Muhammadiyah Anjurkan Masyarakat Tak Gelar Takbir Keliling
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menganjurkan masyarakat tidak menggelar takbir keliling pada malam Idul Fitri. Takbir malam Idul Fitri sebaiknya digelar di rumah masing-masing.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang belum terkendali, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menganjurkan masyarakat tidak menggelar takbir keliling pada malam Idul Fitri. Takbir malam Idul Fitri sebaiknya digelar di rumah masing-masing untuk menekan risiko penularan Covid-19.
”Takbir Idul Fitri tahun ini dianjurkan agar dilaksanakan di rumah masing-masing dengan khusyuk dan melibatkan anggota keluarga. Tidak dianjurkan takbir keliling,” ujar Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto dalam konferensi pers, Senin (10/5/2021), di kantor PP Muhammadiyah, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Anjuran peniadaan takbir keliling yang disampaikan Agung itu tercantum dalam Edaran PP Muhammadiyah Nomor 04/EDR/I.0/E/2021 tentang Tuntunan Idul Fitri 1442 H/2021 M dalam Kondisi Pandemi Covid-19.
Agung menyatakan, perayaan Idul Fitri tahun ini masih dilakukan dalam suasana pandemi Covid-19. Oleh karena itu, sejumlah aktivitas ibadah dalam Idul Fitri juga harus menyesuaikan diri dengan kondisi tersebut. ”Idul Fitri tahun ini masih dalam keadaan musibah Covid-19 yang persebarannya belum landai,” katanya.
Hal itu yang menjadi landasan bagi PP Muhammadiyah tidak menganjurkan masyarakat menggelar takbir keliling pada malam Idul Fitri. Aktivitas takbir keliling dikhawatirkan menimbulkan kerumunan yang dapat meningkatkan risiko penularan Covid-19.
Meski demikian, PP Muhammadiyah juga menyatakan, takbir malam Idul Fitri boleh dilakukan di masjid atau mushala dengan syarat tidak ada jemaah yang terindikasi positif Covid-19. Agung memaparkan, takbir di masjid atau mushala juga harus dilakukan dengan pembatasan jumlah orang dan menerapkan protokol kesehatan yang disiplin.
Aktivitas takbir keliling dikhawatirkan menimbulkan kerumunan yang dapat meningkatkan risiko penularan Covid-19.
PP Muhammadiyah juga menyatakan, bagi masyarakat yang di lingkungannya terdapat pasien positif Covid-19, shalat Idul Fitri bisa dilakukan di rumah masing-masing. Agung menambahkan, jika di suatu lingkungan tidak terdapat pasien positif atau dinilai aman, shalat Idul Fitri bisa dilakukan di lapangan kecil atau tempat terbuka di sekitar tempat tinggal dengan jumlah jemaah terbatas.
Selain itu, pelaksanaan shalat Idul Fitri juga harus dilakukan dengan memenuhi protokol kesehatan secara ketat. ”Shalat Idul Fitri dilakukan dengan saf berjarak, jemaah menggunakan masker, dilaksanakan tidak dalam kelompok besar atau dilaksanakan secara terpisah dalam kelompok kecil dengan pembatasan jumlah jemaah yang hadir,” ungkap Agung.
PP Muhammadiyah tidak spesifik menyebut berapa persen jumlah jemaah yang diperbolehkan hadir dalam shalat Idul Fitri. Hal ini berbeda dengan Surat Edaran Menteri Agama Nomor 07 Tahun 2021 yang menyatakan, jumlah jemaah shalat Idul Fitri tidak boleh melebihi 50 persen dari kapasitas agar memungkinkan untuk menjaga jarak antarsaf dan antarjemaah.
Surat Edaran Menteri Agama itu juga menyatakan, shalat Idul Fitri di lapangan atau masjid hanya boleh dilaksanakan di daerah zona hijau dan zona kuning. Sementara itu, untuk daerah zona oranye dan zona merah, shalat Idul Fitri harus dilakukan di rumah masing-masing.
Terkait hal itu, Agung menuturkan, Surat Edaran Menteri Agama bisa menjadi acuan untuk menentukan berapa banyak jumlah jemaah yang bisa hadir saat shalat Idul Fitri. ”Saya kira 50 persen itu acuan dari pemerintah yang bisa menjadi patokan. Tapi, kalau bisa lebih sedikit dari itu (50 persen), berarti social distancing (jaga jarak) menjadi lebih baik,” katanya.
Penuh kebajikan
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, bulan puasa dan Idul Fitri tahun ini diharapkan bisa menjadi momentum bagi umat Islam menghadirkan praktik keberagamaan yang penuh kebajikan. Selain itu, Haedar juga berharap umat Islam bisa menghindari hal-hal negatif, misalnya menyebarkan berita hoaks, ujaran kebencian dan permusuhan, serta saling hujat.
”Hindari hal-hal yang negatif, seperti menyebarkan berita hoaks, kebencian, permusuhan, atau saling hujat dan menciptakan narasi-narasi yang saling merendahkan sesama golongan, sesama umat, sesama elite, tokoh, dan warga bangsa,” ujar Haedar.
Haedar mengingatkan, selama ini bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beragama dan memiliki kebudayaan luhur. Oleh karena itu, umat Islam harus bisa menampilkan perilaku yang baik dan moralitas yang luhur, termasuk dalam menghadapi perbedaan pandangan keagamaan, politik, dan sosial.
”Jangan sampai satu sama lain banyak mengobral pertikaian dan perseteruan yang diakibatkan perbedaan paham, pandangan, dan perspektif. Di sinilah pentingnya hasil puasa itu membentuk kita menjadi insan yang arif dan bijaksana dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” ungkap Haedar.
Haedar juga berharap, seluruh elemen bangsa Indonesia terus mengoptimalkan ikhtiar menangani pandemi Covid-19. Hal ini karena kondisi pandemi di dunia, termasuk Indonesia, belum terkendali. Bahkan, selama beberapa waktu terakhir, sejumlah negara tengah menghadapi kenaikan jumlah kasus Covid-19.
”Salah satu ikhtiar itu adalah bersikap dan berperilaku disiplin dan tetap mengikuti protokol kesehatan. Hanya dengan ini kita bisa menghadapi pandemi ini,” ujar Haedar.