Selama pandemi Covid-19, banyak orang melewati dua kali Lebaran tanpa saling bersua raga dengan keluarga terkasih. Mereka berjumpa lewat ruang virtual.
Oleh
ZAK/ERK/NCA
·5 menit baca
Budi Triyono (31) dan anaknya, Luna (3), warga Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, bakal kembali merayakan Lebaran tanpa kehadiran istrinya, Kiki Risqi Amalia (33). Bagi mereka, saling menyapa dan menatap lewat layar ponsel tak mengurangi makna silaturahmi Lebaran di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda.
Kiki tengah menempuh pendidikan pascasarjana di Perancis. Mataram dan Perancis tak hanya terpaut lebih dari 8.000 mil (14.816 kilometer) dalam tarikan garis lurus. Dua titik itu juga berbeda waktu dengan selisih sekitar 7 jam.
”Memang susah karena perbedaan waktu membuat saya harus cari waktu yang pas. Belum lagi sambil momong anak. Kalau memang seperti itu, ya sudah bikin panggilan video berdua saja,” kata Budi saat ditemui di Mataram, Senin (3/5/2021).
Budi tak ingin jarak dan waktu menjadi halangan untuk tetap merayakan hari kemenangan dengan penuh sukacita. Seperti tahun lalu, mereka bersua dalam ruang virtual melalui panggilan video. Wajah dan suara Kiki terdengar jelas menyapa hangat dari kejauhan.
Warga Mataram lainnya, Dewi Ekawati (43) dan kedua anaknya, Putri Loli Daeng Parebba dan Devandra Raffasya Daeng Parebba, juga tidak bisa merayakan Lebaran bersama suaminya, Brigadir Kepala Sultan Daeng Parebba (43), untuk yang kedua kali selama pandemi. Sultan kini bertugas di Luwuk, Sulawesi Tengah.
Dewi pun mengenang momentum mudik Lebaran sebelum pandemi. Biasanya, tiga hari menjelang Lebaran, mereka sudah berangkat ke Tolitoli, kampung halaman suaminya. Mereka harus menempuh dua hari perjalanan udara dengan transit di Surabaya, Jawa Timur; Balikpapan, Kalimantan Timur; dan Palu, Sulawesi Tengah.
Pada Lebaran kali ini, mereka akan kembali berjumpa lewat ruang virtual. ”Itu pun kalau jaringan bagus, karena suami saya bertugas menjaga tambang di daerah terpencil. Kadang, dia harus keluar sekitar 200 meter dari lokasi untuk dapat sinyal,” kata Dewi penuh harapan.
Kolektivis dan religius
Bisa terhubung secara langsung dengan keluarga pada hari raya Lebaran menjadi budaya di Indonesia. Dosen dan peneliti pada Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sutarimah Ampuni, mengatakan, Lebaran bersama merupakan perwujudan dari karakter masyarakat yang sangat kolektivis sekaligus religius.
”Masyarakat kolektivistik ditandai dengan keterikatan yang kuat satu sama lain. Dengan demikian, kebutuhan untuk saling terhubung biasanya tinggi, terutama dengan keluarga dan orang-orang terdekat,” ujarnya.
Hal ini dikuatkan dengan karakteristik religius. Hari Raya Idul Fitri, misalnya, menjadikan silaturahmi sebagai satu bentuk kegiatan sosial yang sangat dianjurkan dalam agama, terlebih silaturahmi kepada orangtua. Dua faktor tersebut membuat budaya mudik Lebaran menjadi sangat kuat.
Namun, mereka yang tak mudik, seperti Susi (28) dan suaminya, berusaha tetap bisa menghidupkan suasana Lebaran. Keduanya membeli baju Lebaran warna senada untuk dipakai mereka, saudara, dan orangtua di rumah. Ia dan suami juga telah merencanakan untuk membagi parsel atau kue Lebaran kepada keluarga di kampung halaman.
”Jadi, walaupun enggak bisa ketemu, kami masih bisa merasakan suasana yang sama di tempat masing-masing lewat baju sama yang kami pakai dan kue yang sama,” ujarnya.
Susi dan suami baru menikah setahun lalu. Momentum Lebaran kali ini seharusnya menjadi kesempatan bagi Susi bertemu besan dan keluarga di Sulawesi. Ia harus menahan diri hingga beberapa waktu mendatang, setidaknya hingga pandemi Covid-19 mulai reda.
Mudik lebih awal
Memang, menahan diri untuk terus berjarak dengan orang terkasih, seperti keluarga, tidak mudah bagi sebagian orang. Rasa lelah karena harus berjauhan dengan mereka semakin nyata begitu pandemi berlangsung lebih dari setahun. Tidak heran sebagian orang nekat mudik lebih awal agar bisa berlebaran di kampung halaman.
Seperti Farhan (29), perantau di Kota Tangerang, Banten, yang mudik ke Bengkulu, Jumat (30/4/2021), sebelum larangan mudik diterapkan pada 6-17 Mei. Lebih dari tiga tahun merantau tanpa pulang, ia memutuskan mudik untuk pertama kali saat pandemi masih menghantui.
”Setelah tiga tahun sendiri di perantauan dan menjalani satu tahun terberat karena harus bekerja di indekos, saya enggak bisa menahan rasa rindu bertemu orangtua,” kata pekerja di perusahaan analis tersebut.
Selama ini, Farhan tak pernah menikmati komunikasi dengan orangtua lewat telekonferensi video seperti yang dilakukan keluarga lainnya karena mereka enggan hidup modern dengan menggunakan telepon pintar dan internet.
Sebagai anak bungsu, tinggal jauh dari orangtua, bagi Farhan yang mempunyai keterikatan sangat dekat dengan sang ibu, menjadi keputusan terberat dalam hidupnya. Namun, sebelum pandemi melanda, harapan untuk bisa pulang kapan saja ketika rindu membuatnya bisa bertahan sendirian di tempat perantauan.
”Nah, ketika ada pandemi, (harapan) itu buyar. Saya sempat stres ketika sadar saya tidak akan bisa pulang selama virus jahat itu masih ada di bumi. Sampai akhirnya kemarin saya dapat kabar orangtua sudah divaksin. Jadi, saya cukup percaya diri untuk pulang tahun ini,” tuturnya.
Pola pikir
Agar bisa mengatasi emosi negatif yang muncul ketika tidak bisa bertemu dengan orang terkasih, Sutarimah menekankan pada pengaturan pola pikir. Masyarakat sebaiknya membuka diri terhadap informasi, termasuk tentang penyebaran Covid-19 yang belum terkendalikan.
”Yakinkan diri bahwa ini adalah sementara dan demi kebaikan semuanya,” ujarnya.
Oleh karena itu, Rizal Abdul Aziz (26), perantau asal Tasikmalaya, Jawa Barat, yang kini bertugas di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, secara sadar memilih tidak pulang untuk merayakan Idul Fitri untuk yang kedua kali sejak tahun 2020. Padahal, kedua orangtuanya sangat menginginkannya pulang pada hari raya nanti.
”Lebih baik aku yang menolak (pulang) karena bapak ibu sudah berumur, jadi lebih rentan. Di keluargaku juga masih ada bayi. Daripada nanti terjadi yang tidak-tidak (penularan Covid-19),” kata Rizal.
Memang, ruang perjumpaan fisik tidak bisa tergantikan. Namun, di tengah kondisi saat ini, ada ruang virtual untuk bersua dan membuat silaturahmi Lebaran tetap bermakna.