Miliki Sertifikat, Lahan Warga Kapuas Barat Tetap Digarap Perusahaan Sawit
Sengketa lahan dengan perusahaan perkebunan sawit membuat warga kehilangan mata pencariannya. Mafia tanah membuat hidup mereka tak lagi aman. Bahkan, memiliki sertifikat tanah pun tak menjamin tanahnya kembali.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
KUALA KAPUAS, KOMPAS — Mafia tanah di Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, merugikan pemilik lahan karena menjual tanah tanpa izin. Setidaknya 700 hektar lahan warga Kapuas Barat digarap perusahaan akibat ulah mafia tanah.
Hampir 350 warga menjadi korban sengketa tanah. Akibat kisruh tanah itu, mata pencarian pemilik lahan yang rata-rata petani pun hilang. Mereka akhirnya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Gerakan protes konflik tanah pun terjadi pada Jumat (7/5/2021) pagi. Warga lima desa di Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, berkumpul di salah satu lahan yang digarap perusahaan perkebunan sawit untuk mengadakan ritual adat. Kelima desa itu adalah Desa Anjir Kalampan, Penda Katapi, Teluk Hiri, Pantai, dan Kelurahan Mandomai.
Mereka mengadakan ritual adat hinting pali atau membuat batas keramat agar perusahaan berhenti beraktivitas sementara. Prosesi ritual itu mengambil tempat di salah satu lahan milik warga yang sudah digarap perusahaan dan di pintu gerbang kantor perusahaan.
Sumarni (55) menjadi salah satu warga Desa Pantai yang pada Jumat sore mengikuti ritual adat di dekat kantor salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit. Ia mengklaim bangunan kantor perusahaan perkebunan (bukan kantor desa seperti yang diberitakan sebelumnya) sebagian besar berdiri di ladang tempat ia biasa menanam padi.
Sumarni menjelaskan, kini ia harus kerja serabutan dengan penghasilan Rp 200.000 hingga Rp 300.000 setiap bulan. Jika tidak ditambahi atau dibantu anak-anaknya, ia tak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup, seperti makan, apalagi obat-obatan suaminya.
”Saya hanya minta tanah saya dikembalikan, saya enggak mau ganti rugi. Semua orang di sini tahu ini tanah leluhur kami, kenapa tiba-tiba ada yang jual ke perusahaan,” kata Sumarni.
Sumarni menunjukkan surat kepemilikan tanah (SKT) yang ia buat di kantor desa dan kecamatan. Meskipun demikian, surat-surat itu seakan tak beharga karena tanahnya kini sudah menjadi kantor perusahaan perkebunan.
Tak hanya Sumarni, Dalen (81) juga sudah memiliki sertifikat tanah yang sah. Namun, lahan seluas lebih kurang 4 hektar miliknya masih digarap perusahaan. ”Ribuan sengon dan karet saya ludes semua,” ujarnya.
Saya hanya minta tanah saya dikembalikan. Saya enggak mau ganti rugi. Semua orang di sini tahu ini tanah leluhur kami, kenapa tiba-tiba ada yang jual ke perusahaan.
Ketua Kelompok Tani Garantung Jaya Sahyago (55) menjelaskan, dari 300 anggota kelompoknya, 250 orang lebih bersengketa dengan perusahaan. Modusnya sama, tanah-tanah itu dijual tanpa izin. Tanpa pula diketahui siapa penjualnya. Sebagian besar anggotanya sudah memiliki sertifikat tanah atau sebatas surat kepemilikan tanah (SKT).
”Tiba-tiba saja perusahaan mengaku sudah membeli dan punya bukti, padahal tanah itu turun-temurun punya leluhur. Bahkan, sebagian dari mereka punya surat-surat hingga sertifikat tanah, tapi masih digarap,” kata Sahyago.
Sahyago mengungkapkan, perusahaan juga menutup kanal-kanal jalur transportasi masyarakat dan menutup kolam beje, kolam khas Dayak pada musim tertentu. Kolam-kolam dan kanal itu pun kini menjadi kebun sawit.
Dari pantauan Kompas di lapangan, beberapa sisa kanal masih terlihat, tetapi sebagian sudah menjadi badan jalan. Badan jalan itu pun sebagian mengambil kebun milik Damang (Kepala Adat) Mandomai Yansen I Aden (81) seluas lebih kurang 3 hektar.
”Ini tempat saya menyadap karet, menanam sayur, tetapi sekarang sudah jadi jalan perusahaan sawit,” ungkap Yansen.
Yansen mengaku sudah puluhan tahun menggarap kebunnya. Tak hanya karet, kebunnya juga menjadi satu-satunya tempat Yansen menanam padi ladang. Sudah tiga tahun lamanya, selama berkonflik, ia tak lagi bisa menanam padi.
”Selama berkonflik ini tak bisa tanam padi, beras pun beli. Saya sudah tua begini hanya berharap dari anak-anak saja, padahal dulu saya bisa cari beras sendiri,” kata bapak lima anak itu.
Saat melaksanakan ritual adat, masyarakat sempat dihadang oleh orang-orang yang mengaku pihak keamanan perusahaan. Mereka menolak pemasangan hinting dengan alasan tidak bisa bekerja jika ritual tetap diadakan.
Namun, pihak kepolisian setempat bisa membuat situasi kembali kondusif dan meminta agar proses dilaksanakan dengan tidak menimbulkan kericuhan. Ritual pun berjalan dengan baik hingga warga kembali pulang ke rumah masing-masing.
Ritual tersebut, menurut Damang Yansen I Aden, merupakan proses mengeramatkan wilayah tertentu. Wilayah tersebut tidak boleh dimasuki atau dilewati. ”Kalau melanggar yang bertindak itu roh leluhur kami,” ungkapnya.
Ketika ditemui untuk konfirmasi, pekerja bagian perawatan PT Kapuas Sawit Sejahtera, Hasibuan, tidak mau memberikan komentar terhadap kegiatan dan sengketa yang sedang terjadi. Menurut dia, hal itu bukan bagiannya untuk memberikan komentar. Adapun Direktur Operasional PT KSS Agus Nadi, saat coba dihubungi, pun belum memberikan komentar.
Menanggapi soal koflik tanah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono mengungkapkan, penyerobotan lahan kerap terjadi di Kalteng. Bahkan, di beberapa wilayah ada perusahaan yang hanya datang sosialisasi satu kali, lalu langsung buka lahan.
”Ini praktik (mafia tanah) yang biasa terjadi di Kalteng, sangat berbahaya jika sudah memiliki sertifikat tanah tapi tetap dibuka,” kata Dimas.
Dari catatan Walhi, pada 2005-2019 setidaknya terdapat 344 konflik lahan di Kalimantan Tengah antara warga dan perusahaan perkebunan sawit. Semua kasus itu belum ada satu pun yang selesai.
”Versi pemerintah tentu sebagian sudah diselesaikan, versi masyarakat, ya, belum. Bahkan, ada pemilik lahan yang sekarang sudah meninggal, haknya atas lahan tidak pernah kembali,” ujar Dimas.