Merawat Jejak Sejarah Islam Bolaang Mongondow di Masjid Al Huda Kotamobagu
Masjid Al Huda di Kotamobagu diyakini sebagai saksi tertua perkembangan Islam di bekas wilayah kerajaan Bolaang Mongondow Raya. Namun, masjid ini sekaligus menandai gejala hilangnya jejak sejarah Islam di Bumi Totabuan.

Suasana lengang di sekitar Masjid Al Huda di Desa Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara, Rabu (5/5/2021). Masjid Al Huda yang dibangun pada 1928 disebut sebagai salah satu masjid tertua di Bolaang Mongondow Raya.
Masjid Al Huda di Desa Kopandakan I, Kotamobagu, diyakini sebagai salah satu saksi tertua perkembangan Islam di bekas wilayah Kerajaan Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara. Namun, masjid yang masih berdiri kokoh ini sekaligus menandai gejala hilangnya jejak sejarah Islam di Bumi Totabuan.
Tin Manggo (44) sedang sibuk-sibuknya menjelang maghrib, Rabu (5/5/2021). Meja panjang di depannya kian penuh oleh ratusan biji balapis, lalampa bakar, kueku (mata kebo), dan kukis kelapa. Di salah satu ujung meja tersaji belasan gelas es buah, sedangkan teko-teko plastik berisi sari buah jeruk instan dan kopi berada di ujung lainnya.

Semakin dekat waktu berbuka puasa, pekerjaan Tin bukannya makin sedikit. Umat Masjid Al Huda Desa Kopandakan I datang silih berganti membawa jajanan pasar. Beruntung Miswati Kangki (48) turun tangan. Takjil segera terhidang di atas belasan piring plastik.
Saban hari selama Ramadhan, keluarga Muslim Desa Kopandakan I bergiliran membawa takjil ke masjid itu. Ini adalah tradisi setempat yang disebut molebe. Tin dan Miswati didaulat sebagai juru tata takjil beberapa tahun terakhir. ”Setiap hari ada 9 atau 10 keluarga yang bawa takjil sesuai jadwal bikinan kepala dusun,” kata Tin.

Tin Manggo (44, berjilbab) menata takjil yang dibawa umat Masjid Al Huda di Desa Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara, Rabu (5/5/2021). Selama bulan Ramadhan, jemaah masjid bergiliran membawa takjil sebagai bagian dari tradisi yang disebut molebe.
Mulanya, Masjid Al Huda yang berdiri sejak 1928 adalah satu-satunya masjid bagi sekitar 730 keluarga Muslim di lima dusun Desa Kopandakan I. Walakin, karena beberapa masjid baru telah dibangun, masjid berukuran 14 x 14 meter itu kini hanya digunakan terutama oleh warga Dusun 2 dan 3.
Molebe di Masjid AL Huda pun menjadi kewajiban warga kedua dusun itu saja. ”Biar begitu, masjid ini tetap masjid induk bagi warga desa. Siapa pun tetap boleh datang bawa takjil,” ujar Miswati.
Baca juga: Merawat Semangat Kemanusiaan Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya
Menurut Sumitro Tegela (37), Ketua Desa Adat Kopandakan, dahulu imam Masjid Al Huda dan pemuka agama di desa akan tinggal di dalam masjid selama 30 hari Ramadhan. Karena itu, umat bergiliran membawakan makanan untuk sahur dan berbuka puasa. Dari situlah molebe bermula.
Sehabis shalat Tarawih, imam akan memimpin pengajian sepanjang dua juz setiap hari di masjid. Umat Masjid Al Huda pun dipastikan dua kali khatam Al Quran selama bulan suci.
Seiring waktu, kebiasaan imam tinggal di masjid menghilang. Praktik molebe pun berubah menjadi kewajiban membawa takjil saja. Sebaliknya, tradisi mendaras dua juz setiap hari tetap bertahan di masjid dan di rumah sangadi (kepala desa).

