Meriam Karbit, Warisan Budaya dari Tepian Kapuas
Meriam karbit yang ramai dinyalakan saat Ramadhan menjadi warisan budaya tak benda Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Meriam karbit juga menyimpan ingatan sejarah berdirinya Kota itu.
Meriam karbit menjadi salah satu kekayaan budaya tepian Sungai Kapuas di Kalimantan. Meriam karbit juga menyimpan ingatan sejarah berdirinya Kota Pontianak.
Biasanya sekitar sepekan menjelang Lebaran, akan terdengar dentuman meriam karbit di sepanjang tepian Kapuas, Kota Pontianak. Meriam disulut dan dentumannya bersahutan. Bahkan, pada malam takbiran biasanya akan ada Festival Meriam Karbit.
Meriam karbit biasanya dipasang di beberapa titik di tepian Kapuas, dihiasi dengan cat berwarna-warni. Jumlahnya mencapai ratusan. Meriam karbit terbuat dari kayu dengan panjang 5-7 meter dan diameter 60-70 sentimeter.
Anak-anak muda biasanya akan menyulut meriam tersebut di malam takbiran saat Festival Meriam Karbit. Dentuman meriam menambah semarak malam takbiran. Ratusan warga biasanya menyaksikan acara tersebut. Namun, dua tahun terakhir, Festival Meriam Karbit ditiadakan karena pandemi Covid-19, termasuk tahun 2021 juga tidak ada festival.
Baca juga : Festival Meriam Karbit Semarakkan Lebaran di Pontianak
Di Pontianak terdapat Forum Tradisi Permainan Meriam Karbit Kota Pontianak. Ketua Forum Tradisi Permainan Meriam Karbit Kota Pontianak Fajriudin Anshari, Rabu (28/4/2021), menuturkan, Forum Tradisi Permainan Meriam Karbit terbentuk sejak 11 tahun lalu. Forum tersebut didirikan karena ada kesamaan pandangan di antara anggotanya. Meriam karbit adalah budaya dan tradisi serta memiliki nilai historis.
Dari sisi historis, meriam karbit terkait dengan sejarah berdirinya Kota Pontianak. Menurut kisah, Sultan Pertama Pontianak Syarif Abdurrahman Alkadrie saat mendirikan Kota Pontianak menembakkan meriam tiga kali.
Tembakan pertama untuk menentukan makamnya kelak. Tembakan kedua untuk menentukan posisi masjid. Tembakan ketiga untuk menentukan posisi keraton yang menjadi cikal bakal kota Pontianak. Posisi keraton Pontianak berada di Pontianak Timur.
Dalam perjalanan menyusuri Sungai Kapuas, sultan diganggu kuntilanak. Untuk menghalau gangguan tersebut, ia menembakkan meriam. Kala itu Pontianak masih berupa hutan, belum seperti sekarang.
Aspek historis itulah yang mendorong kelompok-kelompok meriam karbit membentuk forum. Tujuannya agar warisan budaya tersebut tidak luntur dimakan zaman. Forum tersebut juga untuk menarik minat generasi muda.
Baca juga : Pontianak Tanpa Festival Meriam Karbit dan Shalat Berjemaah di Alun Kapuas
Dalam perkembangannya, meriam karbit dimainkan untuk menyemarakkan malam takbiran menyambut Lebaran. ”Tradisi tersebut sejak orang-orang tua zaman dahulu memeriahkan malam takbiran menyambut Lebaran,” ujar Fajriudin.
Budaya ini diwarisi dari generasi ke generasi. Maka, hingga kini pada bulan puasa atau menyambut Lebaran, meriam dimainkan. Memainkan meriam karbit menyatakan kegembiraan menyambut Lebaran.
Forum Tradisi Permainan Meriam Karbit terdiri dari 60 kelompok atau 60 titik di tepian Kapuas yang menyebar di Pontianak Tenggara dan Timur. Biasanya yang mengikuti festival hanya 40 kelompok. Forum tersebut tampil dalam Festival Meriam Karbit.
”Yang ikut festival hanya 40-41 kelompok karena syaratnya mereka harus punya lima meriam karbit. Meriam harus kayu, tidak boleh dari pipa. Pada Festival Meriam Karbit tahun 2019, peserta yang ikut sebanyak 41 kelompok,” ujarnya.
