Bupati Nganjuk Terima Setoran Jual Beli Jabatan Bervariasi, Mulai dari Rp 2 Juta sampai Rp 50 Juta
Mulai dari Rp 2 juta hingga Rp 50 juta diduga diterima Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat sebagai setoran untuk lelang jabatan. Setoran itu diterima dari kepala desa hingga camat.
JAKARTA, KOMPAS — Bupati Nganjuk, Jawa Timur, Novi Rahman Hidayat diduga menerima uang setoran Rp 2 juta sampai Rp 50 juta dari kepala desa hingga camat terkait jual beli jabatan di Kabupaten Nganjuk. Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri akan mendalami aliran uang tersebut, termasuk kemungkinan ke pihak lain, termasuk partai politik.
Dalam kasus tersebut, penyidik telah menetapkan tujuh tersangka. Mereka adalah Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat, Camat Pace Dupriono, Camat Tanjunganom, Pelaksana Tugas Camat Sukomoro Edie Srijato, Camat Berbek Haryanto, dan Camat Loceret Bambang Subagio. Dua tersangka lain adalah mantan Camat Sukomoro Tri Basuki Widodo dan ajudan Bupati Nganjuk, M Izza Muhtadin.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, dalam jumpa pers, Selasa (11/5/2021), mengatakan, uang yang disetorkan kepada tersangka NRH bervariasi.
”Untuk setorannya bervariasi, ya. Sebab, ada juga dari desa yang dia kumpulkan, dari kepala desa ada yang (setor) Rp 2 juta. Juga ada nanti dikumpulkan naik ke atas, desa ke kecamatan. Ada juga yang Rp 15 juta juga ada, Rp 50 juta juga ada. Jadi, Rp 2 juta sampai Rp 50 juta,” kata Argo.
Menurut Argo, penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri masih akan mendalami perkara tersebut, semisal jangka waktu praktik jual beli jabatan tersebut berlangsung dan jumlah setoran yang telah diperoleh. Selain itu, penyidik juga akan mendalami penggunaan uang setoran tersebut, termasuk jika ada dugaan mengalir ke pihak lain.
Terkait dengan dugaan aliran dana ke partai politik, lanjut Argo, hingga saat ini masih belum mendapatkan keterangan tersebut. Namun, Argo memastikan penyidik akan mendalami aliran dana tersebut, termasuk kepemilikan buku tabungan yang disita penyidik sebagai barang bukti.
Dari operasi tangkap tangan, penyidik menyita uang tunai Rp 647.900.000 dari brankas pribadi Novi, 8 telepon genggam, dan beberapa buku tabungan, termasuk buku tabungan Bank Jatim atas nama Tri Basuki Widodo. Selain itu, penyidik juga menyita dokumen terkait pengisian jabatan di lingkungan Pemkab Nganjuk. Sementara itu, total 18 orang telah diperiksa sebagai saksi.
”Misalnya, apakah ada yang nyuruh, apakah nanti uang dikumpulkan untuk apa, dan sebagainya. Itu masih akan berkembang dan akan kami sampaikan kembali,” kata Argo.
Dari operasi tangkap tangan, penyidik menyita uang tunai Rp 647.900.000 dari brankas pribadi Novi, 8 telepon genggam, dan beberapa buku tabungan, termasuk buku tabungan Bank Jatim atas nama Tri Basuki Widodo. Selain itu, penyidik juga menyita dokumen terkait pengisian jabatan di lingkungan Pemkab Nganjuk. Sementara itu, total 18 orang telah diperiksa sebagai saksi.
Kerja sama Bareskrim dan KPK
Argo mengatakan, operasi tangkap tangan tersebut berawal dari laporan yang masuk, baik ke KPK maupun kepolisian, terkait dugaan jual beli jabatan di Pemerintah Kabupaten Nganjuk. Kemudian, kepolisian dan KPK melakukan koordinasi, seperti pengumpulan data dan pengolahan data. Sementara itu, penyadapan dilakukan oleh KPK. Adapun koordinasi antara kedua lembaga dilakukan empat kali.
Setelah dianalisis bersama, penyidik Bareskrim dan KPK kemudian bersama-sama melakukan penyelidikan di Nganjuk. Namun, penyidik tidak langsung menangkap sang Bupati, melainkan bawahannya.
