh (melanggar) dan dibiarkan kenapa masyarakat tidak? Sederhananya begitu,” ujarnya.
Situasi inilah yang menurut Novenanto sebagai krisis kepercayaan. Krisis ini tidak terjadi baru-baru saja atau tahun-tahun terakhir, tetapi dari pemerintahan ke pemerintahan. Dimensinya luas karena menyangkut pandangan masyarakat apakah merasa tenteram, sejahtera, puas dengan pelayanan aparatur negara saat ini atau sebaliknya.
Meski demikian, aparatur dan masyarakat diminta untuk tetap kembali pada ikhtiar penanganan pandemi. Aparatur tetaplah bekerja dan berilah contoh yang baik dalam pelayanan masyarakat termasuk protokol kesehatan. Masyarakat agar patuh.
Epidemiolog Unair, Windhu Purnomo mengingatkan, disiplin protokol kesehatan tetap diyakini sebagai cara yang cukup ampuh untuk menekan risiko penularan pandemi Covid-19. ”Kinerja dalam pelacakan dan tes, vaksinasi tetap harus ditingkatkan, tetapi di sisi lain perlu upaya semesta, yakni protokol kesehatan,” ujarnya.
Penerapan protokol kesehatan, lanjut Windhu, bukan berarti melarang siapa pun beraktivitas untuk mencegah penularan. Aktivitas tetap berjalan, tetapi membiasakan yang tidak biasa. Misalnya, bermasker, menghindari kontak erat dengan orang lain, menjaga kebersihan, tidak menimbulkan kerumunan, dan segera memeriksakan diri jika ada keluhan kesehatan. Jika terindikasi Covid-19 segera menempuh langkah-langkah penanganan, misalnya karantina, isolasi, hingga perawatan.