Masjid Mantingan, Potret Akultrasi dan Cikal Bakal Seni Ukir Jepara
Masjid Mantingan dan Makam Mantingan terletak di sebelah utara Jalan Sultan Hadlirin, Jepara, merupakan cagar budaya peringkat nasional yang kaya akan nilai sejarah dan akulturasi budaya.
[caption id="attachment_11625658" align="alignnone" width="660"]
Tampak bagian depan Masjid Astana Sultan Hadlirin atau Masjid Mantingan, di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Selasa (11/5/2021). Masjid yang didirikan pada 1559 itu wujud akulturasi budaya China, Jawa, Islam, Hindu-Buddha. Terdapat ornamen ukiran dari batu kuning yang didatangkan dari China. Di sana, ada juga kompleks makam, yang terdapat antara lain makam Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat.[/caption]
Bulir keringat masih menempel di wajah Arum Nugroho (37) siang itu, Selasa (11/5/2021) siang, saat ia bersama kedua rekannya memasuki kompleks Masjid dan Makam Mantingan, Jepara, Jawa Tengah. Ia lalu menaiki sejumlah anak tangga dan tibalah di teras masjid. Wajahnya menjadi teduh. Sementara pandangan mata taklepas dari deretan ornamen ukiran batu di dinding.
Setelah berwudlu dan salat dzuhur berjamaah, Arum dan rekan-rekannya duduk teras masjid. Ia lalu mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan mode kamera. Jepret, jepret. Jadilah wefie mereka dengan latar keindahan susunan ukiran batu putih di masjid yang pendiriannya lekat dengan Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat, suami-istri pemimpin Jepara, berabad-abad lalu.
"Masjid ini harus terus kita lestarikan karena bagian dari sejarah Jepara. Apalagi ini juga bentuk akulturasi budaya," kata Arum, kelahiran Jepara yang kini bermukim di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Baca juga: Menyambangi Masjid Mantingan, Wujud Akulturasi di Bumi Ukir
Sementara itu, Arifin (24) asyik berfoto-foto dengan seorang temannya di depan gapura paduraksa gaya Majapahit yang menjadi gerbang masuk Masjid Mantingan. Warga Welahan Jepara itu kurang dari lima kali berkunjung ke Masjid Mantingan. Namun, dalam setiap kunjungannya, baik untuk beribadah maupun ziarah dan wisata religi, selalu memberi kesan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2F5926188e-1df0-4955-ad19-8a9ae850e017_jpg.jpg)
Tampak bedug serta ornamen pada dinding Masjid Astana Sultan Hadlirin atau Masjid Mantingan, di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Selasa (11/5/2021). Masjid yang didirikan pada 1559 itu wujud akulturasi budaya China, Jawa, Islam, Hindu-Buddha. Terdapat ornamen ukiran dari batu kuning yang didatangkan dari China. Masjid itu disebut tertua kedua di Jawa Tengah setelah Masjid Agung Demak.
"Masjid ini menarik sekali. Dari pintu masuknya saja sudah seperti candi, padahal tempat ibadah umat Muslim. Mungkin, dulunya Jepara ini memang terbuka sehingga hal-hal seperti ini masih bertahan sampai sekarang," ujar Arifin.
Di sebelah masjid, terdapat kompleks makam yang antara lain terdapat makam Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat. Makam ini banyak didatangi warga yang ingin berziarah. Tak cuma dari sekitar Jepara, tetapi bahkan hingga luar Jawa Tengah. Presiden Soekarno pada 1952 juga tercatata pernah berziarah dan berdoa di makam tersebut.
"Sebelum pandemi Covid-19, paling sering dikunjungi yakni saat Bulan Ruwah dan Syuro. Bisa seharian terus berdatangan. Yang datang kebanyakan bukan orang Jepara, tetapi dari luar, seperti Pekalongan, Semarang, bahkan banyak juga dari Jawa Timur," kata Ali (71) penjaga kompleks Makam Mantingan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2F56a06481-f261-423c-bb7b-da05acda7081_jpg.jpg)
Gapura paduraksa menjadi pintu masuk Masjid Astana Sultan Hadlirin atau Masjid Mantingan, di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Selasa (11/5/2021). Masjid yang didirikan pada 1559 itu wujud akulturasi budaya China, Jawa, Islam, Hindu-Buddha. Terdapat ornamen ukiran dari batu kuning yang didatangkan dari China.
Pertautan budaya
Masjid Mantingan terletak di sebelah utara Jalan Sultan Hadlirin, Jepara. Dari sisi jalan raya, jemaah atau pengunjung akan menaiki belasan anak tangga yang kemudian disambut gapura paduraksa, menyerupai arsitektur Candi Bentar peninggalan zaman Majapahit. Itu menjadi representasi pertautan budaya Hindu-Buddha di kompleks Makam dan Masjid Mantingan.
Di depan bangunan masjid, ada 10 anak tangga yang akan mengantarkan pengunjung pada bagian serambi atau teras. Begitu mencapai teras, langsung terbentang pemandangan unik, berupa deretan panel relief putih yang tertempel di dinding dekat pintu masjid. Ada yang berbentuk bundar, persegi, segi enam, dan bentuk kelelawar. Total ada 51 panel terpasang.
