Kisah Toleransi dari Pulau Adonara hingga Kota Daeng...
Adonara oleh antropolog Eropa pernah dijuluki sebagai pulaunya para pembunuh. Kini, pulau di Nusa Tenggara Timur itu menggemakan pesan toleransi ke segala ujung bumi.
Kerukunan antarumat beragama telah menjadi bagian karakter warga bangsa. Di Pulau Adonara, Nusa Tenggara Timur, warga yang berbeda agama tinggal dalam satu atap dalam ikatan persaudaraan yang kental. Demikian pula dengan teladan yang ditunjukkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj, yang mengunjungi Gereja Katedral Makassar, dan bersama-sama mendoakan keselamatan umat pascateror bom.
Hubungan yang akrab antarumat beragama itu tulus, dan menunjukkan karakter dasar warga Nusantara yang toleran.
Di Witihama, Kabupaten Flores Timur, yang berada di Pulau Adonara, suatu senja di awal April 2021, azan maghrib berkumandang dari tiga masjid memecah keheningan lembah. Witihama adalah sebuah perkampungan yang dihuni mayoritas pemeluk Nasrani.
Selepas mendengar azan, Jidan Akbar Bapa Kai (45), meneguk segelas air putih untuk membatalkan puasanya, disaksikan Dai Pain Dahalia (57). Akbar seorang Muslim dan Dai pemeluk Katolik. Mereka tinggal di bawah satu atap yang sama.
Selesai membatalkan puasa dengan minuman, Akbar menunaikan shalat di rumah itu. Segerlah makanan berat dihidangkan di atas meja menunggu Akbar selasai shalat, kemudian mereka sekeluarga menyantap bersama. Tiba waktunya tarawih, Akbar meraih sajadah, lalu berjalan kaki menuju masjid tak jauh dari rumah mereka di sisi timur Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur itu.
Ia melewati rumah-rumah dengan penghuninya beragama Islam dan Nasrani, yang berdiri berdempeten selang-seling. Ada rumah yang dari luar terlihat simbol salib dan kalung rosario tergantung di dinding, kemudian rumah berikutnya tampak mencolok tulisan kaligrafi di ruang tamu. Di halaman rumah berjejer makam anggota keluarga yang saling bersebelahan dengan simbol berbeda; salib dari basi atau kayu dan batu nisan dengan tulisan Arab.
Di sini bukan hanya permukiman yang membaur antara Islam dan Nasrani, dalam satu rumah pun kami berbeda agama. (Jidan Akbar Bapa Kai)
Bahkan, di depan gerbang Gereja Katolik Santa Maria Pembantu Abadi Witihama, terdapat makam Islam. Bangunan gereja itu juga dikelilingi rumah warga yang memeluk Islam. Akbar tinggal di rumah yang tak jauh dari gereja itu. Ia seatap dengan Dai serta lima orang pemeluk Nasrani.
Akbar bukan pedatang. Ia adalah sepupu Dai. Mereka terikat dalam hubungan darah dari satu garis keturunan. ”Di sini bukan hanya permukiman yang membaur antara Islam dan Nasrani, dalam satu rumah pun kami berbeda agama. Ini sudah ada dari dulu,” ucap Akbar.
Dai menambahkan, sikap saling menghargai melanggengkan hubungan mereka tetap harmonis. Salah satunya dalam hal makanan. ”Kami tahu apa saja yang diharamkan dalam Islam sehingga makanan itu pasti tidak diolah di rumah ini. Pada saat bulan puasa seperti ini, kami yang bertugas menyediakan makanan berbuka dan sahur,” ucapnya.
Petang itu, suasana Ramadhan di perkampungan Witihama terasa kental, meski komposisi umat Muslim hanya sekitar 30 persen dari total penduduk sekitar 9.000 jiwa. Pada saat pagi hingga petang sebelum buka puasa, hampir tidak terlihat warga non-Muslim yang makan atau merokok di tempat terbuka. ”Memang tidak ada larangan, tapi kami sendiri yang merasa malu kalau makan minum di tempat umum,” ujar Bernard Tokan (30), pemuda Nasrani.
