Selain Siap Kontak Senjata, Aparat Juga Bujuk Anggota MIT Serahkan Diri
Kepolisian menegaskan terus mengejar dan menangkap kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur di Poso, Sulteng. Selain siap menghadapi kontak senjata, upaya membujuk kelompok itu menyerahkan diri tetap dilakukan.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Aparat gabungan TNI-Polri selalu menyiapkan diri menghadapi kontak senjata saat memburu teroris Mujahidin Indonesia Timur di Poso, Sulawesi Tengah. Namun, upaya membujuk anggota kelompok itu menyerahkan diri tetap dilakukan.
Kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) belum berhenti berulah. Pada Selasa MIT membunuh empat petani Desa Kalimago, Kecamatan Lore Timur, Poso. Keempat korban tewas di dua lokasi berbeda di kebun kopi di kawasan Lembah Napu itu.
Setelah kejadian itu aparat mengatakan langsung memburu anggota MIT, baik di sekitar lokasi kejadian maupun titik lain yang diduga sebagai titik pelintasan. Titik-titik itu mencakup wilayah hutan pegunungan Kabupaten Poso, Sigi, dan Kabupaten Parigi Moutong. Saat ini ada sembilan anggota MIT yang masih berkeliaran di sekitar Poso.
Kepala Bidang Humas Polda Sulteng Komisaris Besar Didik Supranoto saat dihubungi di Palu, Jumat (14/5/2021), mengatakan, sejauh ini pengejaran terhadap kelompok MIT terus dilakukan secara intensif. Pada awal Maret, misalnya, di Kabupaten Poso aparat gabungan terlibat baku tembak dengan anggota MIT.
Dua anggota MIT tewas dan seorang anggota TNI gugur dalam baku tembak tersebut. Dua hari kemudian kontak senjata kembali terjadi. Kala itu seorang anggota Polri gugur.
Akan tetapi, aparat juga aktif meminta anggota MIT menyerahkan diri. Langkah itu ditempuh dengan mendekati tokoh masyarakat dan tokoh agama. Aparat menjamin keselamatan anggota MIT yang menyerahkan diri.
”Intinya TNI-Polri sangat serius menyelesaikan masalah terorisme di Poso, terutama menangkap anggota MIT. Tim gabungan TNI-Polri masih bekerja di lapangan untuk menangkap mereka,” kata Didik.
MIT kelompok teroris yang didirikan Santoso pada 2012. Mereka muncul di kebun warga untuk meneror dan merampas barang milik warga. Santoso tewas pada pertengahan 2016 dalam baku tembak dengan anggota Satuan Tugas Operasi Tinombala.
Operasi Tinombala digelar untuk mengejar anggota MIT sejak 2016. Sementara Tinombala merujuk pada gunung dengan nama sama di Parigi Moutong. Sejak awal 2021, operasi berubah nama menjadi Madago Raya. ”Madago”, menurut bahasa Pamona, bahasa salah satu suku di Poso, berarti ’hati baik’.
Setidaknya sejak 2014, 20 warga sipil menjadi korban anggota MIT yang kini dipimpin Ali Kolora. Pada akhir November 2020 empat warga Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, dibunuh oleh anggota MIT.
Didik mengutarakan, saat ini jumlah personel TNI-Polri yang tergabung dalam Operasi Madago Raya, operasi pengejaran terhadap anggota MIT, 800 orang. Anggota TNI berjumlah 200 orang, termasuk sejumlah pasukan gabungan khusus yang didatangkan pada akhir November. Kala itu terjadi pembunuhan terhadap empat petani di Desa Lembantongoa.
Pasukan itu terbagi dalam tiga kelompok. Tim pertama bertugas mengejar anggota MIT di hutan. Kedua ialah tim sekat di sekitar desa atau kampung yang berbatasan dengan hutan daerah gerilya kelompok MIT. Dan, tim ketiga bertugas dalam edukasi dan pencegahan di masyarakat.
Sementara itu, dalam pernyataan bersama yang diterima Kompas, sejumlah organisasi mahasiswa di Sulteng mendesak Polri-TNI segera mengejar dan menangkap pelaku pembunuhan para petani di Kalimago. Di sana disebutkan pemerintah juga perlu mengevaluasi kinerja pimpinan Polri dan TNI terkait dengan kejadian di Kalimago. Mereka juga meminta Polri-TNI menjamin keamanan dan keselamatan warga di sekitar daerah operasi.
Organisasi mahasiswa di Sulteng tersebut ialah Himpunan Mahasiswa Islam, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia,dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Selain itu, ada juga Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia, Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia, dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Ketua Komisariat Daerah Pemuda Katolik Sulteng Agust Salut menyatakan, pemerintah bersama aparat terkesan menyelesaikan masalah terorisme di Poso seperti memadamkan api. ”Setelah ada kejadian (pembunuhan terhadap warga), aparat baru kasak-kusuk untuk mengejar mereka. Seharusnya pasukan dikerahkan untuk memburu mereka secara masif di dalam hutan,” katanya.