Pandemi Covid-19 membuat roda bisnis melambat. Kendati dalam situasi tidak menguntungkan, banyak pelaku bisnis tak mau melewatkan kesempatan berbagi kepada yang papa. Memberi di kala situasi sulit lebih membahagiakan.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri/Dahlia Irawati
·4 menit baca
Gunawan, bocah tiga tahun, menghentikan langkahnya saat melihat pembagian takjil gratis di Jalan Sisingamangaraja, Kota Cirebon, Jawa Barat, Jumat (23/4/2021) petang. Dengan lahap, ia menyantap puding dan bubur yang dibagikan itu di dalam gerobak yang juga rumahnya.
Gunawan ditemani kedua orangtuanya serta kakeknya, Surip (46). Mereka membawa dua gerobak dorong. Plastik, botol bekas, pakaian, dan terpal menumpuk di gerobak sepanjang kurang dari 150 sentimeter itu. Di sanalah mereka berbuka puasa.
Ini kali pertama Gunawan dan keluarganya menikmati takjil gratis selama 11 hari Ramadhan. Biasanya, mereka hanya menerima kotak berisi nasi dan lauk-pauk untuk berbuka puasa. ”Kalau ada uang, kami beli takjil. Kalau enggak ada, ya, diam saja makan nasi,” kata Surip.
Mendulang rupiah dari memulung tak lagi semudah sebelum pandemi Covid-19. Dulu, ia bisa mengantongi 25 kilogram barang bekas senilai Rp 90.000 per hari. ”Sekarang, kadang cuma Rp 30.000. Paling mentok Rp 50.000,” ujar Surip.
Itu pula sebabnya, takjil gratis dari Himas Coffee and Eatery dan Cirebon Geprek setidaknya bisa menghemat pengeluaran keluarga Surip. Mereka adalah bagian dari warga yang menerima sekitar 100 porsi takjil yang disediakan kafe tersebut.
”Ini hanya hal kecil dan normal. Kami ingin mengurangi beban sesama di tengah kondisi sulit,” kata Sucipto Chandra (65), pemilik kafe, warga keturunan Tionghoa.
Sejak Oktober 2020, Himas Coffee and Eatery sudah menyuguhkan sarapan gratis bagi mereka yang kurang mampu setiap Jumat pada minggu kedua dan minggu keempat. Ada 100 paket ayam geprek gratis setiap kegiatan. Syaratnya, menukarkan kupon dan mematuhi protokol kesehatan.
Pilihan membagikan makanan gratis boleh dibilang ”edan”. Bagaimana tidak, baru sebulan beroperasi, Kafe Chandra lesu pembeli. Kondisi kian sulit pada April 2020 saat pembatasan sosial berskala besar. Omzetnya anjlok hingga 90 persen.
Sebelum pandemi pun, mantan Wakil Ketua Majelis Agama Khonghucu Indonesia Cirebon itu kerap menggelar acara buka puasa bersama karyawannya di toko besi. Ia juga sering menerima ketupat hingga opor ayam dari tetangganya yang merayakan Lebaran.
Pengamat budaya Tionghoa Cirebon, Jeremy Huang, mengatakan, yang dilakukan Chandra tidak lain adalah potret hubungan baik komunitas Tionghoa dengan umat Muslim di Kota Cirebon. Sejak abad ke-14, hubungan keduanya erat karena Cirebon menjadi pelabuhan penting bagi China.
Anak yatim
Gerakan peduli kaum papa juga dilakukan di Malang, Jawa Timur. Kendati pandemi Covid-19 membuat bisnis jasa tata suara atau sound system seakan tenggelam dalam sunyi, para pelakunya tak menyerah mencari jalan untuk berbagi. Mereka turun ke jalan untuk mengamen demi anak yatim.
Selasa (27/4), di pertigaan Tajinan, Malang, mereka yang tergabung dalam Malang Sound Community (MSC) antusias mengulurkan kotak kepada pengguna jalan. Tidak tanggung-tanggung, salah satu penyanyi yang sering tampil dalam acara kampanye pemilihan kepala daerah di Malang pun ikut turun.
Berdasarkan pengalaman MSC sebelumnya, dalam sehari mereka bisa menghimpun uang hingga Rp 1,9 juta. Kegiatan ini berlangsung hingga Minggu (2/5). ”Tujuannya mencari donasi untuk anak yatim di daerah sini agar saat Lebaran nanti mereka juga punya cukup uang untuk berlebaran seperti yang lain,” kata Pudya Surana (56), ketua panitia kegiatan penggalangan dana di Tajinan.
Pudya mengatakan, penggalangan dana masyarakat itu merupakan kegiatan rutin MSC setiap tahun saat bulan Ramadhan, dengan tujuan mengumpulkan donasi bagi anak yatim. MSC secara serentak menggelar penggalangan donasi pada lima titik di Malang Raya.
Rasa kebahagiaan seakan berlipat bila masih bisa menolong sesama di kala situasi sulit.
Pudya menuturkan, selama pandemi, semua anggota MSC kehilangan sumber penghasilan. Meski sejak pandemi dentum suara sound system praktis berhenti, tidak dengan rasa kemanusiaan mereka. Panggilan menolong anak yatim tak bisa dikekang.
Masih di Malang, sekelompok dermawan juga rutin berbagi dengan sesama, mulai dari berbagi nasi bungkus, kurma, alat tulis, Al Quran, hingga semua produk yang dibutuhkan oleh sesama. Salah satunya anggota komunitas Food Sharing Indonesia (FSI) yang sudah berkegiatan sosial hampir setahun. Pendiri komunitas tersebut adalah Shella Sabillah Alamri (29) dan Dian Ayu Antika (29).
Komunitas FSI menerima donasi dari masyarakat umum dan menyalurkannya kepada mereka yang membutuhkan. Rutinitas kegiatan dilakukan setiap Jumat. Dalam seminggu, FSI Malang mampu menyalurkan makanan sebanyak 120 bungkus.
”Komunitas FSI juga berkembang hingga Pamekasan, Madura. Di sana, FSI Pamekasan bisa menyalurkan hingga 500 bungkus seminggu. Untuk pandemi ini, mereka juga menyalurkan makanan kepada warga yang isolasi mandiri sebanyak dua kali makan sehari,” tutur Dian Ayu Antika.
Bagi para pegiat sosial itu, situasi sulit tidak akan menghentikan mereka untuk berbagi kepada kaum papa. Rasa kebahagiaan seakan berlipat apabila masih bisa menolong sesama di kala situasi sulit.