Pulang 5 Tahun Sekali, Berlebaran di Bilik Karantina Pekerja Migran Batam
Sepanjang 2021, lebih dari 14.000 pekerja migran pulang lewat Batam. Kesediaan Batam membantu kepulangan mereka memberi angin segar di tengah badai stigmatisasi yang mengambinghitamkan mereka sebagai pembawa virus.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Shalat Idul Fitri baru saja usai saat sebuah mobil berwarna perak berhenti di gerbang Rumah Susun Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kepulauan Riau, Kamis (13/5/2021). Seorang perempuan muda berpakaian serba putih dan berkerudung berenda keluar dari mobil, menenteng bungkusan tiga kotak makanan.
Dari dalam rusun, Aini (46) yang berpakaian serba hitam, berjalan cepat menjemput si perempuan muda. Mata keduanya berkaca-kaca. Tak ada pelukan haru ataupun percakapan panjang. Perjumpaan hanya berlangsung beberapa menit sebelum petugas mengingatkan Aini untuk segera kembali masuk.
Aini adalah salah satu dari ribuan pekerja migran yang harus menjalani karantina lima hari di Batam setelah pulang dari Malaysia. Total ada tiga kompleks rusun yang dipakai pemerintah sebagai tempat karantina bagi lebih dari 14.000 pekerja migran yang pulang melalui Batam sepanjang 2021.
”Saya jadi buruh pabrik timber (kayu) di Negeri Sembilan (Malaysia) sejak 2006. Lima tahun sekali saya pulang ke Batam nengok anak saya yang baju putih tadi,” kata Aini.
Selama karantina, ia tinggal di lantai 2 Rusun BP Batam, menempati satu kamar dengan buruh migran lain, Yati (52). Di kamar dengan dua tempat tidur itu, mereka berbagi makanan hari raya yang sederhana, beberapa butir apel, dan sejumlah jenis kudapan serta minuman kaleng buatan Malaysia.
”Saking lamanya di Malaysia, saya sampai sudah lupa rupa uang Indonesia. Kemarin, di kapal mau beli Pop Mie harganya Rp 15.000, tetapi saya bingung bayarnya pakai uang pecahan yang mana,” ujar Aini menceritakan pengalamannya saat pulang menyeberang dengan kapal dari Johor Bahru ke Batam.
Sejak berangkat bekerja pada 2006, ia hanya pulang sekali dalam lima tahun. Yang terakhir, tahun 2017. Saat itu, ia membeli sebuah rumah di Kecamatan Sagulung, Batam, untuk anak perempuan semata wayangnya yang kini berusia 23 tahun.
”Kerja di Malaysia itu enak, duitnya banyak dan makanan serba murah. Orang Indonesia kalau tinggal di sana pasti tambah gemuk. Contohnya saya ini, ukuran celana dulu 27 sekarang jadi 32,” ucap perempuan dengan tato bunga berkelopak merah di pundak kiri itu.
Bekerja di sebuah pabrik kayu, gaji pokoknya 1.900 ringgit Malaysia (Rp 6,5 juta) per bulan dari tauke atau bos. Gaji itu masih ditambah upah lembur sebanyak 5 ringgit (Rp 17.000) per jam. Di sana, Aini bekerja dengan pekerja migran lain dari Myanmar, Bangladesh, dan Nepal.
Pulang
Meskipun Aini menikmati hidup berkecukupan di Malaysia, keluarga di Batam tetap menjadi rumah yang tak tergantikan. Lima belas tahun lamanya ia kehilangan waktu menemani anaknya bertumbuh. Soal uang bisa dicari kembali, tetapi waktu yang hilang tak akan bisa direngkuh lagi.
”Tadi pagi dia mewek di pojokan. Kangen anak sama suami katanya,” ucap Yati sambil tertawa menggoda Aini.
Untuk pulang kepada keluarga, Aini rela melakukan apa saja. Dulu, ia pernah dua kali pulang lewat jalur ilegal menumpang kapal gelap. Perjalanan seperti itu sangat berisiko karena bila disergap aparat, tekong atau pengemudi kapal biasanya akan menceburkan penumpang ke laut untuk kabur.
Kecelakaan perahu gelap pekerja migran yang paling parah di Batam terjadi pada November 2016. Saat itu, kapal pengangkut karam dihantam ombak tinggi. Sebanyak 54 orang tewas dan enam orang hilang.
”Dulu saya pernah pakai perahu gelap seperti itu dari Sei Rengit dan Ulu Tiram (Malaysia) yang biasanya berangkatnya malam. Tetapi sekarang tak mau lagi, itu antara hidup dan mati,” kata Aini.
Lebaran kali ini, ia memilih pulang lewat jalur resmi walaupun harus melewati proses yang lebih lama. Pekerja migran tanpa dokumen seperti dia harus membayar denda overstay sebesar 500 ringgit (Rp 1,7 juta) dan biaya tes PCR sebesar 330 ringgit (Rp 1,1 juta). Baru setelah itu mereka diizinkan pulang dengan feri dari Pelabuhan Stulang Laut, Johor Bahru, menuju Pelabuhan Batam Centre.
Pemerintah memprediksi jumlah pekerja migran Indonesia yang pulang ke Tanah Air pada periode Maret-Mei 2021 akan mencapai 49.682 orang. Pada 3 Mei, dalam keterangan pers yang disiarkan melalui akun Youtube Sekretariat Presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kepulangan ribuan pekerja migran itu memicu lonjakan kasus positif di lima provinsi.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo meminta pejabat pemerintah segera menghentikan pernyataan yang menimbulkan syak wasangka berlebih terhadap para pekerja migran. Ia khawatir stigmatisasi itu akan berkembang memunculkan kebijakan diskriminatif yang mengucilkan mobilitas para pendulang devisa itu.
Sebagai pekerja garda depan di sektor perawatan, pengasuhan, dan pelayanan, mereka menghadapi kerentanan terpapar Covid-19. Sebagai pendatang, pekerja migran kerap dikesampingkan dalam upaya pemulihan kesehatan publik di negara tujuan. Sebaliknya, sebagai pemudik atau perantau yang pulang ke kampung halaman, pekerja migran dikambinghitamkan sebagai pembawa virus.
”Pada masa pandemi, pekerja migran tanpa dokumen dalam kondisi terjepit. Mereka harus pulang karena sekarang sangat sulit mendapat pekerjaan harian atau mingguan di negara tujuan,” kata Wahyu saat dihubungi, Sabtu (15/5/2021).
Siang itu, di lantai 2 Rusun BP Batam, Aini dan Yati mengapresiasi para petugas dari Pemerintah Kota Batam yang melayani mereka dengan baik. ”Kamarnya cantik, makanannya pun sedap, dikasih ayam, telur, sayuran, dan buah-buahan. Terima kasih banyak lah pokoknya,” ujar Aini.
Selain Batam, ada dua daerah lain yang menjadi lokasi transit kepulangan pekerja migran, yakni Entikong (Kalimantan Barat) dan Nunukan (Kalimantan Utara). Adapun Tanjung Balai Asahan (Sumatera Utara) dan Dumai (Riau) tak lagi bersedia karena tak memiliki lokasi karantina yang memadai.
Aini dan Yati berharap agar daerah-daerah lain di perbatasan mencontoh Batam yang tetap menerima kepulangan buruh migran dengan tangan terbuka. ”Pemerintah harus bantu TKI lah. Kalau tidak, nanti mereka nekat pulang lewat jalur gelap, itu bahaya betul, taruhannya nyawa lho,” ucapnya.