Panjatkan Doa agar Bumi Bebas Pandemi
Sejumlah jemaah melaksanakan iktikaf atau berdiam diri di dalam masjid pada 10 malam terakhir Ramadhan. Kali ini, mereka tidak hanya berdoa untuk keselamatan diri, tetapi juga berharap bebas dari pandemi.
Suasana dingin dan hening menyelimuti ruang shalat utama Masjid Raya Bandung, Minggu (9/5/2021) dini hari. Di dalamnya, sejumlah anggota jemaah melaksanakan iktikaf, bermunajat sembari berdoa demi kebaikan diri hingga berharap Covid-19 segera enyah dari bumi.
Masjid seluas 8.575 meter persegi ini pun terasa sunyi karena diisi tidak sampai 50 orang. Padahal, sebelum pandemi, masjid berkapasitas 14.000-an orang ini selalu ramai oleh ratusan anggota jemaah untuk beribadah semalam suntuk yang disebut iktikaf. Biasanya ibadah ini dilakukan di 10 malam terakhir bulan Ramadhan.
Adi (58), warga Astanaanyar, Kota Bandung, khusyuk mendengar lantunan ayat Al Quran dari ponsel pintarnya. Sesekali dia membaca lirih dari kitab suci yang ada di tangannya, mengikuti ayat yang terdengar.
Suara yang keluar dari ponselnya terdengar pelan sehingga tidak mengganggu jemaah lain yang turut beribadah. Di sudut lain ruangan shalat, sejumlah jemaah juga melakukan berbagai ritual ibadah. Sebagian ada yang shalat, membaca Al Quran, berzikir, atau sekadar berbaring.
Adi dan sejumlah jemaah masjid terbesar di Kota Bandung ini beriktikaf untuk mendapatkan pahala di Malam Lailatur Qadar. Umat Islam percaya, satu malam yang disebut lebih mulia dari seribu bulan ini terselip di 10 malam terakhir di bulan Ramadan.
Umat Islam percaya, doa yang disampaikan di malam mulia ini akan dikabulkan oleh Allah. Karena itu, sebagian umat Islam memilih untuk beriktikaf. Malam inilah yang dicari Adi beserta puluhan Jemaah yang rela bermunajat semalam suntuk hingga waktu sahur datang.
”Kemarin dari hitungan para ustaz, kemungkinan besar malam Lailatul Qadar ada di malam ke-27, malam ini. Karena itu, saya sejak tengah malam sudah bersiap di sini,” tuturnya sambil setengah berbisik.
Adi menyadari, pandemi Covid-19 kali ini menghilangkan suasana semarak ”berburu” Malam Lailatul Qadar. Bahkan, iktikaf di malam ke-27 yang biasanya dipandu oleh seorang imam saat ini menjadi ibadah masing-masing di setiap sudut masjid.
”Biasanya ada yang menjadi imam untuk memandu kami berdoa di malam ke-27. Mungkin karena sekarang masih pandemi sehingga kami hanya beribadah masing-masing,” ujarnya.
Kesunyian malam ini tidak mengurangi tekad Adi untuk beriktikaf. Selain keinginan pribadi yang lebih baik, Adi menyimpan harap dan doa agar pandemi Covid-19 segera pergi karena telah merenggut nyawa salah satu sahabatnya.
”Salah satu teman saya ada yang meninggal, beberapa juga ada yang sempat terkena. Alhamdulillah, anak dan istri sehat, belum ada yang terpapar. Kami hanya bisa berusaha tidak terpapar dengan menerapkan protokol kesehatan,” ujarnya.
Protokol kesehatan
Muhammad Yahya Ajlani (48), pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Raya Bandung, merasa pandemi Covid-19 memberikan nuansa ibadah di bulan Ramadhan yang berbeda. Bahkan, dari awal dia aktif berkegiatan pada 1994, dua tahun terakhir menjadi Ramadhan terberat baginya.
”Di tahun 2020 kemarin, masjid tidak dibuka untuk umum. Setiap Tarawih, kami hanya berjemaah tidak sampai 20 pengurus. Iktikaf pun tidak dibuka karena mengikuti aturan pemerintah,” ujarnya.
Ramadhan tahun lalu bertepatan dengan penerapan pembatasan sosial berskala besar di Kota Bandung. Seluruh tempat ibadah, terutama di pusat kota, tidak mengadakan ibadah berjemaah demi memutus persebaran Covid-19 yang mulai masuk ke Kota Bandung pada Maret 2020.
Setahun kemudian, pemerintah akhirnya memberikan izin untuk beribadah pada Ramadhan 2021. Meski telah dibuka, Yahya berujar, keramaian kali ini tidak sebanding dengan sebelum pandemi.
”Sekarang setiap shalat Tarawih hanya ada 200-300 jemaah. Padahal, sebelum pandemi jauh lebih banyak lagi yang berjemaah,” kata Yahya.