Pada relief berupa ukiran batu tersebut terdapat antara lain motif bunga, dedaunan, untaian tali, serta binatang yang distilasi (disamarkan). Dalam sejumlah sumber disebutkan bahwa batu putih tersebut didatangkan dari China. Sementara ukiran dibuat oleh Tjie Wie Gwan, empu ukir asal China yang juga ayah angkat Sultan Hadlirin, yang kemudian diangkat menjadi patih.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2F39b299cd-d67c-420f-a5ec-b2888bc52bb1_jpg.jpg)
Salah satu ukiran batu di Masjid Astana Sultan Hadlirin atau Masjid Mantingan, di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Selasa (11/5/2021). Masjid yang didirikan pada 1559 itu wujud akulturasi budaya China, Jawa, Islam, Hindu-Buddha. Terdapat ornamen ukiran dari batu kuning yang didatangkan dari China.
Baca juga: Bangunan Bersejarah yang Terlupakan di Kota Medan
"Terdapat akulturasi budaya Islam, Jawa, Cina, dan Hindu-Buddha di Masjid Mantingan. Juga, menjadi monumen dan saksi bisu kebesaran Ratu Kalinyamat," kata Pemerhati budaya Jepara, Hadi Priyanto, Selasa.

Di dalam bangunan induk masjid, terdapat empat tiang sokoguru yang terbuat dari kayu yang disanggah dengan umpak. Adapun mihrab masjid berbentuk relung tapal kuda. Di atas mihrab masjid tertulis “Rupa Brahmana Warna Sari” yang diartikan1481 Saka atau 1559 Masehi. Pada tahun tersebut Masjid Mantingan didirikan.
Sementara itu, Makam Mantingan, yang letaknya di sebelah barat masjid, merupakan kompleks makam kuno. Gapura paduraksa terdapat di sebelah selatan atau gerbang makam. Tokoh utama yang dimakamkan di sini ialah Sultan Hadlirin, Ratu Kalinyamat, dan Tjie Wie Gwan atau kemudian diberi julukan Sungging Badarduwung (ahli ukir batu).
Dikutip dari situs Cagar Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sejarawan Belanda, Johannes de Graaf menuliskan bahwa banyak orang asal Tiongkok yang diikutkan dalam pembangunan Masjid Mantingan. Selain dari keberadaan ukiran bermotif China, juga didukung ada dalam buku RA Kartini "Door Duisternis Tot Licht" di halaman 164-165. Kartini menulis kalau ia sering mengunjungi Masjid Mantingan dan melihat rumah-rumah dan motif-motif di bangunan masjid yang berasal dari Cina.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2Fc3ff3657-904b-4fbe-810f-e10a551e0428_jpg.jpg)
Salah seorang jamaah hendak memasuki bangunan induk Masjid Astana Sultan Hadlirin atau Masjid Mantingan, di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Selasa (11/5/2021). Masjid yang didirikan pada 1559 itu wujud akulturasi budaya China, Jawa, Islam, Hindu-Buddha. Terdapat ornamen ukiran dari batu kuning yang didatangkan dari China.
Masjid Mantingan pernah dipugar oleh Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jateng melalui proyek tahun anggaran 1977/1978. Pada 2015, dilakukan pemugaran terhadap Cungkup Makam Ratu Kalinyamat oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jateng.
Pesanggrahan
Dibangunnya Masjid Mantingan pada abad ke-16 berkait dengan kepemimpinan Sultan Hadlirin, utusan Aceh, yang beristri Ratna Kencana atau Ratu Kalinyamat, putri Sultan Trenggana sekaligus cucu Raden Patah, pemimpin Kesultanan Demak. Mantingan saat itu menjadi tempat semacam pesanggrahan bagi ratu dan raja, untuk menyepi, berdoa, dan relaksasi.
Pada 1549, Sultan Hadlirin yang bernama asli Toyib, tewas setelah dibunuh pasukan Arya Penangsang. Ia lalu dimakamkan di Mantingan. "Saat itu, Ratu Kalinyamat menggantikan posisinya sebagai penguasa Jepara. 10 tahun kemudian, pada 1559, dibangunlah masjid di dekat makam suaminya," kata Hadi, yang menulis buku "Ratu Kalinyamat, Rainha de Jepara".
Hadi menuturkan, ukiran di dinding masjid yang menunjukkan motif-motif China menunjukkan keterbukaan pada budaya luar pada era kepemimpinan Ratu Kalinyamat. Berdasarkan cerita turun temurun, ornamen pada ukiran batu yang tertempel di Masjid Mantingan itu merupakan hasil karya Sungging Badar Duwung.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2Fb9fa70e6-9d14-455b-a89c-0af1565d4c62_jpg.jpg)
Salah satu motif ukiran batu di Masjid Astana Sultan Hadlirin atau Masjid Mantingan, di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Selasa (11/5/2021). Masjid yang didirikan pada 1559 itu wujud akulturasi budaya China, Jawa, Islam, Hindu-Buddha. Terdapat ornamen ukiran dari batu kuning yang didatangkan dari China.