”Awalnya, kami melakukan penangkapan terhadap beberapa camat. Kemudian menangkap ajudan bupati. Dari hasil penangkapan itu, setelah kami mendapatkan data, kami melakukan penangkapan terhadap Bupati Nganjuk. Jadi, penangkapan dari bawah dulu, informasi di bawah, kemudian meningkat ke atas ke Bupati Nganjuk,” kata Argo.
Kemudian, mereka yang telah diamankan penyidik dibawa ke Polres Nganjuk untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Setelah mendapatkan keterangan dari 18 saksi, penyidik dari KPK dan Bareskrim berkesimpulan bahwa kasus tersebut dinaikkan ke tahap penyidikan.
Untuk pendalaman lebih lanjut, para tersangka dibawa ke Jakarta melalui jalan darat kemarin (Senin, 10/5/2021) dan tiba di Jakarta pada Selasa (11/5/2021) dini hari. Saat ini para tersangka ditahan di rumah tahanan Bareskrim Polri.
”Koordinasi yang muncul di antara KPK dan kepolisian ini saya rasa adalah suatu sinergitas koordinasi yang baru pertama ini yang kami sama-sama KPK dan kepolisian dalam suatu penangkapan terhadap kepala daerah,” ujar Argo.
Perbuatan buruk
Dihubungi secara terpisah, Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri Tumpak Haposan Simanjuntak menyampaikan, pengisian camat dan sekretaris desa mengikuti prosedur perundang-undangan terkait aparatur sipil negara (ASN). Sementara itu, terkait perangkat desa lainnya diisi berdasarkan ketentuan perundang-undangan terkait desa.
Camat, lanjutnya, berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati. Persyaratan camat juga sudah diatur dalam berbagai aturan.
”Apa yang dilakukan oleh Bupati Nganjuk itu misconduct (perbuatan buruk), dan apa yang dialaminya, ya, itulah refleksi dari cara-cara dia mengambil tindakan,” ucap Tumpak.
Tumpak mengatakan, jual beli jabatan merupakan salah satu area rawan korupsi. Jual beli jabatan juga telah masuk ke dalam Strategi Nasional (Stranas) Pencegahan Korupsi (PK) dan menjadi sub-aksi dari aksi reformasi birokrasi.
”Soal celah itu sebenarnya kalau dari aturan dan sistem sudah berlapis. Namun, implementasinya yang masih banyak tidak sesuai dengan aturannya,” kata Tumpak.
Muara jual-beli jabatan
Dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, berpandangan, penangkapan sejumlah kepala daerah berkaitan jual-beli jabatan ini menunjukkan masalah utama terdapat dalam kebijakan legislasi.
Ia menyebut, Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN memberikan kebijakan faktual berupa kewenangan kepada pejabat politik untuk penetapan, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian ASN.
Masalah lain timbul karena jabatan yang dipegang oleh kepala daerah sebagai pejabat politik juga melekat fungsi ex officio sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK). Dengan dorongan kepentingan politik, mereka sangat mungkin menyalahgunakan kewenangan, baik itu timbul dari dalam diri kepala daerah maupun dorongan oleh organ sekitar jabatannya tersebut.
”Di sinilah letak muara pintu penyalahgunaan kekuasaan dan berpotensi melakukan kejahatan dalam jabatan. Pasal itu dijadikan celah dan ruang untuk menyalahgunakan wewenangnya kesempatan atau sarana yang melekat pada kepala daerah atas jabatan atau kedudukannya untuk keuntungan pribadi,” ujar Azmi.
Dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, berpandangan, penangkapan sejumlah kepala daerah berkaitan jual-beli jabatan ini menunjukkan masalah utama terdapat dalam kebijakan legislasi.
Menurut Azmi, kebijakan politik itu tergambar dari kebijakan regulasi. Jika regulasinya salah, kebijakan yang keluar juga tidak akan baik. Karena itu, DPR dan pemerintah harus mengkaji ulang Pasal 53 UU ASN sehingga kasus jual-beli jabatan ini tak terus terulang.
”Sepanjang regulasi ini tidak dievaluasi atau diganti, stimulan pejabat untuk menyalahgunakan kekuasaan sangat terbuka. Ini nyata-nyata, penyalahgunaan kewenangan malah menjadikan birokrasi sebagai pasar jabatan,” kata Azmi.