Elegi Pekerja Migran, Terjebak di Tanah Rantau Tanpa Perlindungan
Wa (38), pekerja migran asal Banyumas yang kini merantau di Malaysia, kebingungan karena paspornya hilang. Hidupnya tidak tenang dan juga tidak bisa pulang ke Tanah Air meski rindu pada keluarga.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·6 menit baca
Hampir 20 tahun Wa (38) mengadu nasib sebagai pekerja migran di Malaysia, belakangan ia mesti berselimut kekhawatiran. Dua tahun terakhir, ia mesti menahan rindu pulang ke Tanah Air. Selain karena pandemi Covid-19, paspornya juga hilang dibawa kabur agen penyalurnya.
”Saya susah untuk keluar karena tidak ada dokumen. Saya nak sambung permit (memperpanjang izin). Agen membawa lari paspor dan uang saya. Risikonya kalau ada operasi, kena tangkap jadi susah. Sekarang, mau pulang saat Lebaran pun tidak bisa,” kata Wa yang bekerja di Pulau Pinang, Malaysia, dengan logat Melayu kental melalui sambungan telepon kepada Kompas di Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (27/4/2021).
Wa mengisahkan, dirinya sudah bekerja sejak April 2002 di Malaysia. Semula, dia masuk dengan dokumen dan paspor lengkap serta resmi. Dia awalnya bekerja sebagai karyawan di sebuah kedai makan atau restoran di Malaysia. Namun, karena pandemi, kedai makannya pun sepi. Dia pun bekerja menjadi pengasuh orang lansia di sebuah keluarga. ”Menurut rencana, saya mau urus dokumen, tapi ada banyak penyekatan dan Covid-19, jadi susah,” tuturnya.
Wa merantau ke Malaysia seusai bercerai dengan suaminya asal Brebes yang tidak bertanggung jawab kepada keluarga. Menanggung beban seorang anak laki-laki dan juga ibunya yang sudah memasuki masa tua dan juga tanpa suami, Wa menjadi tulang punggung keluarga. Apalagi, dia anak pertama dari tiga bersaudara.
Belasan tahun di Malaysia, Wa pun menikah dengan warga di sana. Setelah punya seorang anak perempuan di Malaysia, perkawinannya kembali kandas. ”Saya punya suami tak baek (tidak baik). Saya lari. Suami bawa pulang perempuan. Satu rumah. Saya tak boleh tahanlah (Saya tidak tahan),” ujarnya.
Setelah berusia tiga tahun, Wa membawa pulang putrinya itu ke kampung halamannya di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas. Akhirnya, anak itu dibesarkan oleh Na (53), ibunda Wa, hingga kini. ”Saya jadi seperti merawat dan membesarkan bayi-bayi saya sendiri lagi,” tutur Na saat ditemui di rumahnya di Pekuncen, Jumat (30/4/2021).
Na tinggal di rumah berdinding batu bata dan beralaskan keramik dengan ukuran sekitar 15 meter x 6 meter. Di ruang tengah yang dipakai sebagai ruang tamu sekaligus ruang keluarga untuk menonton televisi, Na tampak sedang mengasuh bayi laki-laki berusia satu tahun dan seorang gadis cilik yang kini duduk di bangku kelas I SD. ”Ini yang bayi laki-laki adalah cucu Wa dan ini yang perempuan adalah anak kedua Wa,” kata Na.
Bapak dari bayi laki-laki itu adalah Ri (21), anak Wa dari suami pertamanya asal Brebes. Ri dan istrinya menitipkan putranya kepada Na karena harus merantau ke Jakarta. Selain bayi dan anak kedua Wa, Na juga merawat Ca (12), anak dari Sa (30), yang adalah adik Wa.
”Jadi, saya sekarang merawat tiga anak. Kami berempat di sini mengandalkan kiriman uang dari Wa. Alhamdulillah selalu lancar Rp 4 juta sebulan. Wa benar-benar tulang punggung kami,” tutur Na yang mengeluhkan punya penyakit darah tinggi dan sering kelelahan.
Na menyampaikan, ketika Wa memiliki paspor dan dokumen lengkap, biasanya Wa pulang ke rumah dua tahun sekali. ”Wa terakhir pulang ke rumah pada 2019. Tahun ini mau pulang tidak bisa. Saya minta tolong bantuannya supaya anak saya itu bisa mengurus dokumennya lagi. Kami semua rindu ingin ketemu, sekarang paling hanya bisa video call dengannya,” kata Na sambil mengusap air matanya.
