Kala Covid-19 Terabaikan demi Mudik Lebaran
Berbagai cara dilakukan sebagian warga demi mudik ke kampung halaman. Ancaman penularan Covid-19 atau kebijakan larangan mudik pun tak dihiraukan.
Meski mudik Lebaran dilarang, sebagian warga menempuh berbagai cara demi sampai di kampung halaman, mulai dari pulang lebih awal hingga kucing-kucingan dengan petugas. Lebih dari sekadar menuntaskan rindu, sebagian kewalahan menghadapi hidup yang kian tidak mudah di tanah rantau.
Gio, bayi berumur dua bulan, tertidur lelap saat digendong ibunya di bawah guyuran gerimis dan ramai orang berdesakan. Memakai masker, Ria (31), sang ibu, mengantre bersama ratusan calon penumpang yang ingin naik ke kapal dari Kendari dengan tujuan akhir Baubau.
”Yang penting harus mudik. Kalau korona, saya kira sudah tidak ada,” kata Ria, Rabu (5/5/2021).
Bersama suami dan tiga anaknya, Ria tiba di Pelabuhan Nusantara Kendari pada subuh hari setelah menempuh hampir 12 jam perjalanan dari Morowali, Sulawesi Tengah. Mencarter minibus seharga Rp 1 juta, keluarga ini melewati sejumlah daerah sejauh 300 kilometer. Setelah tiba, mereka ke loket untuk membeli tiket.
”Dapatnya cuma satu (tiket) yang ada kursi. Kami yang lain di lorong atau di mana saja. Yang penting bisa pulang,” kata Enda, sang suami.
Setelah mendapat cuti dari perusahaan tambang tempatnya bekerja di Morowali, Enda segera berkemas untuk pulang. Kesempatan ini tidak disia-siakan, mengingat tahun sebelumnya ia dan keluarga tidak bisa mudik akibat larangan mudik waktu itu. Meski tahun ini juga ada larangan mudik, kali ini mereka nekat.
”Sekarang harus pulang. Sudah lama tidak ketemu orangtua dan keluarga,” ucapnya.
Keberadaan calon penumpang yang berjubel di Pelabuhan Nusantara Kendari menjadi ironi di tengah kebijakan larangan mudik untuk mencegah ledakan penularan Covid-19. Calon penumpang berjubel, mengantre sejak dari pintu masuk. Tidak ada lagi jaga jarak, bahkan orang-orang dibiarkan berdesakan dan saling dorong.
Di dalam kapal situasi tidak kalah ”horor”. Penumpang yang tidak mendapat kursi duduk di lorong, di tangga, berdesakan di buritan, hingga di anjungan. Beberapa terlihat dengan santainya melepas masker, makan, atau mengobrol dengan penumpang lain.
Baca juga: Larangan Mudik demi Memutus Covid-19
Di luar kapal, Yuyun (20), salah satu penumpang, menunggu rekannya yang belum tiba. Mahasiswi Universitas Halu Oleo ini ingin mudik ke Baubau, kampung halamannya.
”Hari ini sebenarnya ada ujian tengah semester, tapi karena mudik besok dilarang, makanya segera ke pelabuhan saja. Ujian daring sebentar di kapal. Mudah-mudahan ada jaringan internet,” katanya.
Rencana Yuyun untuk mudik itu tergolong mendadak sehingga tidak sempat memesan tiket kapal jauh-jauh hari. sebab, larangan mudik di dalam wilayah Sultra baru diterbitkan. Ia dan rekannya memutuskan untuk membeli tiket secara langsung di pelabuhan pada hari itu. Tiket kapal tanpa tempat duduk ditebus seharga Rp 300.000 per orang.
Keberadaan calon penumpang yang berjubel di Pelabuhan Nusantara Kendari menjadi ironi di tengah kebijakan larangan mudik untuk mencegah ledakan penularan Covid-19. Calon penumpang berjubel, mengantre sejak dari pintu masuk. Tidak ada lagi jaga jarak, bahkan orang-orang dibiarkan berdesakan dan saling dorong.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara memang baru mengeluarkan larangan mudik antarkabupaten/kota di wilayah ini pada Selasa (4/5/2021). Sebelumnya Pemprov Sultra mengizinkan mudik dilakukan di semua wilayah dan semua moda. Mudik hanya dilarang untuk mereka yang keluar atau akan masuk wilayah ini.
Gubernur Sultra Ali Mazi menuturkan, pihaknya mengeluarkan instruksi tersebut untuk kepentingan bersama, seiring aturan pemerintah pusat yang juga melarang mudik untuk Lebaran kali ini. Protokol kesehatan pencegahan Covid-19 juga harus dipatuhi.
”Kami mengimbau masyarakat untuk tidak mudik dan menjaga protokol kesehatan. Karena wilayah Sultra itu kasusnya (Covid-19) sudah cukup turun dibanding sebelumnya, jadi harus dijaga,” tuturnya.
Selain larangan mudik, wilayah perbatasan Sultra juga dijaga ketat oleh personel keamanan selama kurun 6-17 Mei 2021. Warga yang melintas akan diperiksa, dicek protokol kesehatan, dan akan diarahkan untuk memutar balik jika diketahui akan mudik.
