Kisah Ibunda Pemudik yang Meninggal Jangan Sampai Terulang
Ada yang ngotot mudik, kemudian ibunya meninggal karena terpapar Covid-19. Ini jadi pelajaran berharga.
Oleh
TAM/BRO/ETA/DKA/XTI/DIT
·4 menit baca
Langkah Onda Irawan (68) terhenti di sebuah rumah tak berpenghuni. Rumah itu akan dijadikan tempat isolasi bagi mereka yang ngotot mudik Lebaran. Warga setempat tak ingin kehadiran pemudik membahayakan keselamatan mereka.
Rumah dua lantai itu terletak di RW 006 Kelurahan Antapani Tengah, Kota Bandung, Jawa Barat. Dua bulan sebelumnya, rumah dengan enam kamar itu diisi warga setempat yang anggota keluarganya terpapar Covid-19. Mereka diisolasi demi memutus rantai penularan.
”Kami terus memonitor. Sejauh ini belum ada yang mudik. Mungkin karena penyekatan ada di mana-mana. Tetapi, untuk berjaga-jaga ada yang bocor (lolos penyekatan), disiapkan tempat isolasi,” ujar Onda, Sekretaris RW 006 Kelurahan Antapani Tengah, Jumat (7/5/2021). Hingga Minggu (9/5/2021), tak ada warga yang mudik ke sana.
Ia sudah mengajukan sewa rumah warga yang kosong, tetapi tawarannya selalu ditolak karena warga takut tertular Covid-19. Ia masih berusaha mendekati warga yang memiliki rumah kosong untuk dijadikan tempat isolasi.
Meski pemerintah memberlakukan kebijakan larangan mudik pada 6-17 Mei 2021, masih banyak warga yang nekat mudik dengan sejumlah modus. Dikhawatirkan, mereka yang tiba juga membawa serta Covid-19.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengingatkan kerentanan itu. ”Tahun lalu ada yang ngotot mudik ke Ciamis. Kemudian, ibunya meninggal karena terpapar Covid-19. Kami tidak mau kecolongan mengenai hal ini,” ujarnya. Di Jawa Barat, desa dan kelurahan menyiapkan sekitar 2.500 ruang isolasi.
Di Kota Surabaya, Jawa Timur, sejumlah kampung tangguh mengantisipasi datangnya pemudik dengan menyiapkan fasilitas karantina, mulai dari balai RT, balai RW, hingga rumah warga. Kampung tangguh itu didukung pemerintah kota.
”Pemudik yang nekat dan telanjur tiba terpaksa harus mau dikarantina selama dua pekan di kampung,” kata Didik Edi Susilo, Ketua RW 005 Wisma Kedung Baruk, sekaligus Ketua Kampung Tangguh Semeru setempat.
Kampung Tangguh Semeru yang didukung semua unsur pemerintah di daerah itu menjadi pilar penting dalam penanganan Covid-19 di tingkat paling bawah. Sinergi itu terbangun sejak pandemi Covid-19 pada Maret 2020.
Hingga Kamis (6/5/2021), virus penyebab Covid-19 telah menjangkiti 23.582 warga Surabaya. Sebanyak 22.105 orang sembuh dan 1.365 orang meninggal. Ada 112 orang yang masih dirawat.
Kasus akumulatif di Surabaya setara dengan 15,9 persen dari 148.959 total kasus Covid-19 di Jatim. Dari data itu, kasus Covid-19 di Surabaya tertinggi di antara 38 kabupaten/kota di Jatim. Surabaya masih menjadi bagian dari 27 kabupaten/kota dengan risiko atau bahaya penularan sedang (zona oranye) dan 11 daerah lain risiko penularan rendah (zona kuning).
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, sebelum pemberlakuan larangan mudik, pendatang ke ibu kota Jatim ini wajib dikarantina. Pendatang juga diperiksa. Jika negatif Covid-19, mereka tetap dikarantina selama 14 hari. Sementara yang terjangkit harus ditangani di fasilitas kesehatan sampai dinyatakan boleh pulang.
Setiba di rumah, pasien harus menjalani isolasi tambahan minimal tujuh hari. Sebulan sejak dinyatakan keluar dari perawatan, pasien diminta
tes usap PCR lagi. ”Kami mengharapkan setiap orang yang berkepentingan di Surabaya dalam kondisi sehat sehingga membantu dalam penanganan pandemi Covid-19,” kata Eri.
Pesan pemudik
Di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, pemudik yang tiba mulai 6 Mei menjalani karantina di GOR Satria, Purwokerto, selama lima hari. Wagiman (47), warga Karanglewas, Banyumas, yang tiba dari Jakarta pada Kamis (6/5/2021) dijemput ketua RT setempat, lalu dibawa ke tempat karantina.
”Ya, saya menerima, tidak apa-apa lima hari dikarantina di sini. Saya pesan kepada saudara-saudara lainnya enggak usah mudik. Kalau ingin keluarga sehat semua, jangan mudik. Mudik juga sengsara karena akan dikarantina seperti saya,” katanya, seperti dikutip dari siaran pers Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Ada juga CG (36) yang menempuh perjalanan darat ratusan kilometer dari Karawang, Jawa Barat. Setelah menghindari beberapa titik penyekatan, ia tiba di Kota Tegal, Jawa Tengah, Kamis (6/5/2021) pagi. Saat diperiksa petugas, sampel tes cepat antigen miliknya reaktif. Ia langsung diisolasi di Rusunawa Tegal Sari.
Sebanyak 33 persen warga, yakni 81 juta warga, menurut Kementerian Perhubungan, mengaku akan mudik Lebaran jika tak ada larangan pemerintah. Bagaimana jika ada larangan mudik? Ternyata, 11 persen atau 27 juta warga ingin tetap mudik (Kompas, 8/4/2021).
Jateng menjadi yang tertinggi, yakni 37 persen, disusul Jabar 23 persen, dan Jatim 14 persen. Tiga daerah itu merupakan jalur mudik terbanyak secara nasional.
Meski dilarang, banyak orang masih nekat mudik di tengah pandemi Covid-19. Kenekatan mereka bisa berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain. Jangan sampai kisah pilu di Ciamis, Jabar, terulang kembali.