Imbas Larangan Mudik, Penjualan Oleh-oleh di Banyumas Anjlok 90 Persen
Pedagang oleh-oleh di Banyumas mengeluhkan sepinya pembeli akibat larangan mudik. Penjualan getuk goreng dan keripik tempe pun anjlok 90 persen. Para pedagang berharap pandemi segera berakhir.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Penjualan buah tangan atau oleh-oleh khas Banyumas, seperti getuk goreng sokaraja dan keripik tempe, anjlok hingga 90 persen karena terimbas larangan mudik Lebaran. Para pedagang berharap Covid-19 segera berakhir sehingga mobilitas warga, termasuk wisatawan, kembali normal.
”Sebelum Covid-19, saat Lebaran seperti ini, per hari bisa menjual sekitar 100 kilogram getuk goreng. Sekarang sulit banget, paling banyak 10-15 kilogram per hari,” kata Eka (69), pemilik toko oleh-oleh getuk goreng sokaraja ”Eka” saat ditemui di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah, Senin (10/5/2021).
Eka mengatakan, sepinya pemudik ke Banyumas, termasuk pelintas, membuat tokonya sepi pembeli. Akibatnya, dia terpaksa mengurangi tenaga kerja dari yang dulu mencapai 10 orang per hari kini hanya 2-3 orang per hari. Menurut dia, saat ini ia tidak memikirkan untung.
”Bertahan saja sudah baik. Kasihan karyawan banyak yang tidak kerja,” tuturnya.
Eka yang sudah merintis usahanya sejak 1983 ini menyampaikan, baru akibat pandemi Covid-19, penjualan getuk gorengnya anjlok drastis. Pada 2020 lalu, ia mengaku menutup tokonya hingga lima bulan mulai April sampai Agustus. Stok jualannya pun berkurang signifikan. Dari pantauan, banyak rak oleh-oleh yang kosong.
Menurut Eka, harga jual getuk goreng saat ini Rp 32.000-Rp 35.000 per kilogram. Adapun tokonya buka mulai pukul 06.30 hingga 21.00. Eka mengakui masih mengandalkan penjualan konvensional dan belum mencoba penjualan dalam jaringan (daring). ”Getuk ini bisa tahan sampai 10 hari. Tapi kalau jualan online, jualnya bisa sampai Rp 45.000 per kilogram termasuk ongkos kirim,” ujarnya.
Kondisi serupa disampaikan Yani (40), karyawan di toko getuk goreng sokaraja ”Asri”. Pada kondisi normal, sehari bisa terjual sampai 700 kilogram getuk. Namun, sekarang turun drastis hingga 95 persen.
Ia menyampaikan, sebelum pandemi Covid-19, tokonya sering dikunjungi bus-bus pariwisata yang membawa anak-anak sekolah atau rombongan wisata dan ziarah. Namun, kini hal itu tidak lagi terjadi.
”Dulu yang jaga banyak, ini sekarang saya cuma sendirian. Dulu juga jualan soto sokaraja, tapi tutup karena sepi,” ujar Yani.
Slamet Budiono (50), pemilik toko oleh-oleh ”Pramuka” di Purwokerto, menyampaikan, penjualan keripik tempe pun terdampak larangan mudik. Jika sebelum pandemi, setiap masa Lebaran atau menjelang hari raya, dirinya bisa menjual 5.000 bungkus keripik tempe, kini penjualannya hanya sekitar 460 bungkus per hari.
”Dulu hari-hari seperti ini (jelang Lebaran) sudah antre, pembeli per hari bisa sampai 50 orang. Sekarang paling banyak enam orang per hari,” tuturnya.
Dulu hari-hari seperti ini (jelang Lebaran) sudah antre, pembeli per hari bisa sampai 50 orang. Sekarang paling banyak enam orang per hari. (Slamet Budiono)
Meski ada beberapa pesanan dari luar kota secara langsung yang dikirim melalui jasa pengiriman, jumlahnya tidak banyak. Volume pengiriman tak begitu banyak. Satu kali pengiriman hanya sekitar 50 bungkus.
Para pedagang oleh-oleh khas Banyumas itu berharap pandemi segera berakhir sehingga pergerakan masyarakat dan pariwisata bisa kembali normal. ”Saya berharap Covid-19 ini bisa segera ditemukan obatnya supaya semuanya normal lagi. Ini saya lansia juga tidak berani ke mana-mana, banyak di rumah saja,” tambah Eka.