Baca juga: Merunut Jejak Kebijakan Larangan Mudik 2020
Jalur pantura
Di jalur pantai utara Pulau Jawa, tepatnya di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pemeriksaan dan penyekatan justru sudah dilakukan sejak beberapa hari lalu. Sebagian warga yang nekat mudik bersiasat menghindari penyekatan, salah satunya Sutoyo (66), warga asli Pekalongan, Jawa Tengah.
Saat hendak melintasi daerah Kedawung di Kabupaten Cirebon, Senin (3/5), sekitar pukul 10.00, ia langsung menepikan bajajnya. Ia tahu, tak jauh dari tempatnya berhenti ada penyekatan. Jika kedapatan aparat dan diketahui hendak pulang kampung tanpa surat keterangan bebas Covid-19, ia yakin bakal diminta putar balik ke Jakarta.
Ia berangkat dari Grogol, Jakarta Barat, pukul 01.00 bersama istri dan dua cucunya. Mereka pulang kampung lebih awal demi menghindari larangan mudik pada 6-17 Mei. Namun, tak dinyana, polisi sudah melakukan penyekatan di Cirebon. Sutoyo takut diminta kembali ke Jakarta.
”Penyekatannya udah selesai belum, Pak?” tanyanya kepada pengendara lain.
Mengenakan topi dengan loreng hijau dan baju pantai, Sutoyo memilih berhenti sejenak. Istrinya mencari toilet, sedangkan dua cucunya bersantai di tempat duduk belakang. Bersama mereka, ada sejumlah kardus, kantong pakaian, keranjang, hingga sepatu.
Meskipun repot dan menelan waktu belasan jam, mudik dengan bajaj jauh lebih ekonomis dibandingkan naik bus. Biaya perjalanan dengan bajaj berkisar Rp 500.000 untuk empat orang. Sementara naik bus mencapai Rp 1,2 juta. ”Tiket bus sekarang Rp 300.000 per orang. Sebelumnya, Rp 80.000-Rp 100.000 per orang,” ujarnya.
Bagi bos armada bajaj ini, mudik jadi solusi di tengah sepinya penumpang. Semenjak Covid-19 tahun lalu, Sutoyo mengatakan, sopir bajaj kewalahan menyetor uang Rp 30.000 per hari kepadanya.
Armada bajaj miliknya pun berkurang dari 15 unit jadi 12 unit. Sebagian dijual dengan harga murah Rp 10 juta per unit. Padahal, beberapa tahun lalu, harga bajaj bisa puluhan juta rupiah per unit.
”Bos bajaj sudah kere. Kalau tinggal di Jakarta, bukan lagi sepi, tapi sudah enggak bisa makan. Lebih baik pulang kampung. Cucu juga mau masuk sekolah,” ujar Sutoyo yang tahun lalu mengaku tidak mudik karena tidak punya uang. Malam takbiran Lebaran 2020 saja, katanya, cuma dapat makanan dari temannya.
Menurut dia, ribuan pengendara bajaj yang mengalami hal serupa juga memilih mudik. ”Rata-rata balik sebelum larangan mudik. Kalau melawan pemerintah, kita salah,” ucapnya.
Bagi warga yang tinggal di Jakarta sejak akhir 1960-an ini, mudik sudah menjadi tradisi tahunan. Bahkan, ketika masih menjadi penarik becak tahun 1979, Sutoyo pulang mengendarai becak selama sepekan. Jika ingin makan, ia dan teman-temannya singgah di pasar mencari penumpang.
Akan tetapi, mudik kali ini baginya lebih berat. Selain khawatir dicegat petugas, ia juga tidak bisa membawa pundi-pundi rupiah hasil kerja keras di Ibu Kota. ”Saya juga enggak dapat bantuan dari pemerintah,” katanya.
Kepala Satuan Lalu Lintas Polresta Cirebon Komisaris Ahmat Troy mengatakan, penyekatan secara acak dilakukan sebelum larangan mudik untuk mengantisipasi warga mudik lebih awal. Apalagi, jumlah pemudik Lebaran diperkirakan 18,9 juta orang. Sebagian besar akan melintasi Cirebon sebagai daerah perbatasan Jabar dan Jawa Tengah.
Kepala Polres Kota Cirebon Komisaris Besar M Syahduddi mengatakan, sekitar 2.400 petugas dari sejumlah instansi akan bersiaga 24 jam di sembilan titik penyekatan pada 6-17 Mei. Titik itu ada di Weru, Ciwaringin, Dukupuntang, Rawagatel, Kanci, Ciledug, Losari, Ciperna, dan Gerbang Tol Palimanan.
Penyekatan secara acak dilakukan sebelum larangan mudik untuk mengantisipasi warga mudik lebih awal. Apalagi, jumlah pemudik Lebaran diperkirakan 18,9 juta orang. Sebagian besar akan melintasi Cirebon sebagai daerah perbatasan Jabar dan Jawa Tengah.(Ahmad Troy)
Sementara itu, camat hingga kepala desa di Cirebon juga diminta memperketat pengawasan bagi pemudik. ”Pemudik juga bisa nyolong ke jalan tikus. Satgas desa harus mengawasi ini. Kalau ada dari perantauan langsung adakan tes kesehatan di puskesmas,” ujar Bupati Cirebon Imron Rosyadi.
Jelang Lebaran di masa pandemi kali ini memang berat. Warga yang nekat bakal memutar otak untuk menyiasati larangan mudik. Sementara petugas akan kewalahan membendung gelombang pemudik nekat. Keduanya sama-sama repot, sementara virus Covid-19 masih berkeliaran mengancam nyawa manusia.