Pada saat berbuka puasa, di banyak rumah umat Islam ikut berkumpul umat Nasrani. Mereka sengaja bertamu sambil membawa makanan berbuka puasa atau memang diundang berbuka puasa. Salah satunya terlihat di rumah Jamil Demon Sesa (59) yang petang itu dikunjungi Michael Boro Bebe (52).
Sambil meyeruput teh, mereka bersama merancanakan perayaan Idul Fitri nanti. Sebelum era pandemi Covid-19, umat Nasrani berdiri berbaris membentuk pagar betis di halaman masjid. Umat Islam yang selesai shalat Idul Fitri berjalan di tengah-tengah sambil menerima ucapan dan bersalaman. Mereka kemudian berjalan menuju tenda acara yang dibangun umat Nasrani untuk acara halalbihalal.
Hal yang sama juga terjadi pada saat perayaan Natal. Dalam perayaan itu, umat Muslim membangun tenda di luar gedung gereja. Serasa Idul Fitri dan Natal adalah perayaan bersama, bukan mulik satu umat semata. Pada masa pandemi saat ini, acara yang menimbulkan kerumunan semacam itu ditiadakan. Mereka kemudian saling mendatangi dari rumah ke rumah.
Belum lama ini, tepatnya 4 April lalu, Pulau Adonara disapu bencana banjir dan longsor dari berbagai sisi. Tiga lokasi terdampak paling parah, yakni Desa Nelelamadike di Kecamatan Ileboleng, Kelurahan Waiwerang dan Desa Waiburak di Kecamatan Adonara Timur, serta Desa Oyangbarang di Kecamatan Wotanulumado. Lebih dari 70 orang meninggal. Di tegah duka itu, masyarakat bahu membahu saling membantu.
Di Desa Nelelamadike yang mayoritas penduduknya beragama Katolik tampak hadir puluhan perempuan berhijab. Mereka menjujung makanan di kepala masuk ke dalam kampung itu. Begitu pula di Waiwerang dan Oyangbarang. Mereka dulu datang ke tempat pemakaman massal para korban. Dengan cara yang berbeda, mereka mendoakan para korban bencana itu.
Memilih pemimpin
Michael yang juga budayawan di kampung Witihama mengatakan, ajaran Islam pertama kali masuk dibawa oleh utusan Kerajaan Adonara, kerajaan bercorak Islam di pulau itu. Utusan itu mempelajari ajaran Islam dari Kesultanan Ternate di Kepulauan Maluku. Sementara ajaran Nasrani dibawa oleh misionaris Eropa. Ajaran Islam diyakini lebih dahulu masuk, tetapi tidak diketahui pasti waktunya.
Tetua kampung, sebagai penguasa wilayah adat, memberi kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama tanpa paksaan. Menurut Michael, Islam dan Nasrani tumbuh dalam napas budaya. Budaya yang membungkus agama dalam filosofi kakan dike arin sare yang berarti sesama anak kampung saling mengasihi. Sementara agama menjadi urusan personal antara seseorang dengan penciptanya.
Perkampungan Witihama kini berkembang menjadi lima desa administrasi yang terdiri atas Pledo, Lamablawa, Oringbele, Weranggere, dan Watoone. Permukiman warga di lima desa itu saling sambung menyambung. Kendati secara administratif setiap desa dipimpin seorang kepala desa, secara umum perkampungan Witihama dipegang seorang tokoh adat.
Kepala desa dipilih secara demokrasi sedangkan tokoh adat adalah mereka yang berasal dari garis keturunan tertentu. Dalam pemilihan kepala desa, warga tidak pernah melihat calon dari latar belakang agamanya. ”Kepala desa kami seorang Muslim. Saya sendiri juga dipilih jadi ketua karang taruna di desa,” kata Rasid Tokan (42), pemuda Islam di Desa Oringbele, desa yang hampir 80 persen penduduknya memeluk ajaran Kristus.
Menurut Rasid, belakangan ada upaya dari kelompok intoleran yang berusaha merasuki anak muda di sana, tetapi tidak mempan. Ujian semacam itu bukan baru kali ini. Menjelang tahun 2000 saat konflik sosial bernuansa agama terjadi di berapa wilayah di Tanah Air, seperti Ambon, Maluku; dan Poso, Sulawesi Tengah, ada upaya provokatif untuk merusakan kedamaian di Witihama, tetapi gagal.
