Cahaya ”Tuntul” Sambut Lailatul Qadar di Kotamobagu
Syahdan datanglah Lailatul Qadar pada malam ke-27 Ramadhan, malam ketika Al Quran difitrahkan ke Bumi. Maka, umat Islam di Kotamobagu, Sulawesi Utara, menyalakan pelita ”tuntul” di muka rumah untuk memuliakan malam itu.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Warga menyalakan pelita tuntul di depan rumah di Desa Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara, Minggu (9/5/2021) malam. Tradisi yang disebut monuntul itu dilaksanakan pada malam ke-27 Ramadhan yang dipercaya sebagai malam kemuliaan Lailatul Qadar.
Syamsu terbenam, azan Maghrib berdahanam. Tunailah 27 hari puasa pada bulan suci. Syahdan datanglah Lailatul Qadar, malam ketika Al Quran difitrahkan ke Bumi. Maka, umat Islam di Kotamobagu, Sulawesi Utara, menyalakan pelita di muka rumah untuk memuliakan malam itu, malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Sebelum temaram menjadi malam, Minggu (9/5/2021), kanan dan kiri sepanjang jalan Desa Kopandakan I, Kotamobagu Selatan, telah benderang oleh cahaya tuntul, lampu lilin dari botol kaca bekas. Hajima Damo (49) termasuk kalangan warga pertama yang menyalakan sumbu tuntul-nya.
Enam lampu botol itu ia taruh dalam rongga-rongga pada dua bilah bambu yang diletakkan mengapit gerbang pekarangan rumahnya. Botol-botol bekas minuman energi itu berisi 150 mililiter minyak tanah, cukup untuk mempertahankan nyala api hingga fajar.
Sebagai Muslimah beretnis Mongondow, Hajima tak pernah absen dari tradisi monuntul yang artinya memasang lampu. Tuntul dinyalakan bakda Maghrib jelang malam ke-27 Ramadhan sampai takbir Idul Fitri berkumandang pada malam ke-30.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Hajima Damo (49) menyalakan tuntul di depan rumahnya di Desa Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara, Minggu (9/5/2021) malam. Tradisi yang disebut monuntul itu dilaksanakan pada malam ke-27 Ramadhan yang dipercaya sebagai malam kemuliaan Lailatul Qadar.
Sebagian orang mendaraskan lima ayat Surat Al Qadr sebelum membakar sumbu tuntul dengan korek api. Sebagian lainnya mengucap doa dalam bahasa Mongondow, Melayu Manado, atau Indonesia. ”Saya berharap Ramadhan tahun ini penuh berkah dan tahun depan bisa merasakan Ramadhan lagi,” kata Hajima.
Jepri Kobandaha (49), juga warga Kopandakan I, menyalakan sembilan lampu yang diletakkan pada tiga bilah bambu di depan rumah dan toko miliknya. ”Kebetulan halaman saya luas, jadi bisa pasang sembilan, bisa juga 12. Kami berharap turunnya berkah ke rumah kami,” ujarnya.
Menurut Jepri, tak ada aturan soal berapa misbah yang mesti dinyalakan saat monuntul. Ia mengikuti imbauan sangadi (kepala desa) untuk memasang lebih dari tiga lampu. ”Kalau di wilayah pantai utara Bolaang Mongondow Raya, lampu yang dipasang biasanya sesuai jumlah penghuni rumah,” katanya.
Kendati begitu, Ali Mamonto (51) yang tinggal di bilangan Poyowa Besar, Kotamobagu Selatan, membeli empat tuntul sesuai jumlah anggota keluarga di rumahnya. Monuntul, kata Ali, sebenarnya hanya tradisi Mongondow dan tidak diwajibkan dalam Islam. Sopir taksi itu mengaku hanya ikut memasang lampu sebagai kebiasaan keluarga setiap tahun.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Warga menyalakan pelita tuntul di depan rumah di Desa Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara, Minggu (9/5/2021) malam. Tradisi yang disebut monuntul itu dilaksanakan pada malam ke-27 Ramadhan yang dipercaya sebagai malam kemuliaan Lailatul Qadar.
Malam itu, pendar puluhan ribu pelita di depan rumah warga menerangi hampir seluruh ruas jalan hingga lorong-lorong permukiman di Kotamobagu. Kelap-kelip lampu hias yang melilit tiang-tiang bambu di kanan dan kiri jalan menambah syahdu suasana kota yang sebagian masih gulita karena kekurangan lampu penerangan jalan umum.
Tuntul seolah menerangi jalan bagi laki-laki bersarung dan perempuan bermukena yang berlarian ke masjid terdekat untuk Tarawih. Sumitro Tegela (37), pegiat sejarah dan kebudayaan Bolaang Mongondow Raya, pun berhipotesis, monuntul bermakna menerangi jalan menuju masjid.
”Boleh jadi, para penyiar dan dai yang menyebarkan Islam di Bolaang Mongondow pada abad ke-18-19 meminta umat lebih intensif beribadah pada malam-malam terakhir Ramadhan. Apalagi, ada satu malam yang disebut lebih baik dari seribu bulan, yaitu Lailatul Qadar ketika Al Quran diturunkan,” kata Sumitro.