Alex Ong, perwakilan Migrant Care di Malaysia, menyampaikan, kasus pekerja migran tanpa dokumen resmi dan potensi perdagangan manusia masih terjadi. Dalam dua bulan terakhir, pihaknya menangani sekitar 128 pekerja migran Indonesia yang dokumennya bermasalah, di antaranya yang dialami Wa.
”Biasanya yang kami tangani itu ada yang tua, sakit, lalu anaknya ditinggal orangtua dan macam-macam. Kasus yang kami tangani tahun lalu itu ada 100 lebih kasusnya. Kasus TKI ini kebanyakan tanpa dokumen dan jadi korban trafficking. Selain itu, ada juga yang meninggal. Pekerja migran perempuan yang meninggal dalam 2-3 bulan ini ada 3 orang,” ucap Alex.
Alex mengatakan, pekerja migran perempuan yang meninggal pertama berasal dari Garut. Pekerja ini tanpa dokumen lengkap dan jatuh di rumah hingga tulang belakangnya patah. Pekerja kedua meninggal karena diduga serangan jantung dan dipulangkan ke Jawa Timur. Ketiga, Alex lupa dari daerah mana, adalah mantan pembantu rumah tangga yang mengalami leukemia dan harus mengeluarkan banyak biaya perawatan.
”Kami membantunya dimakamkan di Kuala Lumpur karena kondisi sedang Covid-19 seperti ini,” tutur Alex.
Alex mengatakan, secara umum, kasus pekerja migran Indonesia biasanya adalah pelanggaran undang-undang yang justru dipaksakan oleh majikan. Waktu calo datang ke rumah, mereka biasanya dijanjikan bekerja di pabrik elektronik dan lewat penyalur resmi.
”Sekarang banyak kasus dari warga NTT, kalau dari Jawa mulai kurang. Setelah masuk ke Malaysia, calo bilang lowongan pekerjaan di pabrik tidak ada. Sampai di sini mereka dipaksa dan dijual sebagai PRT kepada majikan,” paparnya.
Dengan begitu, lanjut Alex, pekerja migran Indonesia itu melanggar Undang-Undang Imigrasi karena bekerja tidak sesuai izin. ”Mereka juga dipaksa menerima gaji yang lebih rendah. Gaji ditahan majikan atas alasan bank tidak mau buka rekening mereka. Jadi, mereka dijual jadi buruh paksa ke mana-mana. Ini pendekatan yang sudah lama, tapi muncul lagi,” tutur Alex.
Menurut Alex, gaji sebagai pembantu rumah tangga atau petugas kebersihan di Malaysia sekitar 1.200 ringgit per bulan. Namun, biasanya pekerja hanya mendapatkan 30 persen saja dan 70 persen lainnya dikutip majikan. Hal itu, antara lain, disebabkan saat majikan di Malaysia ingin mendapatkan PRT asal Indonesia harus mengeluarkan uang 18.000-22.000 ringgit untuk agen dan calo.
”Mereka (PMI) datang ke Malaysia dengan cara bagus dan resmi, tapi sampai di sini majikan sudah menjadikan mereka jadi komoditas manusia yang dijual-beli seperti ayam, kambing, dan sapi,” kata Alex.
Alex berharap Pemerintah Indonesia dan Malaysia mempertegas nota kesepahaman (MOU) terkait pekerja migran yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Pasalnya, di Malaysia, mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dianggap sebagai pekerja informal dan tidak dianggap sebagai pekerja yang dilindungi Undang-Undang Ketenagakerjaan.
”Malaysia harus gentlemen. Departemen Ketenagakerjaan Malaysia itu tidak mau bertanggung jawab atas pekerja informal. Pembantu rumah tangga itu dianggap sebagai pembantu, bukan pekerja. Karena definisi sebagai pembantu, dia tidak di bawah UU Pekerja,” terangnya.
Padahal, MOU itu, lanjut Alex, intinya mengatur tentang pembantu di rumah. Perlu ada definisi yang lebih jelas supaya orang yang bekerja di bawah kontrak dianggap sebagai pekerja, bukan pembantu. Artinya, yang bersangkutan mesti menikmati segala perlindungan sebagai pekerja migran Indonesia, bukan pembantu rumah Indonesia.
Kisah Wa yang ketakutan dan kucing-kucingan di Malaysia serta perjuangan Na membesarkan tiga anak-anak seorang diri menjadi salah satu potret suram keluarga pekerja migran Indonesia di Malaysia. Harus ada langkah nyata melindungi pekerja migran. Mereka telah berkorban dengan meninggalkan buah hatinya tumbuh tanpa kasih sayang orangtua.