Umat Islam di Masjid Al Huda Desa Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara, berbuka bersama selepas maghrib, Rabu (5/5/2021). Selama bulan Ramadhan, jemaah masjid bergiliran membawa takjil sebagai bagian dari tradisi yang disebut molebe.
Renovasi
Perubahan tradisi itu seiring dengan evolusi fisik Masjid Al Huda. Antara tahun 2000 dan 2007, bilahan kayu yang menyusun tembok dan fondasi masjid perlahan tergantikan oleh semen dan beton dalam program renovasi besar.
Empat tiang raja di tengah ruang masjid, yang dahulu sekadar kayu setebal 40 sentimeter dengan tinggi sekitar 10 meter, juga menjelma menjadi tiang beton nan megah. Padahal empat bilah kayu itu menyimpan informasi hakiki dari hikayat Masjid Al Huda, yakni ukiran tanggal dimulainya pembangunan masjid pada Februari 1926 hingga selesai Maret 1928.
Pada tiang-tiang kayu itulah klaim Masjid Al Huda Kopandakan I sebagai salah satu masjid tertua se-Bolaang Mongondow Raya berdasar. Secara tersirat, Deddy Popitod (43), warga Dusun 2 Desa Kopandakan I, menyayangkan rangkaian renovasi itu kendati tetap mensyukuri kondisi masjid sekarang.
”Jemaah terbelah dua waktu ada wacana renovasi. Ada yang sepakat, ada yang ingin sebuah masjid baru dibangun di tempat lain supaya nilai sejarah masjid ini tidak hilang,” katanya.

Empat pilar Masjid Al Huda, Desa Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara, kini terbuat dari beton cor. Dahulu, empat pilar tersebut terbuat dari kayu dan menyimpan ukiran tanggal pendirian masjid.
Renovasi masjid berlangsung selama 2000-2007. Marsidi Kadengkang (63), sangadi Kopandakan I 1993-2003 yang memprakarsai renovasi, menyebut kondisi masjid induk tersebut kala itu sudah memprihatinkan.
Keyakinannya akan pemugaran semakin kuat setelah ia mendapat mimpi aneh. ”Malam sepulang rapat panitia renovasi, saya mimpi melihat jenazah saya terbungkus kain kafan dan dikelilingi beberapa orang, satu berbaju hitam dan lainnya berjubah putih,” katanya.
Mimpi itu mengingatkannya pada sebuah foto kuno. Sangadi Kopandakan pada 1928, Losik Lobud, yang mengenakan baju hitam dan bersarung, berpose bersama 10 imam dan ulama berjubah putih dengan kepala berbalut serban di depan Masjid Al Huda.
Baca juga: Masjid Raya Sumbar, Simbol Berpadunya Adat dan Syarak
Musyawarah dengan keluarga Lobud, tetua desa, dan ulama berujung pada pemaknaan mimpi itu sebagai pertanda baik. Renovasi pun disepakati dengan syarat tak mengubah bentuk asli masjid.
Walhasil, struktur dan bentuk persegi bangunan masjid masih sama, begitu pula atapnya yang terdiri atas dua tumpuk limas segi empat. Empat tiang raja masjid pun tetap berdiri tegak tetapi tak lagi terlihat karena telah terbenam di dalam beton cor yang membentuk pilar masjid sekarang.

Seorang Muslim mendirikan shalat di Masjid Al Huda, Desa Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara, Rabu (5/5/2021). Masjid yang dibangun pada 1928 itu disebut sebagai salah satu masjid tertua di Bolaang Mongondow Raya.
Sejarah hilang
Demikian pula terbenamlah ukiran tanggal pendirian Masjid Al Huda, salah satu artefak bukti perkembangan Islam di Kotamobagu yang pernah menjadi pusat Kerajaan Bolaang Mongondow. Marsidi mengaku lalai hingga membiarkan ukiran penanda usia masjid itu terkubur.
Untungnya, Sistem Informasi Masjid Kementerian Agama (Simas Kemenag) telah mencatat 1928 sebagai tahun pendirian Masjid Al Huda. Berbagai pihak, termasuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kotamobagu, bahkan menyebut Masjid Al Huda sebagai masjid tertua di Bolaang Mongondow Raya kendati masjid itu belum pernah berstatus cagar budaya.
Anehnya, masjid itu baru berdiri 80 tahun setelah Raja Jacobis Manuel Manoppo yang memimpin Bolaang Mongondow pada 1833-1858 menjadi mualaf pada 1848 dan menetapkan Islam sebagai agama kerajaan. Pada rentang waktu yang sama, kelompok ulama dan pedagang dari Gorontalo aktif menyebarkan Islam di wilayah yang kini menjadi Kelurahan Motoboi Kecil dan Molinow di Kotamobagu.
Pada 1860, pemerintah kolonial Belanda yang menguasai Minahasa mencatat, tiga perempat warga 24 desa di Kerajaan Bolaang Mongondow masuk Islam. Pengikutnya paling banyak di pusat kerajaan yang kini menjadi Kelurahan Kotabangon. Perkembangan Islam semakin pesat pada 1880-1893 di bawah kepemimpinan Raja Abraham Sugeha.

