Dari Lereng Merbabu hingga Takhta Suci Vatikan
Kendati pandemi Covid-19 mengekang ruang perjumpaan, naluri manusia selalu saja menemukan celah untuk meluapkan rasa. Dari lereng Gunung Merbabu, pesisir Pulau Ambon, hingga Takhta Suci Vatikan, ucapan Lebaran menggema.
Diiringi irama terompet dengan melodi lagu ”Shalawat Nabi”, beberapa anggota jemaat Gereja Protestan Maluku Rehoboth berjalan kaki menuju halaman Masjid Al-Istiqomah. Langkah mereka terhenti ketika berpapasan dengan jemaah masjid yang baru saja menunaikan shalat Idul Fitri 1442 Hijriah.
Dalam posisi berjarak, kedua pihak mengatupkan tangan di depan dada, memberi dan menerima ucapan Lebaran. Sontak melodi terompet diganti dengan lagu berjudul ”Gandong”. Lagu itu berisi pesan persaudaraan orang Maluku dalam sebutan budaya pela-gandong.
Gereja Rehoboth dan Masjid Al-Istiqomah yang berada di Kota Ambon, Maluku, itu berjarak tidak lebih dari 200 meter. Saling mengunjungi saat hari raya besar keagamaan merupakan tradisi tahun yang sempat terlewatkan tahun lalu akibat mengganasnya Covid-19. Kini, kala risiko penularan Covid-19 di Ambon mereda ke zona kuning atau tingkat penularan rendah, mereka boleh bersua dengan waktu terbatas.
”Kami hanya berjumpa beberapa menit kemudian pulang. Ada petugas Satgas (Satuan Tugas) Covid-19 dan anggota Polri yang memantau kami. Ini semacam adaptasi kebiasaan baru yang coba kami mulai,” kata Abraham Hidungoran, anggota Majelis Jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) Rehoboth.
Sementara di sudut lain Kota Ambon, majelis GPM Sinar Kasih Nania menunda perayaan Kenaikan Isa Almasih pada Kamis (13/5/2021) itu. Mereka menunggu setelah jemaah Masjid Nurul Hijrah selesai menggelar shalat Id. Kedua bangunan rumah ibadah itu terpisah jarak kurang dari 20 meter. Saat shalat berlangsung, jemaat Kristen menjaga keamanan.
Lereng merbabu
Selalu menjaga kerukunan antarumat beragama juga hidup di Salatiga, kota kecil di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Tahun 2020, kota itu meraih peringkat tertinggi dalam laporan indeks Kota Toleran oleh Setara Institute. Setiap menjelang hari raya Idul Fitri, misalnya, muncul sejumlah kegiatan untuk ikut ambil bagian mendukung ibadah warga Muslim yang menunaikan ibadah puasa.
Umat di Gereja Katolik Santo Paulus Miki adalah salah satu yang konsisten memberikan dukungan bagi warga sekitar yang berpuasa. Sejak 2015, mereka rutin menyediakan takjil gratis yang dibagikan di tepi jalan di depan gereja itu saat senja menjelang waktu berbuka puasa.
Seperti pada Selasa (27/4/2021), sekitar 20 pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Orang Muda Katolik (OMK), dengan cekatan mengusung sejumlah kardus berisi takjil yang dikemas dalam wadah plastik. Setelah berbaris di tepi jalan dengan saling menjaga jarak, mereka pun mengacungkan tangan berteriak menawarkan kepada pengguna jalan yang melintas.
Mereka juga membentangkan spanduk berwarna merah bertuliskan ”Takjil Gratis”. Tulisan dibuat huruf berwarna kuning berukuran besar dengan harapan menarik perhatian para pengguna jalan yang rata-rata melaju cepat. Dalam waktu sekitar 20 menit, sekitar 150 paket takjil ludes dibagikan kepada warga.
Kegiatan berbagi takjil berlangsung sepanjang bulan Ramadhan dan dikoordinasi oleh Relawan Poliklinik Marganingsih yang bernaung di bawah gereja itu. ”Setiap awal puasa, biasanya setiap anggota sukarelawan urunan sekitar Rp 50.000 per orang dan dikumpulkan untuk modal awal pembuatan takjil,” ujar koordinator sukarelawan Agustinus Pujo Irwantoro.
Mereka dibantu mahasiswa anggota OMK yang setia membantu setiap sore membagikan takjil di tepi jalan. Mereka rata-rata mahasiswa tingkat akhir yang tetap tinggal di Salatiga agar dapat berkonsultasi secara tatap muka dengan dosen pembimbing untuk menyelesaikan skripsi.