Meski berat karena tidak diramaikan jemaah, di sisi lain Yahya melihat hal ini menandakan warga menerapkan protokol kesehatan. Bahkan, sebagian besar jemaah yang hendak beribadah juga mematuhi aturan jarak hingga 1,5 meter.
Selain itu, iktikaf di malam ke-27 Ramadhan kali ini pun tidak memiliki kegiatan khusus yang mengundang rombongan pengajian. Sebelum pandemi, para undangan yang berasal dari berbagai daerah di Jabar mampu meramaikan masjid hingga 1.000 orang.
Lanjut usia
Ketua Bidang Idarah (Manajemen) Masjid Raya Bandung Uwoh Saeplloh menambahkan, para jemaah pengajian memang sengaja tidak diundang demi menerapkan protokol kesehatan. Apalagi, biasanya lebih dari 50 persen jemaah yang diundang berusia lanjut.
”Biasanya jemaah yang datang itu lanjut usia. Mereka rentan terpapar. Karena itu, kami sengaja tidak mengundang sama sekali. Yang datang kali ini juga sendiri-sendiri, siapa yang mau saja. Namun, kami tetap meminta mereka untuk memberi jarak dan mengukur suhu di alat yang telah kami sediakan,” ujarnya.
Untuk mengukur suhu pengunjung, Masjid Raya Bandung menyediakan enam pengukur suhu elektrik yang tersebar di setiap pintu masuk. Selain itu, ada petugas yang memastikan jemaah yang memeriksa dengan alat pengukur suhu tubuh.
Ketua DKM Masjid Raya Bandung Muchtar Gandaatmaja berharap masyarakat memaklumi pembatasan kegiatan dalam suasana Ramadhan tahun ini. Hal ini dilakukan agar masjid tidak menjadi kluster penularan yang bisa berdampak pada penutupan sementara.
Kekhawatiran ini muncul karena jumlah kasus positif Covid-19 di Kota Bandung sangat tinggi. Selain itu, jemaah yang ikut dalam kegiatan di masjid ini berasal dari berbagai daerah sehingga berpotensi mempercepat persebaran ke daerah-daerah lainnya.
Berdasarkan data yang dihimpun Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jabar (Pikobar), hingga Senin (10/5/2021) pukul 17.00, konfirmasi positif Covid-19 di Kota Bandung mencapai 18.474 kasus. Kota ini menjadi daerah dengan jumlah positif terbanyak keempat setelah Kota depok (47.861 kasus), Kota Bekasi (39.854 kasus), Kabupaten Bekasi (25.600 kasus), dan Kabupaten Karawang (18.842 kasus).
”Pemerintah tidak ingin masyarakat celaka. Karena itu, pembatasan masih dilakukan. India bisa menjadi pedoman, bagaimana kegiatan ibadah yang besar bisa berdampak pada persebaran Covid-19 yang menyebabkan korban jiwa,” ujarnya.
Menurut Muchtar, kalau ibadah berjemaah memiliki banyak kerugiannya bagi umat, lebih baik dihindari. Karena itu, jika ibadah berjamaah berpotensi menyebarkan penyakit, dia meminta warga untuk menahan diri.
”Jika lebih banyak mudarat daripada manfaat, lebih baik beribadah dengan menjaga jarak. Jangan sampai kita terlalu fokus beribadah, tetapi sesama manusia dirugikan penularan wabah terjadi begitu cepat saat beribadah,” ujarnya.
Panjatkan doa
Doa untuk menghilangkan pandemi pun selalu dikumandangkan. Menurut Muchtar, selain berharap doa dikabulkan, hal ini bisa menyadarkan masyarakat tentang keberadaan Covid-19 di sekitar kita.
”Setiap selesai shalat berjemaah, imam selalu mengumandangkan doa menolak bala. Semoga saja doa ini didengar dan pandemi segera pergi sehingga semua bisa normal kembali,” ujarnya.
Tidak hanya Masjid Raya Bandung, Masjid Assalaam yang berjarak 650 meter dari Masjid Raya Bandung juga mengumandangkan doa yang sama. Deden Syamsul Romly (44), Pengurus Harian DKM Masjid Assalaam, menyatakan, zikir dan doa di masjid ini dipandu oleh Imam dari tengah malam hingga menjelang sahur sekitar pukul 03.00.
Ruangan shalat utama dengan kapasitas 200-an orang hanya diisi kurang dari 100 orang. Barisan laki-laki pun tidak terisi sepenuhnya. ”Kalau di sebelum pandemi, yang iktikaf di sini bisa ratusan orang. Namun, sekarang mau tidak mau dibatasi,” ujarnya.
Meski dibatasi, hal ini tidak memengaruhi keinginan mereka untuk tetap mengejar Malam Lailatul Qadar. Sekitar pukul 1.00 dini hari, Deden pun mulai berdoa bersama para jemaah dipimpin oleh imam. Hingga menjelang pagi, mereka selalu melantunkan doa untuk keselamatan semua agar terbebas dari pandemi.