Jemaah shalat Magrib di Masjid Al Huda, Desa Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara, Rabu (5/5/2021). Masjid yang dibangun pada 1928 itu adalah masjid induk bagi 730-an keluarga Muslim di desa tersebut.
Pada 1922, seorang etnografer Swedia, Walter Kaudern, pernah memotret sebuah bangunan kayu beratap rumbia menyerupai masjid di Desa Bongkudai, Bolaang Mongondow Timur. Namun, Sumitro Tegela, Ketua Desa Adat Kopandakan, berpendapat, rumah-rumah ibadah yang berdiri saat itu lebih tepat disebut surau atau langgar.
”Ada juga masjid di Moyag (Kotamobagu Timur) yang difoto Kaudern tahun 1917, tetapi ukurannya kecil. Jadi, tempat ibadah sudah banyak waktu itu, tetapi yang cukup luas, besar, dan dapat disebut masjid, ya, baru yang di Kopandakan ini,” kata Sumitro.
Chairun Mokoginta (67), budayawan Bolaang Mongondow, mengatakan, titik awal perkembangan Islam seharusnya mudah ditemukan di masjid-masjid. Sebab, orang Mongondow punya kebiasaan menuliskan tanggal pendirian bangunan pada tiang-tiangnya.
Namun, hal yang semestinya mudah itu kini menjadi sukar karena gelombang renovasi masjid di Bolaang Mongondow Raya. Menurut dia, terdapat gelombang renovasi besar masjid sejak dekade 1960 hingga 1980.

Suasana lengang di sekitar Masjid Al Huda di Desa Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara, Rabu (5/5/2021). Masjid Al Huda yang dibangun pada 1928 disebut sebagai salah satu masjid tertua di Bolaang Mongondow Raya.
”Banyak masjid tua yang dibongkar dan dipugar hingga tak tertinggal sama sekali sisanya. Masjid Al Huda di Kopandakan I itu salah satu yang paling terakhir direnovasi,” kata Chairun.
Chairun pun sangsi masjid induk di Kopandakan I adalah yang tertua di Bumi Totabuan. Apalagi, perkembangan Islam di Bolaang Mongondow Raya melesat selama pertengahan hingga akhir abad ke-19. Seharusnya sudah ada masjid semasa itu.
Kekacauan Permesta selama 1957-1959 yang mengguncang Bolaang Mongondow turut mempersulit penelusuran masjid tertua. Kala itu, banyak masjid dan komalig (istana kerajaan), mayoritas terbuat dari kayu, yang dibakar.
Penelusuran pada Simas Kemenag pun tak menemukan satu pun masjid di Kotamobagu yang tercatat berdiri sebelum 1928. Namun, ada Masjid Raya An Nur Molibagu, Bolaang Mongondow Selatan, yang dibangun pada 1912 dan Masjid An Nur Lolak, Bolaang Mongondow, yang berdiri sejak 1920. Keduanya, tentu saja, telah melalui berbagai pemugaran.

Tin Manggo (44) menata takjil yang dibawa umat Masjid Al Huda di Desa Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara, Rabu (5/5/2021). Selama bulan Ramadhan, jemaah masjid bergiliran membawa takjil sebagai bagian dari tradisi yang disebut molebe.
Kendati demikian, kemungkinan adanya masjid yang jauh lebih tua masih terbuka lebar. Kekosongan narasi sejarah Islam di Bolaang Mongondow pun, kata Chairun, perlu diatasi dengan riset mendalam. ”Memang, kesulitan yang kita hadapi saat ini adalah hilangnya catatan tanggal pendirian dari tiang-tiang masjid yang berdiri saat ini,” ujarnya.
Masjid Al Huda layaknya dua sisi koin. Ia menyimbolkan tonggak sejarah sekaligus hilangnya jejak peradaban Islam di Bolaang Mongondow Raya. Untuk sementara, molebe dan pengajian dua juz tiap malam selama Ramadhan di masjid itu adalah ikhtiar umat merawat yang belum hilang.