Kalau ada yang tanya, praktik toleransi terbaik di Flores Timur itu ada di mana, pasti orang akan ramai-ramai menunjuk Witihama. (Anton G Hadjon)
Meski demikian, ia menyadari bahwa bukan tak mungkin kedamaian dapat dirusak. Berkaca di Maluku, warga yang terjalin dalam ikatan persaudaraan pela gandong pun terlibat saling membunuh gara-gara diprovokasi dengan isu agama. ”Kuncinya adalah merawat budaya dengan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak sebatas seremonial,” katanya.
Bupati Flores Timur Anton G Hadjon memuji kehidupan toleransi di Pulau Adonara. Menurut dia, pengakuan terhadap tingginya toleransi antarumat beragama di NTT, itu tidak lepas dari praktik toleransi di Flores Timur. ”Kalau ada yang tanya, praktik toleransi terbaik di Flores Timur itu ada di mana, pasti orang akan ramai-ramai menunjuk Witihama,” kata Anton.
Hubungan antarumat beragama yang rukun ini sedikit tidak mengubah pandangan orang mengenai Adonara yang terkesan seram sebagaimana catatan antropolog Eropa Ernst Vatter. Dalam bukunya yang berjudul Ata Kiwan, Ernst menyebutkan bahwa Adonara adalah pulaunya para pembunuh. Ernst menemukan hal itu saat melakukan penelitian di sana pada tahun 1930-an.
Kala itu, di Larantuka yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Flores Timur, Ernst menemukan banyak narapidana kasus pembunuhan yang datang menjalani persidangan di pengadilan setempat. Para terdakwa membunuh dalam kasus sengketa lahan. Bagi masyarakat Adonara, sejengkal tanah akan dipertahankan hingga titik darah penghabisan, dan hal itu masih kadang terjadi hingga kini. Tidak ada catatan yang menyebutkan bahwa pembunuhan bermotif agama.
Kekerasan
Sayangnya, di sejumlah wilayah, agama kerap kali menjadi alasan untuk melakukan kekerasan hingga membunuh orang yang berbeda keyakinan dan agama. Di Indonesia, 28 Maret 2021 menjadi hari kelabu. Bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, menewaskan dua orang yang merupakan pelaku, dan melukai 20 orang lainnya.
Peristiwa itu mengoyak rasa kemanusiaan warga bangsa. Di tengah kesulitan yang dialami warga akibat pandemi Covid-19, sebuah tindakan teror keji dilancarkan kepada warga di depan sebuah gereja.
Berselang kurang dari dua minggu sejak peristiwa itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengunjungi Gereja Katedral Makassar, 11 April 2021. Kedatangan Said ke Gereja Katedral Makasar ini bertujuan memberikan dukungan moral untuk jemaat Katolik di Makassar, dan terus bersemangat membangun toleransi.
”PBNU bersama warga NU (Nahdlatul Ulama) mengecam terhadap pelaku teror bom di Gereja Katedral Makasar ini, tidak usah takut hanya tetap meningkatkan kewaspadaan, tapi tidak usah takut mari kita rapatkan barisan semakin insaniyah semakin harmonis satu sama lain,” kata Said.
PBNU memberikan bantuan kemanusiaan berupa uang tunai kepada korban bom Gereja Katedral Makassar.
Kiai Said mengatakan, perbedaan dalam keyakinan janganlah dipersoalkan. ”Kita ini satu keturunan, kita ini bersaudara, ngapain bermusuhan, mari bersama menjaga kerukunan,” paparnya
Kiai Said berharap semua pihak sering menjalin komunikasi. ”Sering-seringlah ada diskusi, antara pemuda NU dan Katolik, PMII dengan Mahasiswa Katolik, kemudian tingkatkan buatlah kerja sama, ada suatu program yang dikerjakan bersama, kerja sama bidang kesehatan, bakti sosial, dan lain sebagainya,” ujarnya
Dengan komunikasi, kerja sama, serta saling pengertian yang baik, hubungan antarumat beragama yang rukun semoga senantiasa terjaga....