Budaya sejenis monuntul juga ada di Gorontalo dengan nama tumbilotohe dan di Riau dengan sebutan lampu colok. Secara historis, berbagai sumber mencatat pedagang dan ulama dari Gorontalo telah masuk ke wilayah kerajaan Bolaang Mongondow pada 1830-an dan menyebarkan Islam di daerah yang kini menjadi Kelurahan Motoboi Kecil, Molinow, dan Kotabangon di Kotamobagu.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Jepri Kobandaha (49) menyalakan tuntul di depan rumahnya di Desa Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara, Minggu (9/5/2021) malam. Tradisi yang disebut monuntul itu dilaksanakan pada malam ke-27 Ramadhan yang dipercaya sebagai malam kemuliaan Lailatul Qadar.
Walakin, budayawan Bolaang Mongondow, Chairun Mokoginta (67), berpendapat lain. Monuntul ia sebut berawal dari tradisi leluhur Mongondow. Sebelum menempati rumah baru, seorang perwakilan keluarga akan tidur di rumah itu untuk menjaga nyala sebuah tuntul. Saat itu, tuntul dibuat dari sejenis janur yang disebut daun woka serta getah damar.
”Kalau tuntul itu padam sebelum pagi hari, itu pertanda buruk. Penempatan rumah harus ditunda dan tanggalnya diganti,” katanya.
Seiring perkembangan Islam di Bolaang Mongondow, tradisi yang sejatinya animistik itu berakulturasi dengan ajaran Islam tentang Lailatul Qadar. Chairun mengatakan, hal ini menunjukkan tamadun Mongondow dan keislaman bisa berkoeksistensi dalam identitas warganya selama Allah tidak diduakan.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Suci Inayah Tegela (14) menyalakan tuntul di depan rumahnya di Desa Kopandakan I, Kotamobagu, Sulawesi Utara, Minggu (9/5/2021) malam. Tradisi yang disebut monuntul itu dilaksanakan pada malam ke-27 Ramadhan yang dipercaya sebagai malam kemuliaan Lailatul Qadar.
Sepi
Sekitar 87 persen dari 123.653 penduduk Kotamobagu beragama Islam menurut data Badan Pusat Statistik. Monuntul pun jadi perkara yang tak bisa dianggap sepele di kota kecil hasil pemekaran Kabupaten Bolaang Mongondow itu. Setiap tahun pada malam ke-27 Ramadhan, tak ada lapangan desa dan kelurahan yang tak menjadi hamparan cahaya.
Saat itulah daya cipta komunitas tiap desa diperas, misalnya menyusun tuntul menjadi lafaz Allah jika dilihat dari udara. Lampu-lampu LED (light-emitting diode) kabel pun dipasang pada kerangka tegak membentuk masjid dua dimensi. Tak ketinggalan lampu sorot sekelas konser turut dilibatkan demi kemeriahan tiga malam terakhir sebelum takbiran.
Monuntul pun dikompetisikan antardesa oleh Pemkot Kotamobagu. Namun, untuk kedua kalinya sejak 2020, Covid-19 membuyarkan ingar-bingar dan keceriaan monuntul. Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Pemkot Kotamobagu Hamdan Mokoagow mengatakan, monuntul di lapangan desa ditiadakan agar tidak menarik perhatian masyarakat untuk berkerumun.
Bukan berarti tradisi pasang lampu itu hilang. Namun, celah sembilan dari sepuluh pintu rezeki seolah menyempit bagi para pedagang musiman botol tuntul dan minyak tanah. Fajri Lapusu (28), yang berdagang di kawasan niaga di Jalan Adampe Dolot, baru berhasil menjual 400 botol sepekan terakhir. Padahal, ia punya target 1.000 botol.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Botol-botol bekas yang dimodifikasi menjadi pelita dijual di Kotamobagu, Sulawesi Utara, Minggu (9/5/2021). Pelita yang disebut tuntul itu akan dinyalakan selama malam ke-27 hingga ke-29 Ramadhan dalam tradisi yang dinamakan monuntul.
Satu botol dihargai Rp 2.000 dengan keuntungan Rp 500. Artinya, keuntungan bersih yang ia dapat kemungkinan baru Rp 200.000. Nilai itu bisa kurang karena pembeli biasanya menawar harga menjadi Rp 5.000 tiap tiga botol.
”Ini bahkan jauh lebih sepi daripada tahun lalu. Jadi kami ambil untung paling banyak dari minyak tanah. Modalnya Rp 18.000 per liter, kami jual Rp 25.000,” kata Fajri.
Pembeli memang datang silih berganti ke lapak pedagang lainnya, Supardi Makalalag (36), yang sudah berjualan tuntul tujuh tahun terakhir. Namun, hasil yang ia dapat sangat jauh dari harapan. Sejak mulai melapak pada Sabtu (8/5/2021), ia baru menjual 200-an botol kaca bekas.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Seorang pedagang menunggu pembeli botol-botol bekas yang dijadikan pelita bernama tuntul di Mogolaing, Kotamobagu, Sulawesi Utara, Minggu (9/5/2021). Penjualan tuntul menurun drastis karena tidak ada kompetisi tradisi monuntul antarkampung akibat Covid-19.
”Sebelum ada Covid-19, satu pedagang harus sedia minimal 10.000 botol. Itu pun biasanya sudah habis dua atau tiga hari sebelum malam ke-27 Ramadhan karena banyak yang borong untuk monuntul di lapangan kampung. Jadi kami tinggal jual minyak tanah saja biasanya,” kata Supardi.
Walakin, ia yakin monuntul akan tetap ada. Rezeki pun akan menyusul. ”Banyak yang sudah pakai lampu listrik. Tetapi, ini tradisi kami sejak kecil sebagai orang Mongondow. Pasti tidak akan ditinggalkan,” kata Supardi yang terus merindukan kembalinya hamparan cahaya tuntulpada malam khidmat Ramadhan di Kotamobagu.