Selain membantu distribusi takjil, kegiatan itu juga digunakan untuk menambah pengalaman mereka dalam hidup bermasyarakat. ”Saya bisa sekalian menambah relasi melalui kegiatan ini,” kata Lydia Agatha (21), mahasiswi asal Kepulauan Bangka Belitung.
Kegiatan lintas iman saat Ramadhan juga dilakukan secara rutin oleh karyawan Hotel Grand Wahid Salatiga. Mereka yang menganut agama beragam itu secara bergotong royong membersihkan Masjid Pungkursari tak jauh dari hotel. Mereka juga membagikan sekitar 50 paket bahan pokok.
Predikat kota toleran layak disematkan bagi Salatiga, kota kecil berpenduduk 180.000 jiwa itu. Tingkat heterogenitas di sana salah satu yang tertinggi di Tanah Air. Sebelum marak didirikan forum kerukunan umat beragama di beberapa daerah, di Salatiga telah terbentuk Majelis Pimpinan Umat Agama Salatiga.
Keberadaan lembaga pendidik, seperti Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), pun tak bisa dilepaskan dari keberagaman di kota itu. UKSW didirikan sejumlah gereja dari beberapa kawasan di Indonesia sehingga banyak mahasiswa datang dari penjuru daerah.
Perguruan tinggi lain yang juga berpengaruh adalah Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Di sana, toleransi dan kebersamaan dijunjung tinggi. Mahasiswa di sana juga berasal dari beberapa daerah. Tak sedikit lulusan kampus di Salatiga yang kemudian menetap di sana.
Harmoni yang tersaji di Salatiga juga tampak pada posisi rumah ibadah yang berdekatan. Masjid Raya Darul Amal satu kompleks dengan Gereja Kristen Jawa Salatiga Utara dan Huria Kristen Batak Protestan. Masjid Kauman di Jalan KH Wahid Hasyim juga berlokasi tidak jauh dari Gereja Kristen Jawa.
Sementara di Jalan Jenderal Sudirman, Masjid Pandawa berhadapan dengan Gereja Kristen Indonesia. Adapun Gereja Katolik Santo Paulus Miki berdiri dekat dengan Masjid At-Taqwa Korem Salatiga.
Hamdan Lukman (43), anggota jemaah di Masjid Pandawa, mengatakan, sikap saling menghargai melanggengkan harmoni di sana. Contohnya, pengajian Minggu pagi di Masjid Pandawa yang dimulai pukul 06.00 sengaja dibuat selesai pukul 07.00. Hal itu dilakukan untuk menghormati umat di gereja yang menjalani kebaktian. Sesama pengurus tempat ibadat juga biasa saling meminjamkan lahan parkir ketika perayaan hari raya.
Wali Kota Salatiga Yuliyanto mengatakan, sinergi tinggi antarorganisasi masyarakat, tokoh agama, dan perguruan tinggi sangat menentukan terwujudnya toleransi di Kota Salatiga. Ia juga mengungkapkan, kiat membangun Kota Salatiga bukan semata-mata membangun sarana fisik, melainkan lebih terutama mewujudkan pembangunan manusia dari aspek kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Dari Salatiga, nilai-nilai toleransi mewujud dalam sebuah frase indah yang kerap kali sulit dilakukan, yakni saling memahami. Didorong kepemimpinan yang arif, kemauan setiap kelompok untuk saling memahami niscaya membawa kemaslahatan hingga akhirnya memperkokoh fondasi peradaban bangsa.
Takhta Suci
Tak hanya di Tanah Air, semangat kebersamaan dalam diri masyarakat Indonesia memang terus menyala di mana pun mereka berada. Sejumlah biarawan dan biarawati Katolik asal Indonesia di Roma, Italia, tak mau ketinggalan. Bersama Duta Besar Indonesia untuk Takhta Vatikan Amrih Jinangkung mereka menyanyikan lagu ”Lebaran Sebentar Lagi”. Video itu lalu tersebar hingga ke Tanah Air.
”Idenya spontan saja, dari ngobrol-ngobrol di Whatsappgrup. Latihannya hanya satu jam sebelumnya. Sehari sebelumnya sudah lihat dan pelajari sendiri lagunya di Youtube. Para romo dan suster memang biasa dan jago nyanyi, jadi mereka sudah terlatih,” kata Amrih.
Menurut dia, Lebaran merupakan momen yang luar biasa saat untuk berbagi kasih dengan sesama, saling memaafkan, menghapus benci dan dendam, mengeratkan silaturahmi dan persaudaraan. Lebaran juga menjadi momentum untuk saling menguatkan dan bersama bangkit di tengah pandemi Covid-19.
Semangat kebersamaan warga yang hidup di tengah kemajemukan terus tumbuh menguat. Memang, pandemi Covid-19 membatasi ruang, tetapi selalu saja ada cara untuk berbagi rasa.