Dua Opsi di Balik Gugatan Walhi Jambi pada Korporasi
Meskipun dimungkinkan terjadi mediasi, poin gugatan Walhi Jambi bagi perusahaan untuk melaksanakan pemulihan lingkungan atas kebakaran yang berulang kali melanda konsesi harus dijalankan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Sidang kedua gugatan Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Jambi pada dua korporasi yang konsesinya dilanda kebakaran berulang batal berlangsung, Kamis (20/5/2021). Sidang tak dihadiri wakil salah satu korporasi tergugat, yakni PT PBP, sehingga kembali ditunda pada Senin (21/6/2021).
Karena salah satu pihak tak hadir, Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang diketuai Syafrizal menyebut akan melakukam satu kali lagi panggilan luar biasa untuk para pihak hadir bulan depan.
Pada sidang pertama lalu, pihak korporasi juga tidak hadir. Apabila tidak hadir kembali pada jadwal sidang berikutnya, pihak terkait akan dianggap melepaskan hak mediasi. ”Para pihak akan dipanggil lagi untuk sidang di jadwal berikutnya,” kata Yandri Roni, Humas Pengadilan Negeri Jambi.
Sidang ini sedianya masih akan membahas kelengkapan berkas dan rencana upaya mediasi atas gugatan Walhi Jambi. Gugatan organisasi lingkungan hidup tersebut ditujukan kepada dua perusahaan, PT PDIW dan PT PBP, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai Turut Tergugat 1 dan Gubernur Jambi selaku Turut Tergugat II.
Pada sidang Kamis pagi tadi, tak satu pun wakil PT PBP hadir, sementara PT PDIW diwakilkan kuasa hukumnya Rosmery Panggabean. Pihak KLHK diwakili oleh staf Biro Hukum Kementerian Lingkungan Hidup berdasarkan surat tugas dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Adapun Gubernur Jambi diwakili oleh bagian Biro Hukum Provinsi Jambi berdasarkan Surat Tugas dari Pejabat Gubernur Jambi Hari Nur Cahya.
Aktivis Walhi Jambi Dwi Nanto menjelaskan, gugatannya itu mewakili kepentingan lingkungan hidup. Sebab, kebakaran terus berulang di wilayah kedua konsesi korporasi PT PDIW dan PT PBP. Lokasi kedua konsesi saling bertetangga di wilayah Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi.
Para pihak akan dipanggil lagi untuk sidang di jadwal berikutnya. (Yandri Roni)
Hasil analisis citra satelit menunjukkan telah terjadi kebakaran berulang mulai dari 2015 hingga 2019. Kebakaran di kawasan itu merupakan kebakaran yang paling parah dan memicu kabut asap pekat di sana.
Total luas kebakaran pada rentang waktu tersebut mencapai 56.165 hektar. Kejadian terparah berlangsung tahun 2019, yakni seluas 41.453. Rinciannya, kebakaran 27.070 hektar di PT PDIW dan 29.095 hektar dalam areal PT PBP.
Atas dasar itulah, lanjutnya, Walhi menggugat perdata kedua perusahaan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup. Nilai pemulihan yang harus dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab mutlak perusahaan mencapai total Rp 200 miliar.
Nilai itu terdiri atas Rp 101 miliar untuk PT PBP dan Rp 98 miliar untuk PT PDIW. Selain itu, tuntutan untuk pemulihan bersama kedua perusahaan pada wilayah yang beririsan senilai Rp 800 juta.
Sebagai pemegang konsesi hutan negara, lanjut Dwi, perusahaan harusnya memenuhi tanggung jawab mencegah kebakaran hutan dan lahan. Apalagi areal konsesi mereka berada di hamparan gambut, upaya pembasahan (reeweting) mutlak dilakukan.
Akan tetapi, fakta di lapangan, kedua perusahaan tidak serius melakukannya. Sehingga potensi kebakaran terus terjadi. ”Kami menyimpulkan kedua perusahaan telah melakukan pembiaran terhadap karhutla,” katanya.
Sementara KLHK menjadi pihak Turut Gergugat I dalam kaitannya sebagai institusi yang bertanggung jawab melakukan evaluasi dan sanksi kepada dua perusahaan itu. Meski pemerintah daerah telah berulang kali menyurati KLHK untuk mendesak dilakukan evaluasi izin korporasi, hingga kini tak ada penindakan yang tegas.
Adapun Gubernur Jambi menjadi Turut Tergugat II terkait kewenangannya untuk memberikan sanksi menurut UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, disebutkan pada Pasal 30 Ayat (1) ”Pemegang izin bertanggung jawab untuk pemulihan gambut di arealnya.”
Peraturan Pemerintah 57 Tahun 2016, Pasal 31 A juga menyatakan, dalam hal pemulihan akibat kebakaran dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan pemulihan fungsi ekosistem gambut dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari sejak terjadi kebakaran, menteri, gubernur, dan bupati/wali kota berkoordinasi memulihan fungsi ekosistem gambut atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk pelaksanaan lapangannya.
Selain itu, pada UU 57 Tahun 2016, disebutkan adanya sanksi administratif dan pencabutan izin lingkungan.
Menurut Dwi, meski gugatan hukum telah dilayangkan, dalam prosesnya terbuka mediasi. Mediasi dimungkinkan sebagai langkah cepat upaya pemulihan. ”Bisa saja terjadi kesepakatan jika poin-poin dalam gugatan dipenuhi, yakni pemulihan lingkungan hidup,” katanya. Jika mediasi tak berjalan, itu berarti proses persidangan terus berlanjut.
Kuasa Hukum PT PDIW, Rosmery Panggabean, mengatakan pihaknya menyatakan siap menjalani sidang gugatan tersebut. Namun, katanya, isi gugatan masih terus dipelajari. Perihal apakah langkah mediasi akan diambil atau tidak, belum diputuskan. ”Kami masih pelajari dulu,” katanya.