Surabaya Menolak Kekerasan melalui Tuhan yang Berhati Ibu
Peringatan tiga tahun teror bom Surabaya, 13 Mei 2021, bukan untuk membangunkan trauma, melainkan menumbuhkan kepedulian kemanusiaan untuk menolak terorisme atau nafsu kebencian, permusuhan, dan pembunuhan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
Tanggal 13 Mei 2021 menghadirkan makna amat besar bagi umat Islam dan Kristen, termasuk di Surabaya, Jawa Timur. Umat Islam merayakan Idul Fitri. Umat Kristen merayakan Kenaikan Isa Almasih (Yesus). Mei juga istimewa bagi umat Kristen, terutama Katolik, sebagai Bulan Maria yang dipenuhi devosi kepada Ibu Yesus tersebut.
Di sisi lain, 13 Mei 2018 bagi warga Surabaya, terutama umat Kristen, menjadi hari yang kelam, suram, horor, dan teror. Minggu itu, satu keluarga menebar horor dengan teror bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya.
Teror mengoyak harmoni kehidupan sekaligus merobek nurani kemanusiaan. Teror juga membuktikan bahwa agama yang mutlak mengedepankan kemanusiaan atau cinta kasih dibajak oleh terorisme untuk kekejian dan kebiadaban.
Tiga tahun telah berselang. Luka dan trauma akibat teror tentu masih ada, terutama bagi keluarga korban yang kehilangan anak, cucu, ayah, ibu, dan kerabat. Namun, warga yang membentuk Forum Rumah Bersama Surabaya meyakini bahwa teror bom tak pernah sanggup menakuti mereka.
Horor malah membangkitkan keberanian Arek Suroboyo untuk tetap bersatu dalam keragaman Bhinneka Tunggal Ika untuk keindonesiaan dan kemanusiaan.
Forum yang terdiri dari 31 organisasi masyarakat itu mencoba mengenang peristiwa tiga tahun lalu dengan mendatangi tiga gereja korban teror bom. Tragedi kemanusiaan itu tidak boleh dilupakan. Segala upaya harus ditempuh agar teror bom tidak terjadi lagi.
Perempuan menjadi garda depan seruan dengan mencoba menarik tema ”Menolak Kekerasan melalui Tuhan yang Berhati Ibu”. Mereka ingin bumi yang dipijak menjadi tempat seindah surga di mana kemanusiaan dan kecintaan abadi.
”Kami mengajak semua umat beragama (berkeyakinan) menolak kekerasan dalam berbagai bentuk,” ujar Dewi Munarti, anggota rombongan Forum Rumah Bersama Surabaya saat kunjungan ke Gereja Kristen Indonesia, Jalan Diponegoro, Surabaya, Senin (10/5/2021). Rombongan memberi bunga kepada dua penyintas teror bom dan mengumandangkan sikap penolakan terhadap kekerasan.
Dari tempat ibadah itu, rombongan menuju Gereja Pantekosta Pusat Surabaya di Jalan Arjuno. Forum mengadakan acara yang sama. Selanjutnya, rombongan ke Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel untuk kembali mengadakan acara yang sama.
Mereka tidak ingin Tuhan diseret dalam pusaran tindakan manusia yang keji dan biadab dalam terorisme. Tuhan yang disembah agama-agama bukan untuk jalan kebencian, permusuhan, dan pembunuhan, melainkan berhati ibu yang penuh cinta kepada anak-anak-Nya yakni manusia.
Dalam pandangan saya ada pesan bahwa korban tidak sendirian, You’ll Never Walk Alone, kalian tidak menanggung kesedihan itu sendirian. Kami tidak akan meninggalkan kalian.
Di gereja-gereja yang terkoyak oleh teror bom tiga tahun lalu itu, forum menyatakan: Pertama, menegaskan bahwa Indonesia adalah rumah bersama dengan spirit Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia dibangun dalam semangat kesetaraan yang mendambakan kehidupan damai sebagai masyarakat rukun, adil, dan makmur.
Memori kelam
Peristiwa teror bom Surabaya yang terjadi pada 13 Mei 2018 perlu diingat sebagai memori kelam sekaligus menjadi titik balik bangkitnya gerakan kerukunan yang berpihak kepada kemanusiaan. Karena itu, kami bersatu padu melawan kekerasan, kebencian, dan teror dengan kedok apa pun, termasuk yang berkedok agama.
Kedua, meyakini bahwa agama adalah untuk kesejahteraan umat manusia agar manusia berdamai dengan Tuhan, sesama, dan semua ciptaan sehingga terjadi harmoni di bumi seperti di dalam surga. Oleh sebab itu, semangat saling merangkul dan menjaga perlu terus dipupuk dan diupayakan.
Ketiga, menyerukan kepada seluruh Arek Suroboyo, saudara-saudara sebangsa dan se-Tanah Air untuk kembali mengikat dan mempererat tali persaudaraan sebagai sesama manusia, sebagai anak-anak bangsa yang lahir dari negeri yang subur karena darah juang para pahlawan di bumi pertiwi.
Kembali menegakkan Pancasila yang menapasi hidup Indonesia menjadi bangsa yang berketuhanan, berperikemanusiaan, bersatu padu, demokratis, dan berkeadilan. Menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan menjaga bersama tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
”Dalam pandangan saya ada pesan bahwa korban tidak sendirian, You’ll Never Walk Alone, kalian tidak menanggung kesedihan itu sendirian. Kami tidak akan meninggalkan kalian,” ujar Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Moderate Muslim Institute Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, dan salah satu inisiator Forum Rumah Bersama Surabaya.
Menurut Ahmad, forum juga ingin menegaskan bahwa banyak kelompok yang tetap peduli terhadap kehidupan harmoni di Surabaya. Forum beranggotakan 31 organisasi masyarakat lintas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) ini untuk memastikan bahwa keberagaman menjadi nyawa rumah bersama yang bernama Surabaya. Di dalamnya harus terus dipelihara keharmonisan dan keindahan yang beragam dalam kemanusiaan.
Yuska Harimurti dari Jaringan Gusdurian Jatim menambahkan, kelahiran forum ini digagas oleh para perempuan, terutama dari Fatayat Nahdlatul Ulama. Forum akan aktif mendorong perempuan untuk berkonsolidasi dan terus memperjuangkan keharmonisan kehidupan. Perempuan perlu tetap berjuang melawan terorisme dan tegas menolak terlibat dalam berbagai kekerasan.