Fivin Bagus SP, Jati Widagdo, dan Zainul Arifin dari Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara, dalam penelitiannya yang dipublikasikan di Jurnal Seni Imajinasi Universitas Negeri Semarang pada 2019, menyebutkan, karakteristik motif ukir yang terdapat pada Masjid Mantingan ilaha hasil stilasi dari bentuk-bentuk alam seperti teratai, pohon kelapa, kera, dan burung.
Dari makna, motif melambangkan pengetahuan, spiritual, dan kekuatan. Sementara motif burung merak melambangkan keagungan dan kemegahan, kecantikan, kesetiaan, keabadian dan perdamaian. Pada motif kelelawar, selama ini diyakni sebagai binatang yang membawa untung serta lambang kebahagiaan dan panjang umur.
Motif ukir di serambi Masjid Mantingan berperan besar terhadap motif ukir di Jepara. Berawal dari motif flora dan fauna, oleh perajin ukir Jepara kemudian digubah dalam motif tradisional Jepara yang berupa relung-relung. Ukiran di masjid itu juga diyakini menjadi cikal bakal perkembangan seni ukir Jepara, hingga daerah tersebut hingga kini dikenal sebagai Kota Ukir.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2Faa01671c-f2a8-40a6-9873-56b804c2e48b_jpg.jpg)
Warga shalat berjamaah di Masjid Astana Sultan Hadlirin atau Masjid Mantingan, di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Selasa (11/5/2021). Masjid yang didirikan pada 1559 itu wujud akulturasi budaya China, Jawa, Islam, Hindu-Buddha. Masjid itu disebut tertua kedua di Jawa Tengah setelah Masjid Agung Demak.
Dikunjungi Soekarno
Hadi menuturkan, RA Kartini beberapa kali berziarah ke Makam Mantingan. Ia satu waktu mengantar temannya orang Belanda ke makam tersebut. Di sana, teman Kartini bermunajat agar segera pindah tugas dari Jepara.
Sementara itu, pada 1952, Presiden Soekarno juga berziarah ke makam Ratu Kalinyamat. Dalam kunjungannya ke Jepara itu, Bung Karno juga sempat mengunjungi Sekolah Teknik Negeri (STN) Jepara serta terkesan dengan sekolah tersebut. Ia menilai sekolah itu memiliki potensi dan prospek cerah.
"Saya menyarankan, agar STN ini ditingkatkan menjadi Sekolah Teknik Menengah. Selain mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, para siswa juga bisa mendalami ilmunya, terutama teknik ukir," ujar Bung Karno ketika itu, yang disambut semua pihak.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F04%2F20210416WEN7_1618561190.jpg)
Warga menyelesaikan pembuatan kerajinan ukir kayu di Desa Terangmas, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Jumat (16/4/2021). Sebagian besar konsumen mereka berasal dari daerah Bali, Jepara dan Yogyakarta.Kompas/P Raditya Mahendra Yasa16-04-2021*** Local Caption ***
Pada 1 Agustus 1959, STM itu didirikan dengan SK No 063/B-3/Kerdj, dan hanya membuka satu jurusan, dekorasi ukir, seperti diberitakan Kompas, 8 April 1992. Adapun sekolah itu masih ada dan kini menjadi SMP Negeri 6 Jepara.
Kendati awalnya dipimpin Sultan Hadlirin, sejarah Jepara memang lebih kental dengan era kepemimpinan istrinya, Ratu Kalinyamat. "Secara kultural memang seperti itu. Sebab, Ratu Kalinyamat memimpin Jepara lebih dari 30 tahun. Selain itu, juga karena berasal dari trah Raden Patah (pemimpin Kerajaan Demak)," kata Hadi.
Kegigihan Ratu Kalinyamat mengusir Portugis, termasuk dengan mengirim pasukan ke Malaka, juga menjadi kisah heroik yang diingat warga Jepara. Adapun penetapan hari jadi Jepara juga mengambil waktu saat Ratu Kalinyamat resmi menguasai Jepara. Itu tepatnya ketika ia menggantikan suaminya yang meninggal, yakni 10 April 1549.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F20200911WEN9_1599811211.jpg)
Pekerja memeriksa kualitas pengerjaan sebelum masuk proses penyelesaian pada salah satu pabrik mebel di Desa Troso, Kecamatan Batealit, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Jumat (11/9/2020). Sebagian besar produksi mebel di Jepara masih dikerjakan secara manual dengan bantuan beberapa teknologi yang menuntut model presisi.
Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jepara, Ida Lestari menuturkan, dalam rangkaian peringatan HUT Jepara, setiap tahun, selalu dilakukan prosesi "Buka Luwur" atau membuka dan mengganti kain penutup makam Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadlirin di kompleks Makam Mantingan. Itu merupakan penghormatan serta cara pemerintah daerah menjaga pusara leluhur.
Ia menambahkan, sejak lama, Kompleks Mantingan menjadi cagar budaya peringkat nasional sehingga pada zona inti, pemeliharaan langsung dari pusat. Sementara Pemkab Jepara hanya merawat dan menata yang ada di sekelilingnya.