Meriam-meriam milik kelompok tersebut biasanya akan dimainkan saat malam takbiran. Selain itu, saat ada permintaan dari pemerintah daerah dalam rangka hari jadi Kota Pontianak, meriam ditampilkan di Alun-alun Kapuas dan Tugu Khatulistiwa.
Saat Festival Meriam Karbit digelar, biasanya di titik-titik tertentu di tepian Kapuas, misalnya pada festival tahun 2019, ada sekitar 196 meriam karbit dari 41 kelompok yang ikut festival. Meriam tersebut menyebar di beberapa titik. Di satu titik terdapat lima meriam.
Cara mewariskan tradisi tersebut, anak-anak muda diajak memainkannya dengan penyulut meriam. Saat proses pembuatan meriam, generasi muda juga melihat. ”Penyulutan meriam oleh anak-anak muda bagian dari proses mewariskannya,” ungkap Fajriudin.
Baca juga: Kisah Kapuas Dahulu Menghidupi Kini Dieksploitasi
Festival Meriam Karbit pada tahun 2020 ditiadakan karena pandemi Covid-19. Demikian juga pada tahun 2021 masih ditiadakan karena pandemi belum berakhir. Meskipun demikian, membunyikan meriam masih diperbolehkan.
“Dengan catatan dari pemerintah, tetap menaati protokol kesehatan. Namun, sifatnya bukan festival. Karena tidak ada festival, per kelompok hanya membuat 2-3 meriam karbit,” ujarnya.
Meriam karbit terbuat dari kayu bengkirai, pohon kelapa, atau kayu ramin. Proses pembuatan sekitar empat hari. Ketahanan meriam bisa tiga tahun. Meriam yang terbuat dari kayu bengkirai bisa bertahan hingga lima tahun. Meriam yang sudah dibuat disimpan di tempat yang berlumpur. Saat waktunya dimainkan, diambil kembali.
Warisan budaya
Penulis buku Pontianak Heritage dan buku Meriam Karbit, Menjaga Tradisi, Memberi Identitas, Ahmad Sofian, menuturkan, permainan meriam karbit menjadi identitas penting, tradisi, dan juga nilai-nilai budaya masyarakat di tepian Kapuas. Kebudayaan meriam karbit yang ada sekarang bagian dari proses panjang.
Hal itu juga menjadi simbol keberadaan masyarakat di tepian Sungai Kapuas. Permainan meriam karbit tidak ada di semua tempat, hanya ada di kampung-kampung tua di tepian Kapuas kecil, Kota Pontianak.
Ini tradisi zaman dahulu. Pada masanya dentuman meriam sebagai tanda sudah mau berbuka puasa, maka ada yang menyalakan meriam karbit. Kelompok masyarakat di salah satu titik di tepi Kapuas menyalakan meriam karbit. Kemudian, kelompok di kampung lainnya di tepian Kapuas akan membalas dengan membunyikan meriam.
”Proses berbalas itu salah satu ciri khas permainan meriam karbit. Sahut-menyahut itu seperti membalas salam. Selain itu, sebagai tanda memberi pengumuman dan penanda waktu shalat. Kemudian, seiring waktu menjadi festival,” paparnya.
Ke depan, karena sudah menjadi identitas masyarakat di tepian Kapuas dan identitas penting bagi Kota Pontianak, dentuman meriam tidak hanya ada di saat-saat tertentu, melainkan setiap hari menjelang Maghrib. ”Tinggal dipilih meriam yang mana yang mau dipilih untuk didentumkan setiap hari. Dengan demikian, akan menjadi ciri khas Pontianak,” ujarnya.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pontianak Jejen Rukmana mengatakan, meriam karbit sudah menjadi warisan budaya tak benda Kota Pontianak pada tahun 2016. Sebagai warisan budaya, pemerintah sudah berupaya melestarikannya.
Salah satu upaya itu adalah pembinaan forum atau kelompok meriam karbit yang sifatnya tidak langsung. Sebagai contoh, memfasilitasi festival. ”Mereka sudah memiliki kemampuan untuk hal tersebut. Kami tinggal memfasilitasi saja,” ujarnya.
Baca juga: Merawat Sungai Kapuas Lewat Pariwisata